BELAJAR MENGENALI DIRI SENDIRI
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Memanjatkan puji syukur kepada Allah dan shalawat kepada Nabi Muhammad saw merupakan kewajiban yang harus disampaikan oleh setiap khatib dalam khutbahnya. Selain itu khatib juga memiliki kewajiban untuk menyampaikan dan mengingatkan jamaah tentang wasiat ketakwaan. Oleh karenanya pada momentum khutbah Jum’at kali ini, khatib mengajak kepada seluruh jamaah untuk senantiasa memanjatkan puji syukur kepada Allah dan menyampaikan shalawat pada Rasulullah sekaligus meningkatkan ketakwaan kepada Allah. Bagaimana cara meningkatkan takwa? Yakni dengan senantiasa lebih semangat lagi menjalankan segala perintah Allah dan sekuat tenaga meninggalkan segala yang dilarang oleh-Nya. Dengan upaya inilah, kita akan mampu terus berada pada jalur yang telah ditentukan oleh agama sehingga tidak melenceng dan tersesat ke jalan yang tidak benar. Mengawali tahun baru 2023 khotib mengajak belajar untuk mengenal diri (ma‘rifatun nafs).
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhamad al-Ghazali dalam kitabnya Kîmiyâ’us Sa‘âdah mengatakan bahwa mengenal diri (ma‘rifatun nafs) adalah kunci untuk mengenal Allah. Logikanya sederhana: diri sendiri adalah hal yang paling dekat dengan kita; bila kita tidak mengenal diri sendiri, lantas bagaimana mungkin kita bisa mengenali Allah? Imam al-Ghazali juga mengutip hadits Rasulullah “man ‘arafa nafsah faqad ‘arafa rabbah” (siapa yang mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya). Dalam Surat Fusshilat ayat 53 juga ditegaskan:
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى؟ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ
Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di dunia ini dan di dalam diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar.”
Tentu saja yang dimaksudkan Imam al-Ghazali di sini lebih dari sekadar pengenalan diri secara lahiriah: seberapa besar diri kita, bagiamana anatomi tubuh kita, seperti apa wajah kita, atau sejenisnya.
Bukan pula atribut-atribut yang sedang kita sandang, seperti jabatan, status sosial, tingkat ekonomi, prestasi, dan lain-lain. Lebih dalam dari itu semua, yang dimaksud dengan “mengenal diri” adalah berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar: Siapa aku dan dari mana aku datang?
Ke mana aku akan pergi, apa tujuan kedatangan dan persinggahanku di dunia ini, dan di manakah kebahagiaan sejati dapat ditemukan?
Di sini kita diantarkan untuk memilah, mana yang bersifat hakiki dalam diri kita dan mana yang tidak. Serentetan pertanyaan sederhana namun sangat kompleks. Butuh perenungan diri untuk menjawab satu persatu pertanyaan tersebut. Jawabannya mungkin sudah sangat kita hafal, tapi belum tentu mampu kita resapi sehingga menjiwai keseluruhan aktivitas kita.
Jamaah shalat Jum’at rahimakumullah,
Untuk mengenali diri sendiri, Imam al-Ghazali mengawali penjelasan dengan menyebut bahwa dalam diri manusia ada tiga jenis sifat: (1) sifat-sifat binatang (shifâtul bahâ’im), (2) sifat-sifat setan (shifâtusy syayâthîn), (3) sifat-sifat malaikat (shifâtul malâikah).
Pertama; Apa itu sifat-sifat binatang? Seperti banyak kita jumpai, binatang adalah makhluk hidup dengan rutinitas kebutuhan bilogis yang sama persis dengan manusia. Mereka tidur, makan, minum, kawin, berkelahi, dan sejenisnya. Manusia pun menyimpan kecenderungan-kecenderugan ini, dan bahkan memiliki ketergantungan yang nyaris tak bisa dipisahkan. Watak-watak tersebut bersifat alamiah dan dalam konteks tertentu dibutuhkan untuk mempertahankan hidup.
Yang kedua, sifat-sifat setan. Setan adalah representasi keburukan. Ia digambarkan selalu mengobarkan keja¬hatan, tipu daya, dan dusta. Demikian pula orang-orang yang memiliki sifat setan.
Yang ketiga, sifat-sifat malaikat berarti sifat-sifat yang senantiasa menerungi keindahan Allah, memuji-Nya, dan mentaati-Nya secara total.
Ringkas kata, kebahagiaan hewani adalah ketika ia kenyang, mampu memuaskan hasrat dirinya, atau sanggup mengalahkan lawan untuk memenuhi kepentingan dirinya sendiri atau paling banter untuk keluarganya. Sedangkan kebahagiaan setan adalah tatkala berhasil mengelabuhi yang lain atau memproduksi keburukan. Sementara kebahagiaan malaikat ialah saat diri kian mendekat kepada Allah dan semua aktivitas merupakan cerminan dari kedekatan itu.
Jama’ah shalat jum’at rahimakumullah,
Imam al-Ghazali mengatakan bahwa diri manusia layaknya sebuah kerajaan yang terbagi dalam empat struktur pokok: jiwa sebagai raja, akal sebagai perdana menteri, syahwat sebagai pengumpul pajak, dan amarah sebagai polisi.
Syahwat memiliki karakter untuk menarik manfaat, kenikmatan, dan keuntungan sebanyak-banyaknya. Ia befungsi untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan individu. Sementara amarah berfungsi melindungi dari berbagai ancaman atau mudarat, karenanya ia identik dengan karakter berani, cenderung kasar dan keras.
Keduanya penting untuk kehidupan manusia. Dengan syahwat manusia tahu akan kebutuhan makan, misalnya; dengan amarah, ia mengerti akan perlunya membela diri ketika serangan mengancam. Namun syahwat dan amarah harus didudukkan di bawah kendali akal dan tentu saja di bawah raja.
Apabila syahwat dan amarah menguasai akal/nalar maka kerajaan terancam runtuh. Sebab susunan “kekuasaan” tak terjalan menurut kontrol seharusnya. Syahwat yang di luar kendali akal dan jiwa akan memunculkan sifat-sifat buruk seperti rakus atau tamak. Sementara amarah yang tak terkendali akan menimbulkan kebencian dan kecurigaan berlebihan sehingga muncul sikap-sikap membabi buta dan semena-mena.
Akal pun mesti berada di bawah kendali jiwa atau hati (qalb). Akal memang memiliki potensi yang istimewa: berpikir, berimajinasi, menghafal, dan lain-lain. Bila ia bertindak liar maka potensi akal untuk menjadikan manusia sebagai tukang tipu daya atau semacamnya sangat mungkin. Kalau kita pernah mendengar kalimat “orang pintar yang gemar minterin (memperdaya) orang lain” maka itu tak lain akibat akal bertolak belakang dengan nurani alias tak berada dalam naungan jiwa yang bersih.
Untuk mencapai jiwa yang berkuasa utuh, Imam al-Ghazali menekankan adanya perjuangan keras dalam olah rohani (mujâhadah) demi proses pembersihan jiwa atau tazkiyatun nafs. Jiwa yang jernih akan memicu munculnya cahaya ilahi yang member petunjuk manusia akan jalan terbaik bagi langkah-langkahnya. Fiman Allah SWT;
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
Artinya: “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh (muhajadah) untuk untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (Al-‘Ankabut: 69).
Semoga kita termasuk orang-orang yang lebih banyak belajar mengenali diri sendiri, ketimbang menilai orang lain, untuk menggapai kebahagiaan hakiki.
Khutbah II