Membangun Kesadaran Ekologis: Gotong Royong dan Eko-Theologi Menuju Indonesia Emas 2045

Wawancara Eksklusif  dengan: Prof. Dr. H. A. Rusdiana, MM. Guru besar Manajemen Pendidikan UIN Bandung. Peraih Nominator Penulis Opini terproduktitf di Koran Harian Umum Kabar Priangan (15/5/2025). Dewan Pembina PERMAPEDIS Jawa Barat; Dewan Pakar Perkumpulan Wagi Galuh Puseur. Pendiri dan Pembina Yayasan Sosial Dana Pendidikan Al-Mishbah Cipadung Bandung dan Yayasan Pengembangan Swadaya Mayarakat Tresna Bhakti Cinyasag Panawangan Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat. (Kamis 5 Juni 2025),

“Membangun Kesadaran Ekologis: Gotong royong digital dan eko-theologi jadi kunci membentuk kesadaran ekologis menuju generasi emas Indonesia 2045″

Tanggal 5 Juni diperingati sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Tema tahun 2025, “Hentikan Polusi Plastik,” menggambarkan kegentingan krisis ekologi global. Sampah plastik telah mencemari sungai, lautan, bahkan udara dalam bentuk mikroplastik. Kampanye saja tidak cukup. Diperlukan pendekatan yang menanamkan nilai ekologis sejak dini, dengan menyatukan pendidikan, budaya gotong royong, serta spiritualitas dalam ekosistem digital era 5.0. Teori nilai edukatif dari algoritma gotong royong: memandang “Algoritma gotong royong” adalah pendekatan edukatif yang merancang proyek-proyek pembelajaran digital berbasis kolaborasi. Nilai-nilai luhur bangsa—seperti kebersamaan, tanggung jawab sosial, dan cinta Tanah Air—diintegrasikan dalam simulasi teknologi. Siswa diajak menulis skrip digital untuk pembagian peran dalam aksi bersih lingkungan, sambil menerapkan etika kolektif Pancasila, khususnya sila ketiga: Persatuan Indonesia. Pendekatan ini selaras dengan teori literasi digital yang menempatkan teknologi sebagai sarana membentuk karakter, bukan sekadar alat konsumsi informasi.

Namun di tengah derasnya arus digital dan gaya hidup instan, terjadi degradasi nilai dalam keluarga dan masyarakat. Pendidikan belum sepenuhnya efektif dalam membentuk karakter ekologis. Generasi muda rentan mengalami disorientasi, pragmatisme, bahkan apatis terhadap isu lingkungan. Oleh karena itu, revitalisasi nilai gotong royong dan eko-theologi dibutuhkan sebagai fondasi Kurikulum Cinta dan Deep Learning menuju Indonesia Emas 2045. Maka tulisan ini bertujuan Manjawab Persolana membangun kesadaran bahwa gotong royong dan eko-theologi dapat menjadi strategi kultural dan spiritual dalam membentuk karakter pelajar Pancasila yang cinta lingkungan. Dengan pendekatan ini, pelajar Indonesia belajar mencintai Tanah Air melalui tindakan nyata menjaga bumi sekaligus menyiapkan diri sebagai generasi emas Indonesia. Berikut jawaban atas tiga Pertanyaan Media, diantaranya:

Pertama: Apa saja Esensi dari tema Hari Lingkungan Hidup bagi kehidupan manusia: Tema “Hentikan Polusi Plastik” bukan sekadar seruan teknis, tapi panggilan moral dan spiritual. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya…” (QS. Al-A’raf: 56). Polusi plastik adalah bentuk fasad (kerusakan) yang mengancam keberlanjutan kehidupan. Esensi tema ini mengajarkan bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari amanah sebagai khalifah di bumi. Dalam hadis juga disebutkan, “Bumi adalah masjid bagi umatku,” menandakan bahwa lingkungan adalah tempat suci yang harus dijaga. Oleh karena itu, Hari Lingkungan Hidup harus menjadi momentum refleksi, aksi kolektif, dan transformasi kesadaran ekologis lintas iman, usia, dan profesi.

Kedua: Bagaimana mewujudkan eko-theologi untuk membangun kesadaran lingkungan hidup?; Eko-theologi adalah jembatan antara nilai-nilai spiritual dan aksi ekologis. Dalam konteks pendidikan, eko-theologi dapat diwujudkan melalui integrasi pelajaran agama dengan praktik pelestarian lingkungan. Misalnya, siswa diajak memahami ayat-ayat kauniyah (tanda-tanda Tuhan di alam), melakukan aksi bersih sampah sebagai ibadah, dan menulis refleksi spiritual berbasis lingkungan. Hadis Nabi menyebut: “Iman memiliki 70 cabang, yang paling utama adalah la ilaha illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan.” Menyingkirkan sampah plastik adalah bentuk iman yang aplikatif. Eko-theologi memperkuat kesadaran bahwa mencintai alam adalah bagian dari mencintai Sang Pencipta.

Ketiga: Bagaimana konsep eko-theologi mendukung Indonesia Emas 2045?; Indonesia Emas 2045 memerlukan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tapi juga kuat secara spiritual dan ekologis. Eko-theologi memberikan fondasi moral bagi pembangunan berkelanjutan. Dalam QS. Ar-Rum: 41 disebutkan, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia…” Maka untuk mewujudkan masa depan emas, pendidikan harus menumbuhkan kesadaran bahwa pembangunan harus selaras dengan penjagaan lingkungan. Eko-theologi memperkuat etika keberlanjutan, integritas sosial, dan kepedulian lintas sektor—sebuah kombinasi yang sangat diperlukan dalam memimpin era digital dan menghadapi krisis iklim.

Pada Hakikatnya, kesadaran ekologis tidak tumbuh dari teori semata, tetapi dari tindakan yang disemai dengan nilai gotong royong dan spiritualitas. “Algoritma gotong royong” mengajarkan pelajar membangun solusi digital berbasis kolaborasi, kepemimpinan etis, inklusivitas, dan tanggung jawab sosial. Sementara eko-theologi memperkuat basis moralnya. Para pemangku kepentingan pendidikan—guru, penyusun kurikulum, kepala sekolah, hingga orang tua—perlu mengintegrasikan kedua pendekatan ini dalam pembelajaran lintas mata pelajaran dan kegiatan proyek lingkungan.

Menjaga lingkungan bukan hanya kerja fisik, tetapi juga panggilan spiritual. Dengan gotong royong digital dan eko-theologi, Indonesia sedang menanam benih karakter generasi emas yang bukan hanya mencintai teknologi, tapi juga mencintai bumi dan bangsanya. Inilah Kurikulum Cinta yang sejati: membentuk pelajar yang bijak secara digital, kokoh secara spiritual, dan aktif secara sosial. Wallahu A’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *