ETIKA:BELAJAR/MENCARI ILMU DALAM PANDANGAN ISLAM
PERMISI
ejak terjadinya penyebaran pandemi covid 19 di Indonesia pada awal bulan Maret tahun 2020. Dalam waktu singkat sudah ribuan orang yang terpapar virus covid ini. Berbagai kebijakan pemerintah dilakukan guna memutus mata rantai penyebaran covid 19. Oleh sebab itu diberlakukan lock down, PSBB, hingga mencanangkan era new normal yang disertai protokol pola hidup bersih dan sehat (PHBS). Dimana pada masa ini kita harus menjaga jarak fisik dengan orang lain, mengunakan masker, mencuci tangan dengan sabun dan beraktivitas dari rumah, belajar atau bekerja.. Hampir semua sektor kena dampak dan sedang mengalami krisis yang sangat serius, salah satunya satunya dalam dunia pendidikan. Kemendikbud telah menetapkan tata cara proses pembelajaran jarak jauh di tahun ajaran baru nanti menggunakan pembelajaran daring. Dalam pembelajaran tersebut tentu membutuhkan dukungan dari pemerintah, sekolah, guru, siswa dan orang tua. Pembelajaran jarak jauh di masa pandemi covid 19 ini hanya diberlakukan terhadap wilayah zona merah, kuning dan oranye. Untuk wilayah zona hijau diberlakukan pembelajaran tatap muka dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan yang ketat.
Pembelajaran jarak jauh dengan metode daring memiliki beberapa keuntungan dan kerugian yang berpengaruh terhadap proses dan hasil pembelajaran. Pembelajaran daring bisa lebih efektif bila didukung oleh sarananya diantaranya handphone, gawai, laptop atau komputer dan tentu saja jaringan internet serta kuota pulsa, yang paling utama Akhlak, atau disebut “ETIKA” kebiasaan. “Akhlak itu maknanya ”budi pekerti, etika dan moral merupakan sinonimnya” (Rachmat Djatnika, 1992: 26).
Apabila di kaji, dairi fenomena itu, paling tidak ada tiga keuntungan dalam pembelajaran daring yaitu guru/dosen berusaha belajar dan menggunakan berbagai macam jenis teknologi informasi, dimana guru/dosen dituntut untuk tetap aktif dalam mengupdate berbagai macam aplikasi pembelajaran online, agar menjadi menarik dan semangat buat siswa. Selama bekerja dari rumah guru memiliki kesempatan untuk mengikuti pelatihan dan seminar pembuatan video pembelajaran dan bagaimana cara agar bisa menggunakan aplikasi pembelajaran seperti google classroom, quizziz dan lain lain. Dengan pelatihan tersebut diharapkan guru/dosen siap dalam menyampaikan materi pembelajaran secara daring kepada siswa.
Berikutnya bagi siswa/mahasiswa, sejatinya dituntut belajar menghargai waktu yang ada, sehingga siswa/mahasiswa lebih giat dalam mengerjakan tugas tugasnya yang diberikan guru. Dengan waktu yang tersedia cukup banyak di rumah memungkinkan siswa/mahasiswa untuk menyelesaikan tugas-tugas tersebut. Siswa juga termotivasi dalam mengikuti teknologi pembelajaran online dan mampu mengurangi kebiasaan bermain games online.
Baca juga: Mitos dibalik Fakta Kuliah Online
Namun kenyataan apa yang terjadi? Siswa juga mulai merasa jenuh belajar di rumah dan ingin segera bertatap muka dengan guru dan teman temannya. Kejenuhan siswa tersebut terjadi karena mereka bosan dengan kondisi dan situasi yang ada yang memaksa mereka untuk tetap berada pada kondisi dan situasi tersebut seperti tidak boleh keluar rumah, mengerjakan pekerjaan yang ada di rumah, dimarahi orang tua dan lain lain. Persoalannya terletak pada kebiasaan, dan yang namanya kebiasaan sulit untuk merubahnya. Maka dari itulah semua persoalah hidup manusia memerlukan pedoman, dalam masa covid 19, cuci tangan juga memnggunakan pedoman, apalagi dalam urusan belajar. Manusia tidak dapat hidup tanpa pedoman.
Pada kenyataannya, kehidupan manusia dipengaruhi oleh berbagai norma yang mengatur dan mengarahkan secara konkret tentang bagaimana harus bertindak. Bermacam-macam norma, mulai dari norma agama, norma hukum, norma moral, norma sopan santun, dan seterusnya sudah menghiasi manusia sejak zaman dahulu. Aturan-aturan tersebut sangat dibutuhkan oleh manusia dalam mengatur hidup dan kehidupan ini. Implikasinya adalah tidak ada satu pun sikap dan tindakan manusia yang tidak diatur oleh aturan-aturan atau norma, baik oleh buatan manusia sendiri maupun aturan yang berasal dari buatan Tuhan. Etika adalah suatu disiplin ilmu yang mengatur tentang baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku manusia. Dalam Islam, perbuatan baik dan buruk manusia lebih dikenal dengan istilah akhlak bukan etika. Akhlak dan etika memang seringkali diartikan sama padahal keduanya memiliki perbedaan khususnya terkait dengan penentuan baik buruknya suatu perbuatan manusia. Baik buruknya akhlak ditentukan oleh ajaran agama, dalam hal ini Al-Qur’an dan as-Sunnah sedangkan etika baik buruknya ditentukan oleh akal pikiran. Dengan demikian, etika dalam Islam adalah akhlak itu sendiri. (Sutisna, 2020: 49).
Artikel ini bertujuan untuk menjadi pedoman bagi para siswa atau mahasiswa yang sedang mengenyam masa pendidikan. Hal ini dirasakan cukup penting dengan memperhatikan kualitas lulusan yang dihasilkan oleh satuan pendidikan baik dasar, menengah, atas bahkan perguruan tinggi yang sedikit menurun secara mutu jika dibandingkan dengan para cendikiawan masa lampau. Landasan yang digunakan dalam menjabarkan etika belajar menitik-tekankan kepada etika Islam, sehingga sumber rujukan yang digunakan adalah Alquran dan Sunnah serta pendapat para ulama yang berkonsentrasi dalam pendidikan Islam, yang pada titik simpulnya bahwa etika, atau yang lebih familiar akhlak dalam Islam merupakan metode paling ampuh dalam transfer-knowladge pada siswa/mahasiswa. Diharapkan artikel ini menjadi salah satu solusi dalam menghadapi tantangan dalam dunia pendidikan sehingga ke depan akan lahir para ilmuwan-ilmuwan yang mampu mengamalkan ilmunya bagi kemajuan diri dan bangsanya.
APA ITU ETKA?
Secara etimologi, ada dua pendapat mengenai asal-usul kata “etika”, yakni; pertama, etika berasal dari bahasa Inggris, yang disebut dengan ethic (singular) yang berarti suatu sistem, prinsip moral, aturan atau caraberperilaku. Akan tetapi, terkadang ethics (dengan tambahan huruf s) dapat berarti singular. Jika ini yang dimaksud maka ethics berarti suatu cabang filsafat yang memberikan batasan prinsip-prinsip moral. Jika ethics dengan maksud plural (jamak) berarti prinsipprinsip moral yangdipengaruhi oleh perilaku pribadi (Ayi Sofyan:2010:370). Kedua, etika berasal dari bahasa Yunani, yang berarti ethikos yang mengandung arti penggunaan, karakter, kebiasaan, kecenderungan, dan sikap yang mengandung analisis konsep-konsep seperti harus, mesti benar-salah, mengandung pencarian ke dalam watak moralitas atau tindakan-tindakan moral, serta mengandung pencarian kehidupan yang baik secara moral. Sedangkan dalam bahasa Yunani kuno, etika berarti ethos, yang apabila dalam bentuk tunggal mempunyai arti tempat tinggalyang biasa, padang rumput, kandang, adat, akhlak, watak perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak artinya adalah adat kebiasaan. Jadi, jika kita membatasi diri pada asal-usul kata ini, maka “etika” berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Arti inilah yang menjadi latar belakang bagi terbentuknya etika yang oleh Aristoteles (384-322 SM) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral (Mohammad Adib: 2010:205).
Seperti yang telah disinggung di atas bahwa istilah etika dalam Islam lebih dikenal, dengan “Etika sebagai ilmu yang mengkaji tingkah laku manusia berkaitan dengan baik atau buruk, diibaratkan seperti pohon yang memiliki satu cabang besar sebagai penyangga seluruh ranting dan dedaunan di atasnya” Analogi ini mengisyaratkan bahwa peran etika tidak terbatas pada berpikir secara filosofis mengenai baik atau buruk suatu perbuatan untuk menentukan prinsip dasarnya, melainkan juga berpikir pada ranah empirik bagaimana seharusnya bertindak dalam bidang-bidang kehidupan tertentu, sehingga menghasilkan pedoman atau norma-norma konkret yang dapat dianut oleh suatu golongan atau kelompok masyarakat dan dapat dipertanggung-jawabkan secara rasional dan dengan istilah akhlak.
Secara etimologis, kata akhlak adalah bentuk masdar dalam Bahasa Arab dari kata akhlaqa-yukhliqu-ikhlaqan yang berarti perangai, kelakuan, tabiat atau watak dasar, kebiasaan atau kelaziman, peradaban yang baik, dan agama (Syarif, 2012: 72). Walaupun kata akhlak memiliki makna tabiat, perangai, kebiasaan bahkan agama tetapi tidak ditemukan dalam AlQur’an, yang ditemukan hanyalah bentuk tunggal dari kata itu yaitu khuluq (Shihab, 2004: 253). Adapun dalam hadits dapat ditemukan kata akhlak, seperti dalam hadits dari Abu Hurairah r.a di bawah ini:
Artinya: “Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR Ahmad).
Jika ditelusuri secara bahasa juga ada kesesuaian antara kata akhlaq (perbutan/tingkah laku), Khaliq (Pencipta) dan makhluq (makhluk/yang diciptakan). Kesesuaian ini menandakan bahwa akhlak adalah sebagai media bagi makhluknya dalam berhubungan dengan Tuhannya. Sedangkan secara istilah, ada beberapa pendapat dari para ulama tentang akhlak, di antaranya adalah: (1) Ibnu Maskawih mengatakan bahwa akhlak adalah keadaan jiwa yang mendorong ke arah melakukan perbuatan tanpa memikirkan (lebih lama). (Mahjudin, 2009: 3). (2) Al-Qurthubi mengatakan bahwa perbuatan yang bersumber dari diri manusia yang selalu dilakukan, maka itulah yang disebut akhlak karena perbuatan tersebut bersumber dari kejadiannya. (Al-Qurthubi, dalam Sutisna (2020:49), (3) Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa (manusia) yang melahirkan tindakan-tindakan mudah dan gampang tanpa memerlukan pemikiran ataupun pertimbangan. (Al-Ghazali,1996:53); (4) Abu Bakar jabir Al-Jaziry mengatakan akhlak adalah bentuk kejiwaan yang tertanam dalam diri manusia yang dapat menimbulkan perbuatan baik dan buruk, terpuji dan tercela. (Al-Jaziri, 1976: 154).
Sudah cukup banyak para ahli yang berbicara mengenai etika. Ahmad Tafsir secara sederhana mengatakan bahwa etika merupakan budi pekerti menurut akal. Etika merupakan ukuran baik buruk perbuatan manusia menurut akal (Ahmad Tafsir: 2012:121). Amsal Bakhtiar dengan nada yang berbeda mengartikan etika dalam dua makna, yakni; etika sebagai kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatanperbuatan manusia dan etika sebagai suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau manusiamanusia yang lain (Amsal Bakhtiar:2013:165).
Secara substansi, pengertian di atas menunjukkan kesamaan sikap dan kebiasaan. Namun penulis menganalisis bahwa suatu kebiasaan. pada satu tempat belum tentu diterima ditempat yang lain. Tergantung alat apa yang digunakan bahwa suatu sikap dan prilaku itu salah atau sebaliknya. Dengan demikian, etika dimanapun tetap menjadi barometer. Tetapi rujukan yang digunakan mempunyai sumber yang berbeda. Kalau dalam Islam tentu yang menjadi acuan AlQuran dan Sunnah.
APA ITU BELAJAR DAN BAGAIMANA KEUTAANNYA?
Beberapa pandangan para ahli pendidikan tentang pengertian belajar antara lain sebagai berikut; Witherington (1952); “Belajar merupakan perubahan dalam kepribadian yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respons yang baru berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan, dan kecakapan kecakapan.” Crow & Crow (1995); “Belajar adalah diperolehnya kebiasaan kebiasaan, pengetahuan, dan sikap baru.” Hilgard (1962); “Belajar adalah proses di mana suatu perilaku muncul atau berubah karena adanya respons terhadap sesuatu situasi.” Di Vesta dan Thompson (1970); “Belajar adalah perubahan perilaku yang relatif menetap sebagai hasil dari pengalaman.” Gae & Berliner; “Belajar adalah suatu proses perubahan perilaku yang muncul karena pengalaman.”(dalam Hamzah Uno: 2014:139). Moh. Surya (1997:55), menyimpulkan bahwa; “Belajar dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubah perilaku baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya.”
Beberapa pengertian dari para ahli di atas memiliki kesamaan satu dengan yang lain meskipun berbeda dalam redaksi yang digunakannya. Dari beberapa definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar merupakan suatu proses individu dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya sehingga menimbulkan terjadinya perubahan tingkah laku, baik sikap, keterampilan, pengetahuan. Perubahan ini terjadi karena adanya respons dari individu terhadap rangsangan-rangsangan atau stimulus yang diterimanya. Dengan demikian, aktivitas belajar manusia terjadi secara sadar dan disengaja tidak secara kebetulan.
Pengetahuan menjadi salah satu unsur penting yang perlu diperhatikan di sini. Seperti yang digariskan oleh Moh. Rosyid, tahapan pertama dalam proses belajar adalah adanya informasi atau pengetahuan. Tahap ini merupakan tahap yang paling penting sebelum menuju proses belajar yang sesungguhnya berupa membaca, memahami, menganalisis, dan mengapresiasi (Moh.Rosyid: 2016:36). Dengan adanya informasi, manusia dapat berinteraksi atau merespons informasi tersebut dengan cara membaca. Dengan membaca, segala pengetahuan dan informasi dapat ditransfer, disadap dan disimpan dalam otak. Dalam konteks demikian, perubahan pertama yang terjadi dalam proses belajar manusia bertambahnya pengetahuan atau mendapat ilmu pengetahuan baru. Sehinngga dalam Islam, mencari ilmu humnya wajaib, Rasulullah SAW., bersabda;
Artinya: “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim.” (HR. Ibnu Majah no. 224, dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan Al Albani dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir no. 3913).
Lantas bagaimana keutamaan mencari Ilmu?, berikut beberapa keutamaan dalam Islam berikut dalilnya dari Al Qur’an: Alah telah menjajikan pada umatnya dalam QS. Al. Mujaadalah: 11;
Artinya ”….niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” .(QS. Al. Mujaadalah [58]: 11).
Ayat diatas menjukkan bahwa Orang Berilmu “Diangkat Derajatnya” Keutamaan ilmu, belajar dan mengajarkan ilmu sangat penting dalam Islam. Masih banyak dalam Al-Qur’an disebutkan beberapa keutamaan ilmu, diantaranya; “Orang Berilmu Takut Kepada Allah SWT”; ditegaskan dalam (QS. Fatir [35]: 28); (2). “Orang Berilmu akan Diberi Kebaikan Dunia dan Akhirat”, dalam QS. Al-Baqarah [2]: 269). Juga di ungkapan dalam Hadist Nabi; bahwa ”Orang Berilmu Dimudahkan Jalannya ke Surga” dalam sebuah hadist tentang keutamaan ilmu pengetahuan dalam Islam, Rasulullah SAW, bersabda:
Artinya: “Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim, no. 2699).
Selanjunya “Orang Berilmu Memiliki Pahala yang Kekal” Ilmu akan kekal dan bermanfaat bagi pemiliknya walaupun ia telah meninggal. Disebutkan dalam sebuah hadist tentang keutamaan ilmu dalam Islam: diriwayatkan Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, ia berkata kepada Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam:
Artinya: “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631).
Memiliki ilmu yang banyak dan bermanfaat adalah dambaan setiap orang. Untuk menambah ilmu yang bermanfaat harus rajin membaca dan selalu memohon kepada Allah untuk selalu ditambahkannya ilmu.
BAGAIMANA ETIKA BELAJAR DALAM PANDANGAN ISLAM
Etika dan proses belajar manusia memiliki hubungan yang saling terkait. Pada satu sisi, belajar sebagai kegiatan manusia merupakan aktivitas yang memerlukan normanorma moral tentang bagaimana seharusnya belajar dalam bingkai karakter dan ciri khas manusia yang demikian unik, disisi lain etika sebagai pemikiran manusia tentang baik atau buruk sangat diperlukan untuk merefleksikan kegiatan belajar manusia setiap saat. Nilai-nilai dan ide tentang kegiatan belajar yang berlaku secara umum perlu dikaji secara rasional, kritis, mendasar dan sistematis. Sehingga norma yang ditaatinya dalam proses belajar bukan sekedar karena kebiasaan atau adat yang berlaku di masyarakat, melainkan karena memiliki dasar dan legitimasi yang kuat untuk diikuti dan ditaati. Untuk hal itu, ada beberapa pandangan ulama Muslim memberikan pembelajaran atau pedoman, bagaimana seharusnya menempatkan kebiasaan etika ketika belajar, salah satu yang paling mashur adalah Imam Ghazali (w. 505 H), dalam kitabnya Ihya Ulum ad-Din, dikutif dalam jurnal Sutisna (2020:51-3), Ia memberikan 10 pelajaran tentang “kewajiban seorang pelajar dalam menunt ilmu,” yaitu:
1. Menyucikan diri dari akhlak tercela dan sifat buruk
Maksud dari, “menyucikan diri dari akhlak tercela dan sifat buruk terlebih dahulu, karena ilmu merupakan bentuk peribadatan hati, shalat rohani dan pendekatan batin kepada Allah” Kalau shalat yang merupakan ibadah lahir saja tidak sah jika tidak bersuci terlebih dahulu dari hadas dan kotoran, maka ibadah batin pun tidak sah kecuali setelah dilakukan penyucian diri dari akhlak tercela.
Hati merupakan tempatnya para malaikat, karena itu tidak mungkin malaikat dapat masuk ke dalam hati membawa sinar ilmu pengetahuan ketika di dalamnya banyak sifat-sifat buruk dan tercela seperti marah, hawa nafsu, dengki, busuk hati, takabur, ‘ujub dan sebagainya yang semua itu seperti anjing. Poin penting yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa ilmu yang dimaksud oleh alGhazali adalah “ilmu yang membawa kepada bertambahnya rasa takut kepada Allah” firman (QS. al-Fatir: 28);
Artinya: “Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS. al-Fatir:[35]: 28).
Dai ari ayat itu lah pandangan al Ghazali menyebutnya “selain itu bukanlah disebut ilmu”. Seorang yang mau belajar terlebih dahulu harus membersihkan jiwa dari segala bentuk akhlak yang tercela. Didasari oleh sabda Rosulullah saw:
Maksud di sini bukan kebersihan pakaian, semata, akan tetapi juga kebersihan hati (dalam, Abdul Rosyad: 2009: 11).
Dalam hal ini, orang yang dalam suasana belajar, yang disiapkan bukan hanya pikiran, tetapi seluruh aspek yang turut membantu dalam proses internalisasi ilmu ke dalam diri murid. Seorang murid harus menghilangkan sifat terburu-buru dalam mendapatkan ilmu. Konsisten dan sabar merupakan bagian yang tidak dapat bisa dilepaskan dalam setiap pelajar. Dua ayat sebagai bagian nilai dan sikap yang selayaknya dimiliki oleh pelajar. Firman Allah:
Artinya: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak sanggup bersabar bersamaku” (QS. Al-Kahfi [16] 67).
Pelajar/mahasiswa juga harus mempunyai sikap tidak terburu-buru dan tidak memaksakan guru untuk menjelaskan sesuatu yang belum saatnya. Seorang pelajar haruslah menampilkan sosok yang bersahaja dan sikap memuliakan gurunya. Maka sudah menjadi hal yang lumrah etika-perlu dijaga oleh si pelajar dan juga menjaga sikap dan prilaku terpuji dihadapan gurunya.
2. Mengurangi kesibukan duniawi
Maksud dari, mengurangi kesibukan duniawi, menjauhkan diri dari keluarga dan kampung halaman. Karena semua itu dapat memalingkan konsentrasi belajarnya, sehingga kemampuan menguasai ilmu yang dipelajari menjadi tumpul. Wajar bila ada ungkapan; “ilmu tidak akan menyerahkan diri kepadamu, hingga kamu mau memberikan semuanya. Jika kamu telah memberikan semuanya, maka kamu pun harus tetap berhati-hati dan waspada.” Pikiran dan perhatian yang bercabang, laksana percikan-percikan air yang meresap di tanah dan diterpa angin ke sana-sini, sehingga tak sedikit pun yang tersisa untuk bisa dimanfaatkan.
3. Jangan sombong terhadap ilmu dan jadangan menentang Guru
Jangan sombong terhadap ilmu dan menentang guru, melainkan bersedia patuh dalam segala urusan dan bersedia mendengarkan nasihatnya. Sebagaimana pasien yang (analogi kondisi murid) sudah sepatutnya mematuhi nasihat dokter (analogi posisi guru) yang menanganinya. Bagi murid, dianjurkan agar ia mau bersikap rendah hati dan berhikmat kepada gurunya. Di antara ciri orang yang sombong terhadap guru ialah tidak ingin belajar selain kepada guru yang terkenal. Padahal ilmu ibarat jalan yang dapat melepaskan diri dari terkaman binatang buas dan jalan memperoleh kebahagiaan. Jika orang hendak melepaskan diri dari terkaman itu dan ingin memperoleh kebahagiaan, maka sudah selayaknya ia tidak membeda-bedakan orang yang membawa dan memiliki ilmu, apakah dia terkenal atau tidak.
4. Menghindar diri dari mengkaji variasi pemikiran dan tokoh
Bagi penuntut ilmu pemula hendaknya menghindarkan diri dari mengkaji variasi pemikiran dan tokoh, baik menyangkut ilmu-ilmu duniawi maupun ilmu-ilmu ukhrawi. Sebab, hal ini dapat mengacaukan pikiran, membuat bingung dan memecah konsentrasi. Sebaiknya ia terlebih dahulu menguasai betul suatu disiplin ilmu dari salah seorang guru, baru mengkaji ragam pikiran dan aliran yang lainnya. Sekiranya seorang guru tidak independen dalam pemikiran atau mengutip sana sini, maka murid harus waspada. Karena, guru yang demikian lebih banyak membuat bingung daripada mengarahkan. Ibarat orang buta tidak mungkin membimbing orang yang samasama buta.
5. Tidak mengabaikan suatu disiplin ilmu apa pun yang terpuji
Tidak mengabaikan suatu disiplin ilmu apa pun yang terpuji, melainkan bersedia mempelajarinya hingga tahu akan orientasi dari disiplin ilmu yang dimaksud. Apabila usia dan kesempatan mengizinkan, ia bisa mendalaminya lebih lanjut. Namun jika tidak, ia perlu memprioritaskan disiplin ilmu yang terpenting untuk didalami. Meskipun demikian, harus disadari bahwa ilmu-ilmu itu saling terkait, sehingga jangan sampai penuntut ilmu menutup mata meremehkan disiplin lain yang tidak digelutinya, karena manusia itu adalah lawan dari hal-hal yang tidak diketahuinya.
6. Memprioritaskan yang terpenting
Dalam usaha mendalami suatu disiplin ilmu, pelajar tidak melakukan secara serentak, akan tetapi secara bertahap dan memprioritaskan yang terpenting, Sebab, sekiranya usia tidak mencukupi untuk mempelajari aneka ragam disiplin ilmu, maka sewajarnya bila semangatnya diarahkan pada disiplin ilmu yang terpenting dan terbaik, sehingga bisa menjadi mumpuni dalam keilmuan yang termulia, yaitu ilmu-ilmu akhirat, baik ilmu muamalah maupun ilmu mukasyafah. Tujuan ilmu muamalah adalah ilmu mukasyafah, sedangkan tujuan dari ilmu mukasyafah adalah ma ’’rifatullah. Yang dimaksud dengan hal ini bukanlah i ’ ’tikad yang diwarisi oleh orang tua atau yang diperoleh melalui kemahiran berargumen dan berdebat seperti tujuan ilmu kalam, melainkan sebuah keyakinan yang muncul dari “cahaya” Tuhan yang menerangi hati seorang hamba, melalui mujahadah, sehingga batinnya tersucikan dari kotoran-kotoran.
7. Mengusai tahapan Ilmu sebelumnya (ilmu-ilmu dasar)
Tidak melangkah mendalami tahap ilmu berikutnya hingga ia benar-benar menguasai tahap ilmu sebelumnya. Sebab, ilmu itu tersusun secara rapi, masing-masing saling terkait dan bertingkat.
8. Mengetahui terlebih dahulu faktor-faktor penyebab dapat memperoleh ilmu
Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan dapat memperoleh ilmu yang paling mulia. Mengenai hal ini didasarkan pada dua hal, yaitu; keutamaan hasil (dampak) dan landasan argumennya. Sebagai contoh; ilmu agama dan ilmu kedokteran, di mana ilmu agama berdampak positif bagi kehidupan seseorang di akhirat, sedangkan ilmu kedokteran berdampak. positif bagi kehidupan seseorang di dunia. Maka, ilmu agama lebih utama dibandingkan dengan ilmu kedokteran. Lain halnya dengan ilmu hisab dengan ilmu hitung, maka lebih mulia ilmu hisab karena kekuatan dalilnya. Namun jika ilmu hisab dibandingkan dengan ilmu kedokteran, maka dari segi ‘dampak’ ilmu kedokteran jauh lebih mulia dibanding ilmu hisab. Sedangkan dari segi landasan argumen atau dalilnya, ilmu hisab jauh lebih mulia dari ilmu kedokteran.
9. Mencarai Ilmu semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah
Tujuan belajar pelajar adalah membersihkan batin dan menghiasinya dengan kebaikan serta mendekatkan diri kepada Allah. Bukan sebaliknya, bertujuan untuk mencari kedudukan, kekayaan, dan popularitas. Dengan tujuan seperti itu, hendaknya mengutamakan ilmu akhirat, namun bukan berarti meremehkan ilmu-ilmu lain, semisal ilmu dakwah, ilmu nahwu dan ilmu bahasa yang dikategorikan termasuk ke dalam rumpun ilmu pengantar dan ilmu pelengkap yang hukum mempelajarinya adalah fardhu kifayah.
10. Mengetahui relasi ilmu-ilmu yang dikajinya dengan orientasi yang dituju
Mengetahui relasi ilmu-ilmu yang dikajinya dengan orientasi yang dituju, sehingga dapat memilah dan memilih ilmu mana yang harus diutamakan. Manakala dari sekian ilmu yang perlu lebih dipentingkan. Arti dipentingkan di sini adalah dalam hubungannya dengan urusan duniawi dan ukhrawi sekaligus. Sekiranya tidak bisa terpadukan keharmonisan urusan duniawi dan ukhrawi sekaligus seperti yang dikehendaki Al-Quran, maka hal yang lebih dipentingkan adalah orientasi.
Para ulama lain, mendukung pandangan Al-Ghozali, di atas, antara lain: Pelajan dari Sa’id Hawwa seperti yang dikutip oleh Ahmad Tafsir (dalam Jurnal Musasadad, 2016), dalam bukunya Filsat ilmu menjelaskan kewajiban pelajar dalam proses belajarnya adalah sebagai berikut: (1) Murid harus mendahulukan kesucian jiwa sebelum yang lainnya. Sama halnya dengan salat, ia tidak sah bila tidak suci dari hadas dan najis. Menyemarakkan hati dengan ilmu tidak sah kecuali setelah hati itu suci dari kekotoran akhlak. Intinya di sini ialah murid itu jiwanya harus suci. Indikatornya terlihat pada akhlaknya. (2) Murid harus mengurangi keterikatannya dengan kesibukan duniawi karena kesibukan itu akan melengahkannya dari menuntut ilmu. Jika pikiran pecah maka murid tidak akan dapat memahami hakikat. Karena itu dikatakan “ilmu tidak akan memberikan kepadamu sebagiannya sebelum kamu menyerahkan kepadanya seluruh jiwamu; jika kamu telah memberikan seluruh jiwamu kepadanya tetapi ia baru memberikan sebagiannya kepadamu maka itu berarti kamu dalam bahaya. Pikiran yang terpencar pada berbagai hal adalah seperti sungai kecil yang airnya berpencar kemudian sebagiannya diserap tanah dan sebagian lagi menguap ke udara sehingga tidak ada air yang terkumpul dan sampai ke ladang tanaman. Intinya ialah murid harus berkonsentrasi menuntut ilmu, tidak mengonsentrasikan diri pada selain itu. (2) Tidak sombong terhadap orang yang berilmu, tidak bertindak sewenangwenang terhadap guru; ia harus patuh kepada guru seperti patuhnya orang sakit terhadap dokter yang merawatnya. Murid harus tawadlu” kepada gurunya dan mencari pahala dengan cara berhikmat pada guru. (3)Orang yang menekuni ilmu pada tahap awal harus menjaga diri dari mendengarkan perbedaan pendapat atau khilafiah antar mazhab karena hal itu akan membingungkan pikirannya. Perbedaan pendapat dapat diberikan pada belajar tahap lanjut. (4) Penuntut ilmu harus mendahulukan menekuni ilmu yang paling penting untuk dirinya. Jika usianya mendukung barulah ia menekuni ilmu lain yang berkaitan dengan ilmu paling penting tersebut. (5)Tidak menekuni banyak ilmu sekaligus, melainkan berurutan dari yang paling penting. Ilmu yang paling utama ialah ilmu mengenal Allah. (6)Tidak memasuki cabang ilmu sebelum menguasai cabang ilmu sebelumnya. Ilmu itu sifatnya bertahap dan berurutan. Antara satu ilmu dengan ilmu lainnya sering kali memiliki sifat prerequisite. (7) Hendaklah mengetahui ciri-ciri ilmu yang paling mulia, itu diketahui dari hasil belaj arnya, dan kekuatan dalilnya. Contoh (dari segi hasil); hasil belajar ilmu agama ialah kehidupan yang abadi, sedangkan hasil belajar ilmu kedokteran ialah kehidupan yang fana. Jadi belajar ilmu agama lebih utama ketimbang belajar ilmu kedokteran. (Musadad, 2016: 151-2).
Pelajaran dari Imam Nawawi bahwa; Apabila melihat dari beberapa pandangan dari masing-masing ulama di atas menunjukakan bahwa etika utama yang harus ditonjolkan pada setiap pelajar adalah kebersihan jiwa dan kesucian hati. Dipertegas oleh Imam Nawawi bahwa seorang murid haruslah: (1) Hendaklah peserta didik menjauhi hal-hal yang menyibukkan kecuali karena merupakan kebutuhan. (2) Membersihkan hati dari kotoran-kotoran dosa supaya hati menjadi baik untuk menerima Al-Qur’an, menghafalkannya dan menghafalkannya. (4) Hendaklah peserta didik bersikap tawadhu” terhadap pendidiknya meskipun pendidiknya lebih muda darinya, kurang tersohor, lebih rendah nasabnya dan hendaklah peserta didik bersikap tawadhu” terhadap ilmu, karena dengan sikap tersebut peserta didik akan mendapatkan ilmu.” (5) Hendaklah peserta didik patuh kepada pendidiknya dan membicarakan segala urusannya. Dia terima perkataannya seperti orang sakit yang berakal menerima nasihat dokter yang mempunyai kepandaian, maka yang demikian itu lebih utama (Nawawi: 2015:63).
Dari ketiga padndangan ulama di atas, tampak tidak ada perbedaan secara signifikan beberapa prinsip yang dijelaskan oleh al-Ghazali dan Sa’id Hawwa, maupun Nawawi, ketiga-tiganya lebih menekankan pada prinsip-prinsip secara umum yang harus dilakukan oleh pelajar dalam proses belajarnya, mengutamakan “ketulusan hati”, di samping itu, poin penting yang perlu diperhatikan dalam perumusan aturan yang harus ditaati dan dilakukan tersebut ialah bahwa belajar bukan hanya interaksi yang dilakukan oleh individu dengan lingkungan, melainkan juga dengan Allah Swt. Dengan demikian, belajar dalam Islam memiliki sifat yang transendental, hubungannya tidak terbatas secara horizontal melainkan juga berkaitan secara vertikal. Dengan itu, belajar perlu dilandasi dengan niatan yang tulus dan ikhlas, belajar semata-mata karena ibadah.
PENUTUP
Secara substansi, etika merupakn sikap kebiasaan. Namun perlu di garis bawahi bahwa suatu kebiasaan. pada satu tempat belum tentu diterima ditempat yang lain. Tergantung alat apa yang digunakan bahwa suatu sikap dan prilaku itu salah atau sebaliknya. Dengan demikian, etika dimanapun tetap menjadi barometer. Tetapi rujukan yang digunakan mempunyai sumber yang berbeda. Kalau dalam Islam tentu yang menjadi acuan AlQuran dan Sunnah. Dan kebenaran.
Belajar merupakan suatu proses individu dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya sehingga menimbulkan terjadinya perubahan tingkah laku, baik sikap, keterampilan, pengetahuan. Perubahan ini terjadi karena adanya respons dari individu terhadap rangsangan-rangsangan atau stimulus yang diterimanya. Dengan demikian, aktivitas belajar manusia terjadi secara sadar dan disengaja tidak secara kebetulan.
Etika dan proses belajar manusia memiliki hubungan yang saling terkait. Pada satu sisi, belajar sebagai kegiatan manusia merupakan aktivitas yang memerlukan normanorma moral tentang bagaimana seharusnya belajar dalam bingkai karakter dan ciri khas manusia yang demikian unik, disisi lain etika sebagai pemikiran manusia tentang baik atau buruk sangat diperlukan untuk merefleksikan kegiatan belajar manusia setiap saat. Nilai-nilai dan ide tentang kegiatan belajar yang berlaku secara umum perlu dikaji secara rasional, kritis, mendasar dan sistematis. Sehingga norma yang ditaatinya dalam proses belajar bukan sekedar karena kebiasaan atau adat yang berlaku di masyarakat, melainkan karena memiliki dasar dan legitimasi yang kuat untuk diikuti dan ditaati.
Ujud etika siswa dalam menampillkan hal-hal yang terpuji, megikuti intruksi, perintah, guru, tidak ada seorang guru untuk mencekakan muridnya. Hal itu didasari bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa pedoman. Pada kenyataannya, kehidupan manusia dipengaruhi oleh berbagai norma yang mengatur dan mengarahkan secara konkret tentang bagaimana harus bertindak. Bermacam-macam norma, mulai dari norma agama, norma hukum, norma moral, norma sopan santun, dan seterusnya sudah menghiasi manusia sejak zaman dahulu. Aturan-aturan tersebut sangat dibutuhkan oleh manusia dalam mengatur hidup dan kehidupan ini. Implikasinya adalah tidak ada satu pun sikap dan tindakan manusia yang tidak diatur oleh aturan-aturan atau norma, baik oleh buatan manusia sendiri maupun aturan yang berasal dari buatan Tuhan.
Besar harapan dari tulisan ini, dapat menjadi pedoman khusus bagi siswa maupun mahasiswa dalam melaksanakan tugas belajarnya sebagai kewajiban bagi seorang muslim dalam menuntut ilmu dan memberikan panduan dalam rangka memudahkan proses belajar terlebih menjadikan ilmunya dapat bermanfaat khusus untuk dirinya, keluarga, bangsa, dan agama.
DAFTAR PUSTAKA
Adib, Mohammad, Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi, dan Logika IlmuPengetahuan, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010)
Ahmad, Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami; Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu, Memanusiakan Manusia, (Bandung,: Remaja Rosdakarya, 2012)
AlGhazali, Ilmu dalam Perspektif Tasawwuf Al-Ghazali, terj Muhammad Al-Baqir (Bandung: Karisma, 1996),
Al-Ghazali.Ihya Ulumuddin. Terj. Abdul Rosyad. (Jakarta: Akbar Media, 2009),
Al–Jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqh ‘Ala Madhabil ‘Arba’ah, Juz IV, (Mesir : Dar. Attaqwa, 2003).
Amri, Ulil, Syarif,. Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an. (Jakarta: Raja. Grafindo Press, 2012)
Bakhtiar, Amsal , Filsafat Ilmu, (Jakarta,: PTRajaGrafindo Persada, 2013)
Departemen Agama. (Al-Qur’an dan Terjemah. (Bandung: PT Syami, l2009).
Hamzah B. Uno dan Nurdin Mohamad, Belajar dengan Pendekatan PAILKEM;Pembelajaran Aktif, Inovatif, Lingkungan, Kreatif, Efektif, Menarik, (Jakarta: Bumi Aksara, 2014)
Mahjuddin, 2009. Akhlak Tasawuf I: Mu’jizat Nabi, Karamah Wali dan Ma’rifah. Sufi. Jakarta: Kalam Mulia.
Moh. Surya. Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. (Bandung PPB-.IKIP Bandung. 1997).
Moh.Rosyid, Strategi Pembelajaran Demokratis, (Jakarta: LePPPAS dan UPT UNNES Press, 2006)
Musaddad Harahap, ”Esensi Peserta Didik dalam Perspektif Pendidikan Islam” Jurnal Al-Thariqah Vol. 1: 2 (Desember 2016), 140-155
Nawawi,Imam.At-Tibyan Fi AdabiHamalatilQur’an. Beirut:Darul Minhaj, 2015.
Shihab, M. Quraish. Wawasan AlQur’an: Tafsir Maudhu’I Atas Pelbagai Persoalan Umat. (Bandung: Mizan. 2014)
Sofyan, Ayi, Kapita Selekta Filsafat, (Bandung: Pustaka Setia, 2010)
Syarif et al.,. Farmakologi Dan Terapi. Ed. 5. (Jakarta: FKUI. 2012)
Rachmat Djatnika. Sistem Ethika Ilami (Akhlak Mulia). (Jakarta: Panjimas, 1992).
Usman Sutisna, Etika Belajar Dalam Islam; Faktor Jurnal Ilmiah Kependidikan Vol. 7: (Maret 2020). 49-52