Refleksi Kartini di Era 5.0: Kurikulum Cinta, Ekoteologi, dan Mimpi Indonesia Emas 2045

“Wawancara Eksekutif dengan: Prof. Dr. H. A. Rusdiana, MM. Guru besar Manajemen Pendidikan UIN Bandung. Pediri dan Pembina Yayasan Sosial Dana Pendidikan Al-Mishbah Cipadung Bandung dan Yayasan Pengembangan Swadaya Mayarakat Tresna Bhakti Cinyasag Panawangan Kabupaten Ciamis.”

 

Setiap tanggal 21 April, bangsa Indonesia mengenang perjuangan R.A. Kartini dalam memperjuangkan hak-hak perempuan, terutama di bidang pendidikan. Namun, refleksi terhadap nilai-nilai Kartini tidak hanya relevan secara historis, melainkan juga menjadi jembatan strategis dalam merancang masa depan pendidikan di Era 5.0. Di tengah tantangan revolusi teknologi dan krisis kemanusiaan, nilai kasih sayang dan spiritualitas ekologis kembali mendapat tempat. Menteri Agama RI (2025) menekankan pentingnya Kurikulum Cinta, yang mengajarkan kasih terhadap Tuhan, sesama manusia, lingkungan, dan bangsa, serta integrasi ekoteologi, sebagai bentuk tanggung jawab spiritual terhadap alam. Namun, masih terdapat GAP antara idealisme ini dengan praktik di lapangan. Misalnya, rendahnya integrasi nilai-nilai afektif dalam pembelajaran serta keterbatasan guru dalam menerapkan kurikulum yang menyentuh jiwa. Oleh karena itu, tulisan ini penting sebagai refleksi sekaligus respons terhadap tiga pertanyaan dari rekan media mengenai relevansi Kartini dalam konteks pembelajaran bermakna dan Merdeka Belajar menuju Indonesia Emas 2045. Mari kita elaborasi 3 Pertanyaan media, satu persatu:

Pertama: Nilai edukasi apa yang bisa digali dari sosok Ibu Kartini, yang bisa ditransformasikan kepada Generasi Z? Kartini bukan sekadar pejuang emansipasi, ia adalah pelopor transformasi kesadaran. Dari surat-suratnya, kita menangkap tiga nilai utama: pencarian makna hidup melalui ilmu, keberanian dalam menyuarakan kebenaran, dan semangat kasih untuk memajukan sesama. Generasi Z, yang lahir dalam era digital, memerlukan penyadaran akan makna pembelajaran yang tidak sekadar kompetitif tetapi kolaboratif dan empatik. Nilai “Ilmu sebagai cahaya” dapat diterjemahkan dalam pembelajaran berbasis proyek sosial, dialog reflektif, dan pendekatan berbasis nilai.

Kedua: Nilai atau pendidikan karakter seperti apa yang dibutuhkan dalam menghadapi Indonesia Emas 2045? Menyongsong Indonesia Emas 2045, dibutuhkan karakter yang menyatukan kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, dan ekologis. Karakter utama meliputi: 1) Cinta dan empati, sebagai dasar relasi antar manusia dan dengan alam; 3) Kritis reflektif, untuk menghadapi kompleksitas informasi dan hoaks; 3) Spiritual ekologis, yaitu kesadaran bahwa merusak alam berarti mengingkari amanah Tuhan; 4) Kolaboratif dan tangguh, untuk menjawab tantangan global dengan semangat gotong royong dan inovasi. Integrasi nilai-nilai ini sejalan dengan arah Kurikulum Merdeka yang menekankan profil pelajar Pancasila, namun perlu diperkuat dengan pendekatan kurikulum cinta dan pembelajaran bermakna yang holistik.

Ketiga: Bagaimana strateginya agar cita-cita Ibu Kartini bisa terwujud menuju Indonesia Emas 2045? Strategi utama adalah membangun ekosistem pendidikan berbasis cinta, refleksi, dan ekoteologi: 1) Transformasi kurikulum: Memasukkan nilai kasih sayang, keberlanjutan, dan spiritualitas dalam semua mata pelajaran. Ini bisa diwujudkan dalam tema-tema lintas disiplin seperti cinta tanah air melalui pemahaman ekologi lokal. 2) Peningkatan kapasitas guru: Pelatihan guru dalam pendekatan pedagogi kasih (pedagogy of love), pembelajaran reflektif, dan pemanfaatan teknologi yang humanis. 3) Kolaborasi lintas pemangku kepentingan: Sekolah, madrasah, yayasan, dan masyarakat sipil harus bersatu mendorong gerakan pendidikan jiwa yang mengangkat martabat, bukan sekadar target angka akademik. 4) Penguatan budaya sekolah berbasis welas asih: Sekolah sebagai rumah pembelajaran harus menjadi ruang aman untuk tumbuhnya kepedulian, keberanian berpikir kritis, dan cinta kehidupan.

Perjuangan Ibu Kartini tetap relevan sebagai cahaya pembaruan pendidikan Indonesia. Nilai-nilainya harus diterjemahkan dalam konteks Era 5.0 melalui kurikulum cinta dan pendekatan ekoteologis yang membentuk karakter spiritual, sosial, dan ekologis. Rekomendasi: 1) Guru perlu menjadi pelita cinta yang tak hanya mengajar, tapi menginspirasi dengan hati; 3) Kementerian perlu mengawal kurikulum Merdeka agar lebih menyentuh ranah afeksi dan nilai kehidupan; 4) Yayasan dan komunitas pendidikan perlu memperkuat narasi pendidikan jiwa dalam pelatihan, modul, dan praktik pembelajaran.

Dengan strategi yang tepat, cita-cita Kartini dapat kita wujudkan bersama sebagai bagian dari gerakan menuju Indonesia Emas 2045 yang adil, beradab, dan berkelanjutan. Menggali inspirasi Kartini untuk Generasi Z: menyalakan pelita cinta, karakter, dan ekoteologi menuju pembelajaran bermakna di Era 5.0.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *