REFLEKSI SPIRIT IDUL ADHA/QURBAN 1444 H:
Miliki semangat untuk terus meningkatkan kinerja dan memperbaiki prestasi.
الحمد لله الذي جعل هذا اليوم عيدا للمسلمين وجعل عبادة الحج وعيد الأضحى من شعائر الله وإحيائَها من تقوى القلوب
أشهد أن لا إله إلاالله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله المبعوث رحمة للعالمين بشيرا ونذيرا وداعيا إلى الله وسراجا منيرا
اللهم صل على سيدنا محمد وعلى أله وأصحابه أجمعين
أما بعد… فيا عباد الله أوصيكم وإياي بتقوى الله، فقد فاز المتقون
قال الله تعالى بعد أعوذ بالله من الشيطان الرجيم، بسم الله الرحمن الرحيم: ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ (الحج/22: 32) صدق الله العظيم
Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Jumat ini cukup istimewa karena umat Islam telah memasuki bulan Dzulhijjah. Karenanya marilah kita terus berusaha memupuk rasa iman dan takwa kepada Allah SWT. Cara menguatkan dan meningkatkan takwa kita kepada Allah dengan berjuang sekuat tenaga untuk mematuhi segala perintah dan menjauhi sejauh-jauhnya larangan Allah SWT. Satu hari yang lalu Allah SWT mempertemukan kita dengan Idul Adha; disebut pula yaumun nahar, hari raya qurban. Lalu hari ini kita dipertemukan-Nya dengan hari raya pekanan; yaumul Jum’ah, yang juga disebut sayyidul ayyam. Maka sudah sepatutnya kita bersyukur kepada Allah SWT atas nikmat-nikmat itu. Sungguh, tanpa hidayah dari Allah, kita takkan berada di jalan lurus ini; jalan keselamatan, jalan kebahagiaan, jalan kemenangan; dinul Islam. Tanpa rahmat dan nikmat-Nya, kita tak mungkin mampu beramal dalam dua hari raya itu. Maka, syukur sudah seharusnya terwujud dengan memanfaatkan nikmat Allah untuk mentaati-Nya.
Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Qurban atau adhiyah bermula sejak zaman Nabi Ibrahim yang diperintah Allah SWT melalui mimpinya untuk menyembelih putra kesayangan sekaligus satu-satunya saat itu; Ismail. Ketaatan Ismail dan keteguhan Ibrahim telah terbukti dengan kesungguhan menjalankan perintah Allah itu, meskipun secara manusiawi pasti sangat berat di hati. Maka di saat leher Ismail telah siap, seketika itu Allah menggantinya dengan seekor domba. Seperti itulah kemudian umat Islam disyariatkan untuk menyembelih hewan qurban.
اِنَّآ اَعْطَيْنٰكَ الْكَوْثَرَۗ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْۗ
Sesungguhnya, Kami telah memberimu nikmat yang banyak. Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah. (QS. Al-Kautsar : 1-2)
وَالْبُدْنَ جَعَلْنٰهَا لَكُمْ مِّنْ شَعَاۤىِٕرِ اللّٰهِ لَكُمْ فِيْهَا خَيْرٌۖ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ عَلَيْهَا
Dan unta-unta itu Kami jadikan untukmu bagian dari syiar agama Allah, kamu banyak memperoleh kebaikan padanya. Maka sebutlah nama Allah (ketika kamu akan menyembelihnya)… (QS. Al-Hajj : 36)
Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Ibadah qurban, sesungguhnya mengandung hikmah yang dalam. Ia mengandung dimensi spiritual, sekaligus dimensi sosial. Ia mendekatkan hamba kepada Allah SWT, sekaligus membuatnya peduli pada sesama. Dengan daging yang dibagikannya kepada orang miskin sebagai bentuk meringankan beban dan menggembirakan mereka, daging qurban juga boleh dibagikan kepada orang yang kaya untuk melembutkan hati mereka, dengan harapan mereka pun terpanggil untuk mensantuni sesama sekaligus mengokohkan keimanannya.
Jika hikmah seperti itu dicapai dengan qurban, dengan menyembelih hewan seperti unta, sapi dan kambing dan membagikannya kepada sesama, sesungguhnya spirit yang sama juga harus kita miliki; baik kemarin ketika Idul Adha kita berqurban atau tidak. Spirit untuk peduli pada sesama, spirit untuk menebar kemanfaatan kepada manusia, spirit untuk mengurbankan sesuatu yang berharga demi kejayaan agama. Spirit qurban harus dilanjutkan pada setiap masa, setiap bulan, setiap satuan waktu kehidupan. Karenanya, selain kata adhiyah atau qurban, dalam Islam kita juga dikenalkan kata at-tadhiyah atau pengorbanan. Spirit qurban yang dilanjutkan dalam setiap fragmen kehidupan itu tidak lain adalah at-tadhiyah; pengorbanan.
Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Abdul Halim Mahmud, salah seorang ulama besar Timur Tengah, dalam kitabnya Rukn At-Tadhiyah menjelaskan bahwa dijadikannya pengorbanan (at-tadhiyah) sebagai salah satu sunnah Islam dalam empat poin utama:
Yang pertama, bahwa setiap langkah dalam beramal karena Islam selalu membutuhkan pengorbanan atau disunnahkan adanya pengorbanan di sana jika tidak sampai pada tataran kewajiban.
Yang kedua, bahwa antara adhiyyah (qurban) dan at-tadhiyyah (pengorbanan) tampak jelas keterkaitannya. Hubungannya sangat kuat karena keduanya merupakan upaya mendekatkan diri kepada Allah.
Yang ketiga, bahwa masing-masing antara adhiyyah (qurban) dan at-tadhiyyah (pengorbanan) mewujudkan adanya tolong menolong antara kaum muslimin, menyatukan dan melindungi mereka.
Yang keempat, bahwa masing-masing antara adhiyyah (qurban) dan at-tadhiyyah (pengorbanan) keduanya menghasilkan kebaikan bagi pelakunya.
وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ۚ
…dan berbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan (QS. Al-Hajj [22]: 77)
Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Sejak Islam dikumandangkan, sejak Muhammad diangkat sebagai Nabi dan Rasulullah, sejak saat itu pula sejarah pengorbanan dimulai. Baik pengorbanan harta, pengorbanan waktu, pengorbanan fikiran, hingga pengorbanan nyawa dilalui oleh generasi pertama umat ini.
Lihatlah Rasulullah bersama ibunda kaum mukminin Khadijah r.a. yang semula termasuk orang yang paling kaya di Makkah, mereka hidup sederhana karena harta-hartanya digunakan untuk bekal dakwah. Juga menyelamatkan kaum mukminin dan menolong mereka yang kekurangan. Abu Bakar juga demikian. Sahabat terkemuka ini membebaskan budak muslim dengan uangnya sendiri. Bilal adalah salah satunya. Demikianlah pengorbanan harta senantiasa mengiringi langkah generasi pertama umat ini, baik dalam periode Makkiyah maupun Madaniyah.
Pengorbanan waktu juga dilakukan oleh seluruh sahabat. Tidak satu pun diantara mereka yang memeluk Islam kecuali setelah itu segera mengorbankan waktunya untuk mendakwahi orang lain. Tidak satu pun diantara mereka yang memeluk Islam kecuali setelah itu segera mengorbankan waktunya untuk membela agama yang mulia ini.
Para sahabat juga mencurahkan segala potensi akalnya untuk memperjuangkan Islam dan memberikan kemanfaatan kepada sesama. Maka kita kenal nama Salman Al Farisi yang membawa ide pertahanan parit saat pasukan ahzab hendak menyerbu Madinah. Jadilah perang itu disebut perang khandaq. Ada Khalid bin Walid, meskipun masuk Islamnya belakangan, ia berjasa besar bagi Islam. Kekuatan pikirannya dicurahkan untuk merancang strategi perang hingga kaum muslimin selalu mendapatkan kemenangan di bawah komandonya.
Bahkan pengorbanan nyawa juga menjadi hal yang mudah dijumpai pada generasi pertama umat ini. Mulai dari Sumayyah dan suaminya yang menjadi syuhada pertama karena dibunuh kafir Quraisy lantaran tidak mau kembali kepada jahiliyah. Tidak terhitung banyaknya jumlah syuhada sejak perang badar, uhud, khandaq, dan perang-perang berikutnya. Karakter para sahabat itu adalah menyambut seruan jihad dengan siap mengorbankan nyawa mereka; menjadi syuhada fi sabilillah.
Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Saat ini, di negeri ini, kita tidak menjumpai jihad fi sabilillah yang memberi kita kesempatan untuk mengorbankan nyawa di jalan Allah. Namun demikian, medan pengorbanan lain masih terbuka luas. Siapa menjaga spirit itu maka mereka berkesempatan menyusul orang-orang terbaik ke tempat terbaik berupa surga, dapat dilakukan melalui kegiatan:
Pertama, berdakwah dan amar ma’ruf nahi munkar. Inilah pengorbanan yang harus selalu ada dan kita lakukan bersama. Dakwah adalah al-muayyidat bagi agama ini. Dengannya umat terselamatkan dari pemurtadan. Dengannya seorang muslim diarahkan untuk kokoh dalam keislamannya. Dengannya seorang muslim diajak untuk menjalankan Islam secara kaffah sekaligus memeperjuangkannya.
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali Imran : 104).
Kedua, berinfaq dan shadaqah baik yang wajib maupun yang sunnah. Seorang muslim hendaklah meneruskan spirit qurban dengan terus mengeluarkan hartanya di jalan kebaikan dengan shadaqah baik yang wajib semisal zakat, maupun yang sunnah; yang tidak terikat oleh ketentuan besaran dan waktunya.
Dengan menyantuni fakir miskin dan kaum dhuafa’, bukan hanya kita bersyukur kepada Allah SWT tatapi juga berupaya untuk memperkokoh keislaman mereka dan menumbuhkan saling cinta. Jangan sampai kita menjadi pendusta agama yang tidak peduli dengan beban sesama.
اَرَءَيْتَ الَّذِيْ يُكَذِّبُ بِالدِّيْنِۗ فَذٰلِكَ الَّذِيْ يَدُعُّ الْيَتِيْمَۙ وَلَا يَحُضُّ عَلٰى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِۗ
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin… (QS. Al-Ma’uun : 1-3)
Ketiga, berkontribusi sesuai kompetensi. Ketika seorang muslim bekerja, hendaklah ia niatkan untuk ibadah. Bahwa ia sedang turut membangun peradaban Islam, membantu sesama, menebar kebaikan dan kemanfaatan bagi manusia. Maka segala daya yang dikeluarkannya, lelahnya, energinya, semuanya menjadi bentuk pengorbanan. Karenanya, seorang muslim yang memiliki spirit berkorban pada saat yang sama juga memiliki semangat untuk terus meningkatkan kinerja dan memperbaiki prestasi.
Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Dengan agungnya makna dan tujuan dari ibadah kurban ini, maka sudah selayaknya kita berusaha untuk dapat melaksanakannya sehingga kita akan semakin dekat kepada Allah. Tentu kita tidak ingin menjadi hamba yang kufur nikmat dan terputus rahmat Allah karena kita tidak berkurban padahal sebenarnya kita mampu.
Mari kita bersama-sama menjadi hamba yang cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dengan menjalankan perintah-perintahnya. Jangan sampai kita pada kondisi yang disebutkan dalam surat Al-Kautsar ayat 3: اِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْاَبْتَرُ Artinya: “Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (dari rahmat Allah)”. Audubillah. Tapi sebalikknya kita lakukan perintah sekaligus menjadi balasan dari Allah SWT, Firman-Nya. “Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati” (QS. Al-Hajj [22]: 32).