HUMAN CAPITAL INDONESIA DIMATA ASEAN
Peuguatan Materi Bimbingan Proposal Tesis dan Disertasi
Dari sisi jumlah, penduduk Indonesia memang paling banyak dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Ditambah dengan bonus demografi, jumlah penduduk usia produktif Indonesia tidak mungkin tertandingi. Sayangnya, dari sisi kualitas penduduk Indonesia belum sekelas jumlahnya. Indeks human capital Indonesia baru berada pada posisi 0,6 dari maksimal nilai 1,0 yang mungkin diperoleh. Nilai tersebut relatif masih rendah untuk negara Indonesia yang sebesar ini, sebagaimana digambarkan pada gambar berikut:
Gambar 1: Indeks Modal Manusia Indonesia
Sumber: World Bank, 2020
Singapura berada di posisi pucuk Indeks Modal Manusia (Human Capital Index/HCI) secara global dengan 0,88 poin. Sehingga menempatkannya menjadi juara pula di Asia Tenggara. Singapura dianggap unggul meningkatkan kualitas pendidikan berkelas dunia. Kualitas kesehatan pun juga meningkat, sehingga harapan hidupnya tinggi. Pada 2020, Indonesia di bawah Singapura menghasilkan 0,54 poin sama seperti HCI pada 2018 silam. Posisinya berada di bawah Vietnam (0,69 poin), Brunei Darussalam (0, 63 poin), Malaysia (0,61 poin), dan Thailand (0,61 poin). (Baca: Indeks Modal Manusia Singapura Tertinggi di Dunia) HCI yang mencakup 174 negara, melihat bahwa perkembangan kondisi kesehatan dan pendidikan di suatu negara mampu membentuk produktivitas pekerja generasi selanjutnya. Hal tersebut dihitung dari beberapa komponen, seperti tingkat kematian dan stunting anak di bawah lima tahun, kuantitas dan kualitas pendidikan, serta kemampuan bertahan usia dewasa.
Indeks human capital Indonesia yang masih rendah diidentifikasi mempunyai kaitan erat dengan kondisi sosial ekonomi bangsa. Memang harus diakui bahwa daya saing Indonesia menurut Global Competitiveness Report tahun 2019 oleh World Economic Forum, peringkat daya saing Indonesia berada pada tingkat 50 dari 141 negara. Hal ini masih sedikit dibawah Malaysia dan Thailand. Serta Singapura yang berada di peringkat pertama. Suharso mengatakan, dampak pandemi Covid-19 memberi tekanan yang besar pada sektor ketenagakerjaan Indonesia. Sebagai informasi, pada periode Agustus 2020 terdapat sekurang-kurangnya 29 juta penduduk usia kerja yang terdampak pandemi Covid-19 dan tingkat angka pengangguran terbuka 7,07 % atau sebanyak 9,77 juta orang menganggur. (Suharso, M 2020). Bersamamaan dengan penduduk miskin, kelompok tersebut masih sangat rentan terhadap peningkatan harga bahan pangan, permasalahan kesehatan yang tak terduga, dan bencana alam.
Menghadapi permasalahan dan tantangan yang demikian berat, tidak ada jalan lain bagi bangsa ini kecuali harus secara terus-menerus melakukan evolusi yang dipercepat terhadap pengem-bangan human capital. Manusia adalah pusat pemecahan masalah. Human capital adalah pemicu dan sekaligus navigator. Permasalahan yang ada tidak cukup dihadapi secara konvensional sebagaimana yang selama ini telah dilakukan. Hal tersebut tidak salah tetapi pasti tidak membuahkan hasil optimal. Negara-negara seperti Jepang, Singapura, Malaysia, dan Korea Selatan telah melakukan percepatan evolusi pengembangan human capital tersebut sekian puluh tahun yang lalu. Korea Selatan, misalnya. Tahun 1950, Korea Selatan adalah negara miskin. Gross Domestic Product (GDP) per kapita pada akhir Perang Korea kurang dari USD 800. Dalam waktu kurang lebih 40 tahun, GDP perkapita Korea Selatan meningkat hampir sepuluh kali, yaitu menjadi USD 7.235. Keberhasilan ekonomi Korea Selatan dapat diraih berkat tersedianya tenaga kerja terdidik dan mempunyai kompetensi sehingga meningkatkan produktivitas. Reformasi pasar yang mendorong pertumbuhan hanya terjadi pada perekonomian yang memiliki human capital yang tepat untuk menyerap perkembangan baru secara efisien. Korea Selatan telah menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan tercepat di dunia (Maksymenko, 2009).
Kondisi tersebut memungkinkan untuk secara substansial mempersempit kesenjangan pendapatan perkapita dengan negara maju lainnya. Di samping itu, belanja sosial juga dapat mendorong pertumbuhan jangka panjang yang berkelanjutan di Korea Selatan, dengan berfokus salah satunya pada meningkatkan produktivitas (Elekdag, 2012). Korea Selatan melakukan investasi yang mengesan-kan pada human capital (khususnya pendidikan). Hasilnya, antara tahun 1960 hingga pertengahan tahun 1990-an, Korea Selatan mengalami pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia dengan distribusi pendapatan yang paling merata. Maka, jadilah Korea Selatan menjadi seperti saat ini.
Indonesia dapat melakukan langkah yang kurang lebih sama. Beberapa langkah yang perlu mendapatkan perhatian lebih adalah (1) memberikan perhatian lebih terhadap pembangunan pendidikan dengan meningkatkan public expenditure on education yang selama ini masih rendah, (2) meningkatkan kualitas sumberdaya manusia melalui program pendidikan dan pelatihan sehingga diperoleh tenaga kerja terdidik atau skilled labor dan employee training yang memadai baik jumlah maupun kualitas, berkompetensi dan mempunyai daya saing tinggi, dan (3) mendorong inovasi dan pengembangan teknologi melalui penyediaan dana dan anggaran yang cukup bagi kegiatan research and development (R&D), khususnya R&D yang menghasilkan teknologi maupun produk yang bernilai ekonomis. Termasuk dalam upaya ini adalah Pemerintah bersedia membeli teknologi yang dihasilkan untuk disebarluaskan penggunaannya kepada masyarakat serta membeli dan memproduksi produk-produk baru hasil penelitian.
Sumber:
Elekdag, S.(2012) Social Spending in Korea: Can it Foster Sustainable and Inclusive Growth? International Monetary Fund.
Maksymenko, S. (2009) Vulnerabilities and Building Resilience, 2014, Economic Reforms, Human Capital, and Economic Growth in India and South Korea: A Cointegration Analysis. Department of Economics University of Pittsburgh.
Suharso, (2020) Daya saing sumber daya manusia Indonesia masih tertinggal. Tersedia dalam: https://newssetup. kontan.co.id /news/.
World Bank. 2020. Indeks Modal Manusia Indonesia Peringkat Keenam di Asia Tenggara. https://databoks.katadata.co.id/ publish/ 2020/09/18.