Selamat Datang Bulan Dzulhijjah 1446 H: “Memaknai Bulan Dzulhijjah: Dari Sejarah, Spirit Ketuhanan hingga Hikmah Sosial”

Wawancara Eksklusif  dengan: Prof. Dr. H. A. Rusdiana, MM. Guru besar Manajemen Pendidikan UIN Bandung. Peraih Nominasi Penulis Oponi terproduktitf di Koran Harian Umum Kabar Priangan (15/5/2025). Dewan Pembina PERMAPEDIS Jawa Barat; Dewan Pakar Perkumpulan Wagi Galuh Puseur. Pendiri dan Pembina Yayasan Sosial Dana Pendidikan Al-Mishbah Cipadung Bandung dan Yayasan Pengembangan Swadaya Mayarakat Tresna Bhakti Cinyasag Panawangan Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat.

Memaknai Bulan Dzulhijjah: Dari Sejarah, Spirit Ketuhanan hingga Hikmah Sosial”

 Bulan Dzulhijjah merupakan salah satu bulan istimewa dalam kalender Islam. Fenomena spiritual yang paling mencolok adalah penyelenggaraan ibadah haji dan penyembelihan kurban, yang melibatkan jutaan umat Islam dari seluruh dunia. Secara teologis, ini menunjukkan puncak ketaatan, pengorbanan, dan kesalehan sosial. Namun, di tengah rutinitas ibadah ini, masih banyak umat yang belum menggali nilai-nilai historis dan spiritual yang lebih dalam dari bulan ini. Banyak pula yang memahami Dzulhijjah hanya sebatas pada ritual tahunan tanpa menjadikannya momen untuk introspeksi dan perbaikan sosial. Artikel ini bertujuan untuk memberikan pencerahan kepada pembaca mengenai tiga dimensi penting bulan Dzulhijjah: nilai historis, nilai teologis, dan hikmah esensialnya, agar umat lebih mampu menghayati dan mengamalkan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari:

Pertama: Nilai Historis Apa yang Bisa Kita Gali dari Bulan Dzulhijjah?; Bulan Dzulhijjah menyimpan sejumlah peristiwa penting dalam sejarah peradaban Islam. Salah satu yang paling monumental adalah kisah pengorbanan Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS. Peristiwa ini bukan hanya menjadi asal-usul ibadah kurban, tetapi juga simbol dari sejarah perintah dan ujian langsung dari Allah SWT yang diabadikan dalam kitab-kitab suci. Sebagaimana tertuang dalam QS. Ash-Shaffat ayat 102, Allah berfirman: “Maka ketika anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab, ‘Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.’”

Ketaatan Nabi Ibrahim dan kesabaran Nabi Ismail menunjukkan warisan spiritual yang luar biasa, yang diwariskan lintas generasi umat Islam. Selain itu, pelaksanaan ibadah haji yang dimulai sejak masa Nabi Ibrahim dan kemudian disempurnakan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai rukun Islam kelima, menjadi penguat kesinambungan sejarah tauhid yang universal. Rasulullah SAW bersabda: “Ambillah dariku manasik haji kalian.” (HR. Muslim)

Dari sisi sejarah, Dzulhijjah memperlihatkan kesinambungan ajaran tauhid dan tradisi spiritual lintas zaman, yang mengakar dalam jiwa dan peradaban umat Islam hingga kini.

Kedua: Nilai Teologis Apa yang Bisa Kita Ambil dari Bulan Dzulhijjah?, Secara teologis, bulan Dzulhijjah mengajarkan nilai-nilai agung dalam hubungan antara hamba dan Tuhannya. Ketaatan total Nabi Ibrahim AS kepada perintah Allah meskipun berat, menunjukkan standar tertinggi dalam keimanan. Hal serupa juga tercermin dalam ibadah haji, di mana jutaan muslim dengan penuh kesadaran meninggalkan kenyamanan duniawi demi mendekat kepada Allah. Sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Hajj ayat 34: “Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak…”

Juga dalam QS. Al-Hajj ayat 37, Allah menekankan esensi spiritual dari kurban: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya…”

Selain itu, Nabi SAW bersabda: “Tidak ada hari-hari yang amal saleh di dalamnya lebih dicintai oleh Allah daripada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.” (HR. Bukhari),

Nilai teologis bulan ini menekankan pentingnya ikhlas, ketaatan tanpa syarat, dan penyucian jiwa melalui ibadah yang benar.

Ketiga: Apa Hikmah yang Paling Esensial dari Bulan Dzulhijjah? Hikmah paling esensial dari bulan Dzulhijjah adalah nilai pengorbanan, ikhlas, dan solidaritas sosial. Perintah berkurban tidak hanya soal kepatuhan ritual, tetapi mengajarkan manusia untuk rela berbagi dan tidak melekat pada harta. Sebagaimana sabda Nabi SAW: “Barang siapa yang memiliki kelapangan (rezeki) tetapi tidak menyembelih (kurban), maka janganlah ia mendekati tempat salat kami.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah). Hal ini, menunjukkan bahwa kurban bukan hanya tindakan individual, tetapi kewajiban sosial yang menunjukkan empati dan kepedulian. Ibadah haji dan wukuf di Arafah juga menjadi pelajaran spiritual untuk introspeksi, penyucian diri, dan memperbaiki hubungan dengan Tuhan dan sesama manusia. Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada hari di mana Allah membebaskan lebih banyak hamba dari neraka daripada hari Arafah.” (HR. Muslim).

Dalam konteks kekinian, semangat Dzulhijjah mengajarkan pentingnya integritas, empati, dan penguatan jiwa sosial umat. Dzulhijjah adalah momentum penyatuan antara dimensi spiritualitas dan kemanusiaan dalam wujud nyata kehidupan sehari-hari.

Bulan Dzulhijjah adalah bulan istimewa yang menyimpan nilai historis, spiritual, dan sosial yang mendalam. Dari kisah Nabi Ibrahim hingga ritual haji dan kurban, semua itu merupakan manifestasi dari ajaran Islam yang menyeluruh. Sayangnya, makna tersebut belum sepenuhnya diinternalisasi dalam kehidupan umat. Oleh karena itu, perlu adanya upaya edukatif dan penguatan kesadaran umat agar tidak hanya menjalankan ibadah secara ritual, tetapi juga memahami dan mengamalkan pesan moralnya. Rekomendasi: 1) Umat Islam perlu digugah untuk menggali lebih dalam makna Dzulhijjah, baik secara keilmuan maupun amaliah; 2) Lembaga keagamaan dan pendidikan dapat mengadakan program kajian dan bakti sosial dalam rangka menyambut Dzulhijjah; 3) Media perlu berperan aktif dalam menyebarkan nilai-nilai positif dan inspiratif selama bulan ini.

Singkat kata, Dzulhijjah bukan hanya bulan yang penuh ritual, tetapi ladang subur untuk menumbuhkan kesadaran sejarah, keimanan, dan kemanusiaan. Bila kita mampu menangkap esensinya, maka bulan ini akan menjadi titik balik menuju pribadi dan masyarakat yang lebih bertakwa, berempati, dan berdaya. Inilah saatnya umat Islam menjadikan Dzulhijjah bukan sekadar perayaan, melainkan perenungan dan perbaikan diri yang berkelanjutan. Wallhu A’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *