HORMATI IBU MU
Sidang Jum’ah rahimakumullah,
Setiap tahun pada bulan Desember ada satu hari yang disebut Hari Ibu. Hampir setiap negara di dunia ini memiliki Hari Ibu yang peringatannya dilaksanakan pada hari yang berbeda satu sama lain. Di Indonesia Hari Ibu diperingati setiap tanggal 22 Desember. Di negara-negera Eropa dan Amerika, peringatan Hari Ibu jatuh pada hari Minggu kedua bulan Mei. Sementara di negara-negara Arab, seperti, Mesir, Iraq, Saudi Arabia, dan sebagainya Hari Ibu jatuh pada tanggal 21 Maret.
Dari data tersebut, dapat kita ketahui bahwa di setiap budaya atau bangsa, seorang ibu diakui memiliki peran sangat penting dalam hidup ini. Adanya peringatan Hari Ibu di seluruh dunia menunjukkan adanya kesadaran bersama untuk mengakui sekaligus menghargai jasa-jasa ibu. Jauh sebelum dunia menetapkan perlunya peringatan Hari Ibu, Rasulullah SAW telah meletakkan dasar-dasar teologis bahwa seorang ibu diakui sangat mulia sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatakan dari Anas bin Malik RA:
الجَنَّةُ تَحْتَ أَقْدَامِ الأُمَّهَاتِ
“Surga itu di bawah telapak kaki ibu.”
Hadits tersebut menegaskan bahwa seorang ibu memiliki kedudukan yang sangat mulia hingga seolah-olah surga yang begitu indah dan agung saja tidak lebih tingggi daripada seorang ibu karena diibaratkan berada di bawah telapak kakinya. Kita semua tahu bahwa telapak kaki adalah bagian paling bawah atau rendah dari organ manusia. Namun maksud hadits ini adalah bahwa tidak mungkin seorang anak bisa masuk surga tanpa ketundukan kepada seorang ibu. Sidang Jum’ah rahimakumullah, Rasulullah SAW mengisyaratkan agar bakti kepada ibu tiga kali lebih besar daripada kepada ayah sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abi Hurairah RA:
مَنْ أحَقُّ الناس بِحُسْن صَحابتي ؟ قال : أمُّك، قال : ثم مَنْ ؟ قال : أمُّك، قال : ثم مَنْ ؟ قال : أمُّك، قال : ثم مَنْ ؟ قال : أبُوك
“Suatu hari datanglah seorang laki-laki kepada Rasulillah SAW. Orang itu bertanya kepada Rasulullah, siapakah di antara manusia yang paling berhak kami sikapi dengan baik. Nabi menjawab, ibumu. Orang itu bertanya lagi, siapa lagi setelah itu. Nabi menjawab, ibumu. Orang itu bertanya lagi, siapa lagi setelah itu. Nabi menjawab, ibumu. Orang itu bertanya lagi. Nabi kemudian menjawab, kemudian ayahmu.”
Dari hadits di atas dapat kita ketahui bahwa perbandingan bakti kita kepada ibu dan ayah adalah 3 : 1 atau 75 persen : 25 persen.
Pertanyaan yang muncul kemudian, atas dasar apa Rasulullah SAW mengisyaratakan perbandingan seperti itu. Pertanyaan ini dapat kita temukan jawabannya dalam surat Luqman, ayat 14, dimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan kami perintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada ibu-bapa; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan susah payah dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada ibu-bapakmu. Hanya kepada-Ku lah kembalimu.”
Dari ayat di atas, dapat kita ketahui bahwa dalam kaitannya dengan proses kejadian dan kelahiran manusia ke bumi ini, terdapat 4 fase penting. Fase pertama adalah fase yang melibatkan partisipasi dari ayah dan ibu dimana peran ayah sangat menentukan. Dalam fase ini, sel telur sang ibu tidak mungkin terbuahi tanpa pertemuannya dengan seperrma sang ayah. Dengan kata lain tugas alamiah seorang laki-laki atau ayah adalah membuahi sel telur perempuan atau ibu sehingga terjadi kehamilan yang bentuk awalnya berupa gumpalan darah yang dalam Al Qur’an, Surat ke 96, ayat 2 disebut sebagai ‘alaq sebagaimana ayat berikut:
خَلَقَ الإنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ
“Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.”
Ayat di atas menegaskan bahwa proses awal terjadinya manusia adalah gumpalan darah. Hanya pada fase awal inilah seorang laki-laki memainkan peran alamiah satu-satunya yang tidak mungkin digantikan oleh perempuan karena sel telur hanya bisa dibuahi oleh sperma. Maka bisa dimengerti bakti seorang anak kepada ayah dibadingkan dengan ibu adalah 1:3 karena dalam 3 proses berikutnya seorang ayah sudah tidak terlibat lagi. Masing-masing dari ketiga proses ini sepenuhnya dilakukan oleh ibu dengan susah payah dan penuh risiko. Hal ini berbeda sama sekali dengan proses awal atau fase pertama yang penuh dengan kenikmatan tanpa risiko berarti. Sidang Jum’ah rahimakumullah, Setelah selesainya proses pertama, yakni pembuahan sel telur oleh sperma, maka proses berikutnya atau kedua adalah kehamilan.
Dalam proses ini, seorang ibu harus mengandung si janin dalam kandungan selama rata-rata 9 bulan. Selama 9 bulan ini, tidak ada partisipasi ayah sama sekali karena organ laki-laki memang tidak dirancang untuk bisa mengandung seorang bayi. Hingga kini pun tidak ada teknologi yang bisa membuat laki-laki berpartisipasi atau mengambil alih tugas mengandung. Bayi tabung pun juga tidak bisa dikembangkan dalam organ laki-laki karena faktanya laki-laki memang tidak memiliki rahim.
Dalam fase mengandung ini, seorang ibu mengalami kesusahan demi kesusahan yang didalam Al Qur’an digambarkan sebagai وهنا على وهن , yakni keadaan susah payah dan lemah yang dari hari ke hari bukannya makin ringan tetapi makin berat.
Sidang Jum’ah rahimakumullah,
Setelah proses kedua selesai, disusul proses ketiga yang merupakan puncak dari proses kehamilan, yakni proses melahirkan. Lagi-lagi dalam proses melahirkan ini tidak ada keterlibatkan seorang ayah. Seorang ibu harus berjuang sendiri untuk bisa melahirkan dengan selamat, baik selamat bagi dirinya sendiri maupun bayi yang dilahirkannya. Tugas ini ber-risiko tinggi karena secara langsung berkaitan dengan keselamatan jiwa. Tentunya telah sering kita dengar beberapa perempuan meninggal saat melahirkan. Dalam proses melahirkan ini, sang ayah juga tidak bisa berbuat banyak untuk meringankan beban sang ibu. Seringkali terjadi, sang ayah tak sanggup dan tak tega menyaksikan sang ibu sedang berjuang melahirkan karena penderitaan yang dialaminya sangat berat dengan nyawa sebagai taruhannya. Seringkali pula, sang ayah hanya bisa menangis penuh kekhawatiran sambil berdoa mudah-mudahan sang ibu bisa melahirkan dengan selamat. Sidang Jum’ah rahimakumullah, Setelah proses ketiga selesai, disusul proses keempat, yakni menyusui.
Dalam proses menyusui ini, sang ibu harus berhati-hati dan selalu menjaga diri sebaik mungkin karena apa yang terjadi pada dirinya bisa berdampak langsung pada si bayi. Sang ibu harus sanggup berjaga menahan kantuk, baik siang maupun malam. Ketika si bayi haus dan lapar dan membutuhkan ASI, seorang ibu harus selalu siap memberikannya. Dalam tugas ini, sang ayah juga tidak bisa berbuat banyak untuk meringankan beban sang ibu. Berbagai resiko, baik fisik maupun non-fisik pun, juga sering dihadapi para ibu yang sedang menyusui. Sidang Jum’ah rahimakumullah, Al-Qur’an memberitakan masa menyusui adalah dua tahun sebagaimana bunyi ayat:
وفصاله في عامين
“Dan menyapihnya dalam usia dua tahun.” Masa dua tahun menyusui dengan ASI adalah ideal terutama bagi ibu-ibu yang memang memiliki kesempatan untuk itu. Tetapi bagi mereka yang memiliki masalah tertentu, maka setidaknya selama 6 bulan pertama dapat mengusahakannya sebab selama itu ASI bersifat eksklusif. Ini merupakan standar internasional yang didasarkan pada bukti ilmiah tentang manfaat ASI bagi daya tahan hidup bayi, pertumbuhan, dan perkembangannya. ASI memberi semua energi dan gizi yang dibutuhkan bayi selama 6 bulan pertama hidupnya. Pemberian ASI eksklusif mengurangi tingkat kematian bayi yang disebabkan berbagai penyakit yang umum menimpa anak-anak seperti diare dan radang paru, serta mempercepat pemulihan bila sakit dan membantu menjarangkan kelahiran.
Sidang Jum’ah rahimakumullah,
Mengingat beratnya tugas ibu, yakni tiga hal penting yang terdiri dari: mengandung, melahirkan dan menyusui, maka bisa dimengerti mengapa Nabi Muhammad SAW mengisyaratkan agar hormat dan bakti kepada ibu lebih besar daripada kepada ayah. Sebagaimana saya uraikan di atas, perbandingannya adalah 3 : 1. Perbandingan ini masuk akal dan adil.
Khutbah II