Wawancara Eksklusif dengan: Prof. Dr. H. A. Rusdiana, MM. Guru besar Manajemen Pendidikan UIN Bandung. Peraih Nominasi Penulis Oponi terproduktitf di Koran Harian Umum Kabar Priangan (15/5/2025). Dewan Pembina PERMAPEDIS Jawa Barat; Dewan Pakar Perkumpulan Wagi Galuh Puseur. Pendiri dan Pembina Yayasan Sosial Dana Pendidikan Al-Mishbah Cipadung Bandung dan Yayasan Pengembangan Swadaya Mayarakat Tresna Bhakti Cinyasag Panawangan Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat.
“Pancasila bukan sekadar monumen sejarah, tetapi kompas cerdas yang menuntun Indonesia menembus tantangan Society 5.0 menuju Indonesia Emas 2045.”
Pada 1 Juni 1945, Ir. Soekarno memformulasikan lima prinsip fundamental yang kelak kita kenal sebagai Pancasila dalam sidang BPUPKI. Momentum itu kemudian ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila melalui Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016, dan diperingati setiap tahun dengan tema 2025 “Memperkokoh Ideologi Pancasila Menuju Indonesia Raya.” Delapan dekade berselang, Indonesia memasuki Era 5.0, sebuah lanskap sosial-digital di mana kecerdasan buatan (AI), Internet of Things, dan big data mengubah cara bekerja, belajar, dan berinteraksi. Namun sebagian masyarakat masih memandang peringatan ini sebagai seremoni simbolik, tidak terkait solusi konkret bagi kesenjangan digital dan kompetisi global talenta.
Di ranah pendidikan, gagasan Kurikulum Cinta dan deep learning menuntut fondasi etik yang menyeimbangkan kecerdasan emosi dan algoritmik. Tulisan singkat ini bertujuan memetakan relevansi Pancasila, menunjukkan cara ia tetap hidup dalam praktik berbangsa, serta mengekstraksi nilai manajemen pendidikan untuk mempercepat transformasi menuju Indonesia Emas 2045, berikut, jawaban atas 3 Pertanyaan Media:
Pertama: Apakah nilai-nilai Pancasila masih relevan di Era 5.0? Nilai Pancasila tetap relevan karena ia mengatur “cara hidup bersama” tanpa menolak kemajuan. Society 5.0 menautkan ekonomi, kesehatan, dan pendidikan lewat AI; namun inovasi tanpa rambu menajamkan ketimpangan. Sila Kemanusiaan dan Keadilan Sosial memaksa teknologi berpihak pada seluruh warga, bukan hanya pemilik modal. Sila Ketuhanan dan Kebangsaan menegaskan bahwa kodrat manusia dan kebinekaan Nusantara harus dihormati oleh algoritme apa pun. Sila Demokrasi memastikan keputusan berbasis data dikawal partisipasi publik yang transparan. Prinsip gotong royong menumbuhkan ekosistem inovasi terbuka start-up, riset kampus, dan UMKM yang berkolaborasi memecahkan problem sosial. Dengan demikian, Pancasila bertindak sebagai firewall moral yang mencegah dehumanisasi digital dan menuntun Indonesia memakai teknologi demi kesejahteraan bersama.
Kedua: Bagaimana nilai-nilai Pancasila bisa tetap eksis mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara? Menjadikan Pancasila hidup dalam praktik membutuhkan tiga strategi kunci. (1), internalisasi digital: platform belajar seperti Merdeka Belajar menanamkan literasi ideologi melalui micro-learning, gim sejarah, dan konten kreator muda yang mengaitkan sila-sila dengan isu aktual dari etika AI hingga mitigasi iklim. (2) institusionalisasi kebijakan: setiap regulasi mulai pajak karbon sampai RUU perlindungan data harus melewati “Pancasila Impact Assessment” yang menakar dampak pada persatuan, keadilan sosial, dan kebebasan beragama. (3) inkubasi ekosistem gotong royong: kolaborasi pemerintah–korporasi–masyarakat sipil memperluas program “Kampung Pancasila”, GovTech start-up, dan gerakan filantropi digital agar warganet merasakan manfaat langsung nilai luhur tersebut. Bila ketiga lapisan ini berjalan serentak, Pancasila tak lagi berhenti di naskah pidato, melainkan menjelma DNA kebijakan dan budaya sehari-hari.
Ketiga: Nilai manajemen pendidikan apa yang bisa digali dari Hari Lahir Pancasila? Perayaan Harlah Pancasila memancarkan empat pelajaran manajemen pendidikan. (1) Visi terpadu: sebagaimana lima sila saling meneguhkan, kurikulum harus memadukan keterampilan abad 21, literasi digital, dan karakter kebangsaan dalam satu pengalaman belajar bermakna. (2) Proyek gotong royong: siswa ditantang merancang solusi nyata bank sampah, aplikasi UMKM, restorasi cagar budaya sehingga belajar menjadi aksi sosial yang menumbuhkan kepemimpinan kolektif. (3) Evaluasi autentik dan reflektif: alih-alih hanya ujian kognitif, guru menggunakan portofolio, peer-assessment, dan refleksi etika untuk menilai sejauh mana peserta didik mempraktikkan Pancasila. (4) Kepemimpinan transformatif: kepala sekolah bertindak sebagai chief collaboration officer yang menjalin jejaring industri, alumni, dan pemerintah daerah agar sumber daya mengalir ke kelas. Rangkaian prinsip ini menyiapkan learners as changemakers yang matang menghadapi tantangan Era 5.0.
Pancasila tetap jangkar moral sekaligus peta jalan strategis di tengah revolusi teknologi. Untuk memperkokoh ideologi ini, pemerintah perlu menerapkan Pancasila Impact Assessment di setiap kebijakan; pendidikan memperluas model pembelajaran berbasis proyek; dan media mengarusutamakan narasi persatuan. Korporasi serta start-up wajib menempatkan inklusivitas sebagai indikator kinerja utama. Sinergi itulah yang akan mengantar Indonesia menjadi bangsa maju, adil, dan berdaya saing pada 2045.
Semoga peringatan Harlah Pancasila 2025 menjadi momentum kolektif untuk bergerak serentak, merdeka belajar, dan cerdas berteknologi demi terwujudnya Indonesia Raya yang berkeadilan dan bermartabat. Kolaboratif…….Wallahu A’lam.