SD-ku, Guru-ku dan Pengabdiannya
SD dan Ingatan-ku
Bagaimana rasanya jika anda kembali mengenang masa-masa anda di sekolah dasar? Tentunya ada perasaan menggelitik atau mungkin pengalaman ‘memalukan’ ? Itu semua bumbu-bumbu masa kecil kita. Tak terasa kini usiaku sudah menginjak 54 tahun, terkenang 42 tahun yang lalu saya menamatkan diri di SD ini. Dulu, bangunan SD-ku ini masih ala kadarnya, maklum SD ini terletak di ujung timur kota kabuaten Ciamis. Walaupun pinggiran jangan anda anggap remeh, karena daerahku ini sering didatangi para pejabat TNI dari Kodam IV Siliwangi, karena di Desaku dikenal daerah penyelamat Panji Siliwagi.
SD-ku ini terletak satu kompleks dengan Balai Desa, Mesjid dan Madrasah serta berdekatan pula dengan SD yang lain. Pasti banyak dong siswanya? Tentu saja, bayangkan saja kalau istirahat atau istilah waktu kecil itu keluar main. Sudah banyak anak-anak berlarian di depan kelas. SD. Cinyasag I lah SD yang telah menjadi sekolah formalku dari kelas 1 sampai 6.
Begitu juga dengan saudara-saudaraku yang lain, juga menamatkan diri sampai kelas 6, kemudian lanjut ke SMPN Panawangan. Kecuali aku melanjukan MTs. Nah. Kalau di hitung-hitung sepertinya kami bertujuh bersaudara merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dengan sekolah kami ini dari tapak-tapak pendidikan kami.
Hari Kamis tahun lalu, saya datang ke sekolah saya ini. Tentunya sudah banyak perubahan bila dibandingkan dengan 42 tahun yang lalu, yang paling terlihat adalah bangunan baru yang dulunya lapangan sekarang menjadi Kantor dan Pusat Sumber Belajar Siswa.
Yang berubah lagi adalah tempat pa Sudin yang dulu ada di belakang, sekarang disulap menjadi ruangan kelas. Lonceng yang dulu bertengger kokoh di depan kelas paling ujung kini sudah tidak ada lagi (mungkin sudah uzur dan karatan jadi di buang).
Dari struktur kepengurusan sekolah, memang sudah sejak beberapa kali terjadi pergantian kepala sekolah yang dulunya pak Sutisna Mihaja (Alm). Nampaknya baik kepala maupun guru-guru Kami dahulu sudah tidak adalagi di SD ini semuanya sudah tergantikan dengan guru yang melanjutkan perjuangan guru-guru kami yang telah puluhan tahun mengabdi untuk sekolah kami ini.
Yang teringat dibenakku adalah wajah-wajah guru-guruku yang dulu. Saya ingat guru kelas I ku ibu Onih, guru kelas 2 Ibu Tjitjih guru kelas 3 ibu Onah, guru kelas IV ibu Atih, guru kelas V pak Gunawan, dan guru kelas VI Pa Encen, dan pak Parman sebagai guru Agama setia mengajar anak-anak tentang Agama Islam yang senantiasa mengingatkan kami akan Agama Rahmatan Lil Alamin.
Dalam alunan nada dan doa, saya senantiasa meminta kepada Allah SWT sang pemilik alam ini agar senantiasa mencurahkan rezeki dan kesehatan kepada guru-guruku, baik di SD, SMP, SMA, hingga ke perguruan tinggi. Dan semoga mereka senantiasa dalam lindungan-Nya.
Mengingat perjuangan guru-guruku dalam mengajar kala itu terus memotivasi saya agar tidak menyia-nyiakan ilmu yang telah mereka ajarkan agar aku terus sekolah dan meraih prestasi. Akhir kata semoga tulisan kali ini memberikan anda inspirasi, motivasi, dan semangat untuk tak mengenal lelah untuk senantiasa menuntut ilmu dan sekolah dengan sungguh-sungguh.
Mengenang lebih empat puluh tujuh tahunan yang lalu, guru kelas 1 (satu) SD ku ibu Onih, begitu lembut, sabar dan telaten. Ibu mengajarkan kami, mengenal huruf dan angka satu persatu, begitupun menuliskannya, serta mengajarkan kami berhitung pakai lidi, apbila ada yang belum faham diulangi lagi hari keesokan harinya, diajarkan menulis dan berhitung (tambah-kurang), mulai belajar menulis dengan menggunakan gerip dan sabak, kalau dapat nilai bagus pasti nilai itu ditempelkan ke pipi supaya terlihat oleh teman kelas, dikarenakan pada waktu itu Ibu menilai pada sabak menggunakan kapur tulis. Disamping itu belajar bernyanyi dengan lagu ”sapoe satalen, duapoe sa esen………….”. Makna lagu itu memgingatkan kita untuk rajin dan gemar menabung.
Selang setahun naik ke kelas 2 (dua), tapi ruang kelas masih menggunakan kelas yang dipakai waktu kelas 1, sehubungan kelas 2 masuknya agak siang mulai jam 9.30 sampai jam 12.00. Guru kelas 2 oleh Ibu Tjitjih yang tegas dan bijaknsana, mengajarkan kami membaca, menulis, berhitung disamping tambah kurang, belajar perkalian (raraban) dan pembagian, serta menggambar dan bernyanyi. Ketika itu, menulis, menggambar baru mualai menggunkan pensil dan buku.
Ketegasan dan kebijaksanaan Ibu diterapkan ketika ada anak nakal waktu belajar mendapat ganjaran distrap atau suruh berdiri di depan kelas, kadang sambil memegang telinga sebelah, kadang disuruh jengke (mengankat kaki sebelah). Ketika akhir pembelajaran, kami disuruh mengacungkan tangan, bagi yang sudah siap menalar raraban (kalian), yang lebih duluan mengacungkan tangan disuruh kedepan lebih dulu, untuk menalar raraban, apabila raraban betul, maka diperbolehkan pulang telebih dulu. Bagi yang belum lancar raraban, pasti mendapat giliran pulang paling belakang, selanjutnya menjadi PR untuk keesokan harinya. Begitu seterusnya berjalan setiap hari. Pada akhir kelas 2 ada beberapa orang teman yang tidak naik kelas, atau ngendog menurut istilah waktu itu.
Naik ke kelas 3 (tiga), kelaspun berpindah ke ruang kelas 3. Guru kelas 3 kami, waktu itu Ibu Oong yang penyayang dan bersahaja mengajarkan kami membaca yang dipakai bacaan buku taman pamekar yang banyak menceriterakan kehidupan keluarga dan pendidikan, menulis, berhitung tambah kurang, kalian, pembagian, dan ditambah dengan hitungan angka pecahan serta menggambar dan bernyanyi, itu menjadi rutin. Ketika itu, mulai belajar menulis halus, dengan menggunakan kalam pena dan tinta, menggambar mualai dengan menggunkan patlot gambar (pensil warna) dan buku gambar.
Disamping itu Belajar Agama gurunya tersendiri oleh Guru Agama pada waktu kelas 1 sampai kelas 3 kami belajar agama oleh Bapa Moch. Toha. Dalam pelajaran agama diajarkan dasar-dasar agama Islam muali dari aqidah, syari’ah (thoharoh, ibadah, mu’amalah), dan akhlaq.
Ketika itu juga belajar olahraga, kesahajaan Ibu Oong, sangat terasa ketika kami perlu bola karet, di kampung kan susah uang, maklum di kelas kami hampir semuanya anak petani, Ibu menyuruh kami mengumpulkan kayu bakar, entah kena seminggu atau berapa hari wajib tiap hari membawa kayu bakar stek satu hari, setelah terkumpul dan diperkirakan kalau dijual menyimak dengan harga bola yang mau dieli, maka membawa kayu bakar di stop. Hal ini mengingatkan kita pentingnya urun rembuk atau gotong royong, istilah lain patungan.
Sampai pada kenaikan kelas 3 naik ke kelas 4, Ibu menyuruh kami membawa beras 1 cangkir, pada hari H-nya kenaikan kelas kami di suruh bawa pring dan sedok, selesai acara puncak pembagian raport, kami disuruh berjejer mengantri bagian nasi dan soto, kala itu tidak ada yang berani saling mendahului dikarenakan sudah punya nomor masing. Hal itu mengingatkan kita disiplin betapa pentingnya saling menghargai atar sesama teman.
Menginjak di kelas 4 (empat), sudah barang tentu kelaspun berpindah dan guru pun berganti. Guru kelas 4 kami, waktu itu Ibu Atih yang pendiam tapi bersahaja dan penyayang mengajarkan kami membaca yang dipakai buku Gandasari yang banyak menceriterakan hikayat, menulis, berhitung tambah kurang, kalian, pembagian, angka pecahan dilengkapi dengan bagi kurung serta menggambar dan bernyanyi, itu menjadi rutin. Di kelas 4 kami muali belajar ilmu bumi, mengajarkan peta muali dari desa, kecamatan sampai pada propinsi, sudah barang tentu peta wilayah propinsi Jawa Barat.
Ketika itu, kami belajar bernyanyi dengan menggunakan pupuh kinanti, sinon, asmarandana magatru dan sebagainya yang intinya banyak pepatah untuk kebaikan, di samping itu lagu-lagu perjuangan. Yang masih terngiang ditelinga ketika kami diajarkan nyanyi entah pupuhnya apa tapi baitnya masih ingat ”He barudak kudu mikir ti leuleutik, maneh kahutangan, tikolot tibarang lahir, nepi kaayena pisan……………….”. Dari sini mengingatkan kita bahwa betapa pentingnya mengahrgai orang tua kita yang telah susah payah membesarkan kita dengan tanpa pamprih.
Sampai pada kelas 5 (lima), guru kelas 5 ku Pak Gunawan yang serba disiplin dan bersikap tegas tapi bijaksana mengajarkan kami membaca, menulis, berhitung, menggambar dan bernyanyi, itu menjadi rutin, perbedaanya dengan kelas-kelas di bawahnya, kalau membaca mulai menghayati makna bacaan dan harus dapat menceriterakan isi dari bacaan, kalau berhitung sudah mualai kepada pemecahan soal, menulis mulai diajarkan imajinasi mengarang cerita dan sejenisnya, kerajinan tangan (prakarya), membuat sesuatu, seperti PR mengambar membuat peta, PR prakarya membuat alat perabot rumah tangga dan sebaginya. Bapak selalu menilai dengan baik asal pekerjaan itu karya sendiri.
Diasamping pak Gunawan Guru kelas 5 kalau sekarang disebut wali kelas, Kami belajar agama dengan Pak Parman, memang pak Parman menggantikan Guru Agama Pak Moch Toha sejak kelas 4, karena Pak Moch Toha pensiun. Yang menjadi kenangan dari pelajaran agama oleh pak Parman, ketika beliau menerangkan isi dan makna kandungan dari surat Ar-Rad: [13]: 11: ”…. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri……” (Qs. Ar-Rad: 11). Ayat ini mengajarkan dan mewajibkan manusia supaya berusaha ke arah yang lebih baik. Hal ini menjadi bekal bagi kehidupan saat ini dan yang akan datang.
Disamping itu pak Juada yang selalu mengajarkan kami kesenian, seni suara, seni peran, seni bela diri, seni peran dan sejnisnya. Banyak pelajaran dari seni yang diajarkan oleh Pak Juanda. Penca silat sampai dientaskan pada peringatan 17 Agustus 1989 di alun-alun Desa Cinyasag, Seni Suara (Paduan Suara, Qosidah) dipentaskan di tingkat Kecamatan dan selalu dapat Juara, malah Qosidah ”Al-Wahdah” namanya samapai mendapat undangan dari masyarakat untuk menghibur hajatan, dalam urusan kesenian terlebih Qosidah saat itu kelas 5, kami bertiga ( aku, iah dan ending) selalu mengikuti dan sebagian lagi dari kelas 4 dan 6).
Mengijak ke kelas 6 (enam), guru dan wali kelas kami pak Husen, yang sangat penyabar, suka bekerja keras, selalu memotivasi untuk maju.
Dimulai dari hari pertama aku dan kawan-kawanku menduduki bangku kelas VI. Kami bermain kapal-kapalan layaknya anak-anak. Lalu datanglah guru kami dengan baju putih, rambutnya agak sedikit lurus, berkarang di dagu. Bapak melihat perbuatan kami semua namun, guru kami hanya tersenyum kepada kami dan seraya berkata “Selamat Pagi Anak-anak !” lalu guruku duduk di kursinya membersihkan bangkunya yang berdebu. Hal tersebut masih berlangsung pada satu guru. Belum lagi, ketika pelajaran yang lain dalam setiap hari sekolah guru-guruku semua menjalaninya dengan tabah dan istiqamah.
Pembelajaran di kelas 6 nampaknya diarahkan ke pemantantapan untuk menghadapi ujian akhir, disamping itu sebagian siswa dihadapkan kepada testing/ujian untuk melanjutkan ke SMPN, sebab pada waktu itu yang akan melanjutkan sesuai dengan minat, pada angkatan kami dari satu kelas lebih kurang 40 siaswa yang minat melanjutkan ke SMPN hanya kami berlima (Aku, Eengkus, Iah, Teti dan Eno). Menjelang ujian kami berlima selalu belajar bersama di rumah pak Guru Encen, apalagi kalau keesokan harinya kami harus mengikuti latihan ujian yang biasa dilaksanakan seminggu sekali keliling pada 5 SD di Desa kami, jadi sebelumnya harus belajar kadang-kadang mempersiapkannya sampai larut malam, dengan setia dan sabar pak Encen membimbing kami, mengarahkan kami, memotivasi kami agar sampai pada keberhasilan lulus di terima di SMPN. Maklum pada waktu itu SMPN di Kecamatan Panawangan baru ada satu, sedangkan SD di satu desa rata-rata lima SD. Kecamatan Panawangan terdiri dari 7 Desa wal hasil ada lebih kurang dari 35 SD. Sedangkan SMPN kemampuan daya tampungnya untuk siswa baru hanya 2 kelas, jadi kalau di rata-rata 1 SD hanya kebagian jatah 2-3 orang, demikian tingginya persaingan waktu itu.
Hari demi hari, dilaluinya bagaikan air yang mengalir dari hulu ke muaranya, kisah sedih dan pilu kami rasakan bersama. Dalam suka maupun duka setiap harinya kita lalui, apakah hal itu gembira ataupun sedih. Capek, lelah, letih dan lesu pastilah amat dirasakan oleh ibu betapa jauh jarak yang harus ditempuhnya tidak sepadan dengan penghargaan yang kita berikan kepadanya. Namun, disamping itu di hati kecil kita pribadi pastilah menyesali perbuatan yang telah dilakukan. Namun , ibu tetap dengan senyumnya yang tulus dan tanpa beban. Walaupun ia masih terlihat berkeringat akibat terburu-buru berangkat dari rumahnya yang cukup jauh itu.
Tibalah saat Ujian, jantung kami amat berdebar kencang ketika telah diumumkan ruangan kami masing-masing. Lalu, kami pun bersiap-siap untuk memasuki ruangan tersebut. Dengan bekal yang kami peroleh selama kurang lebih 6 tahun, kami mulai duduk dan mendengarkan instruksi berita acara ujian. Pesan ibu yang senantiasa saya ingat adalah “Jangan Menyontek walaupun Soal sesulit apapun !” kata-kata ibu membekas pada diriku, sehingga pada saat ujian saya berjanji pada diri saya bahwa “ Saya tidak akan menyontek !” walaupun demikian saya melihat banyak teman-teman saya mendapat bantuan dari luar. Seandainya, ibu melihat ini semua pasti ibu amatlah sedih. Walaupun demikian ujian berjalan dengan lancar.
Hari-hari ujian kami lalui, setahap demi setahap menuju bangku SMP. Hiruk pikuk ujian mewarnai suasana yang hampir terasa hampa selama 2 minggu. Akhirnya, tiba saatnya hari terakhir ujian, kami masih merasa deg-degan dengan ujian kami sebelumnya yang belum diketahui hasilnya sedikit pun. Pada saat hari terakhir, setelah ujian kami langsung menemui ibu untuk berterima kasih atas pengorbanan yang telah diberikannya selama setahun ini. Walaupun, kami sekelas telah melalui 6 tahun bersama, tetapi ibu bapak guru kami adalah guru yang paling berkesan pada diri kami.
Akhirnya, tiba saat pembagian Ijazah/STTB (Surat Tanda Tamat Belajar) dan STK (Surat Tanda Kelulusan masuk SMP). Hati kami berdegup kencang ketika menerima ijazah kami secara simbolis dari Bapak Kepala Sekolah. Ketika kulihat nilaiku yang bagus, saya langsung sujud syukur kehadirat Allah SWT atas kecerdasan yang diberikannya kepada ku. Saya lalu berlari ke dekapan ibuku lalu kuucapkan banyak terima kasih kepada ibu bapak guru yang telah mengajarku terutama Pak Encen, kulihat ibu berlinang air mata melihat kelulusan kami semua. Ibu pasti mengingat hari-hari yang telah dilalui bersama kami di kelas VI. Demikianlah, hari demi hari yang telah kami lalui bersama ibu bapak guru kami yang telah mengajarkan dan mengorbankan waktu dan segala sesuatunya untuk membuat kami cerdas.
Setelah ujian kelas VI selesai, saatnya sekolah mengadakan acara perpisahan sekolah. Pastinya acara ini digelar untuk melepas siswa kelas dua VI. Walaupun sebagian siswa kelas VI yang telah melewati testing masuk SMP masih deg-degan menunggu hasilnya. Sementara kelas IV dan V, biasanya mereka berlatih untuk menampilkan hiburan terbaik bagi kakak kelasnya. Semua Guru, pun bekerja sama untuk menyelenggarakan perpisahan sederhana tapi bermakna untuk siswa kelas VI. Adapun Guru yang mempersiapkan acara Kesenian dan Sandiwara adalah Pak Juanda.
Bercerita tentang Sandiwara yang diperankan untuk mempunyai lakon adalah Aku sebagai Wirabuana dan Kumayadi, sebagai Wirasantana. Pendek cerita kedua Wira (pahlawan) itu bertarung untuk memperebutkan kebenaran dan pada ahkhirnya kedua wira (paeh patunjang-tunjang) meninggal bersama di medan perang.
Perpisahan sekolah merupakan hal yang spesial karena semuanya berkumpul untuk merayakan satu kemenangan sekaligus berpisah. Perpisahan yang terjadi dengan tujuan agar kita bisa meraih pendidikan yang lebih baik dan lebih tinggi lagi. Semuanya demi masa depan yang lebih baik. Perasaan yang dirasakan pastinya bercampur aduk. Ada yang sedih, senang dan sebagainya. Tapi ini semuanya pasti membawa makna sendiri bagi kita semua.
Moment bersalaman dengan guru, orang tua/wali dan seluruh siswa adalah saat yang sangat ditunggu. Inilah moment yang sangat membuat kita semua merasa bahwa kita saling menyayangi. Tidak ketinggalan sesi pemotretan pun dilakukan untuk mengabadikan saat-saat yang indah.
Perpisahan itu hanya perpisahan sebuah benda dengan benda lain sehingga jaraknya terpaut lebih jauh dari kedudukannya semula. Tapi bisa juga perpisahan adalah menjauhnya suatu ikatan batin (hanya ikatan batin saja) dari seseorang terhadap seseorang lainya ataupun dengan objek yang mempengaruhi batin seseorang itu atau berpisahnya seseorang selamanya tanpa pernah bisa berkomunikasi lagi. Perpisahan ini bukanlah akhir dari segalanya tapi merupakan proses untuk mencapai masa depan yang lebih baik.
Terima kasih ibu bapak guruku, kenangan ibu bapak guru tak pernah kulupakan selamanya, pengabdian yang ibu bapak lakukan tidak lah sia-sia karena kami akan menjadi penerus generasi mendatang yang berguna buat nusa dan bangsa.