Kurikulum Cinta dan Ekoteologi: Menanamkan Spiritualitas dan Kepedulian Lingkungan Menuju Indonesia Emas 2045

Wawancara Eklusif dengan: Prof. Dr. H. A. Rusdiana, MM/Pakar Manajemen Pendidikan UIN SGD Bandung-Pendiri/Pembina Yayasan Pendidikan Al-Misbah Cipadung Badung & Yayasan Pengembangan Swadaya Masyarakat Cinyasag-Panawangan Kab. Ciamis-Jawa Barat

 

Di tengah transformasi pendidikan nasional yang berfokus pada Merdeka Belajar, muncul kekhawatiran akan berkurangnya dimensi kemanusiaan dan spiritual dalam proses pembelajaran. Teknologi berkembang pesat, tetapi empati dan tanggung jawab ekologis semakin tergerus. Di sinilah urgensi kurikulum cinta dan ekoteologi muncul sebagai penyeimbang. Dalam peringatan Dies Natalis ke-57 UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Menteri Agama RI, Nasaruddin Umar, menekankan bahwa pendidikan harus kembali ke akar kemanusiaan dan spiritualitas. Kurikulum cinta diarahkan untuk menghidupkan kembali nilai kasih terhadap Tuhan, sesama, lingkungan, dan bangsa. Sedangkan ekoteologi menyatukan nilai-nilai teologis dengan kesadaran menjaga alam sebagai bentuk ibadah. Meski Kurikulum Merdeka memberikan fleksibilitas, namun integrasi cinta dan ekologi dalam pembelajaran masih bersifat sektoral dan tidak terstruktur nasional. Pelajaran agama masih cenderung normatif, belum menyentuh aspek rasa, cinta, dan tanggung jawab ekologis secara mendalam.

Tulisan ini hadir untuk memberikan arahan praktis bagi guru, kepala sekolah, dan pemangku kebijakan dalam mengimplementasikan kurikulum cinta dan ekoteologi secara transformatif, dalam menyongsong 100 tahun Indonesia (2045), sejalan dengan kebijakan Surat Edaran Bersama (SEB) tiga menteri tentang pembelajaran keagamaan dan Kurikulum cinta Kemenag. Mari kita elaborasi satu-persatu dari 3 pertanyaan rekan media:

Pertama: Mengapa Kurikulum Cinta dan Ekologi Menjadi Fondasi Pembelajaran Transformatif? Kurikulum cinta memperkaya dimensi afektif dalam pembelajaran yang selama ini terlalu fokus pada aspek kognitif. Ia menanamkan kepekaan batin, empati sosial, dan rasa tanggung jawab terhadap ciptaan Tuhan. Ekoteologi menambahkan dimensi spiritual terhadap krisis lingkungan, mengajak peserta didik untuk melihat alam bukan sekadar objek, tetapi sebagai amanah Tuhan. Kedua pendekatan ini membentuk pembelajaran yang menyentuh rasa dan aksi membawa transformasi karakter, bukan sekadar informasi.

Kedua: Apa Target Kurikulum Ini dan Bagaimana Strategi Agar Target Tercapai?
Target utama adalah lahirnya generasi berkarakter spiritual, cinta damai, dan ramah lingkungan. Untuk mencapainya, strategi integratif diperlukan: 1) Inklusi dalam RPP dan Modul Ajar: Guru perlu menyisipkan nilai cinta dan ekoteologi dalam berbagai mata pelajaran, bukan hanya agama; 2) Kolaborasi Antar-Mapel dan Projek Tematik: Misalnya, menggabungkan pelajaran IPA dan Pendidikan Agama dalam proyek menjaga kebersihan masjid dan taman sekolah; 3) Pelatihan Guru Berbasis Spiritualitas dan Ekopedagogi: Memberikan ruang refleksi dan pelatihan tentang nilai-nilai cinta, rahmah, dan tanggung jawab ekologis; 4) Momentum Ramadan: Ramadan menjadi waktu ideal menyemai nilai cinta pada sesama dan lingkungan melalui kegiatan amaliah dan sedekah ekologis.

Ketiga: Nilai Edukasi Apa yang Bisa Digali dari Kurikulum Ini untuk Menyongsong Indonesia Emas 2045? Ada beberapa nilai edukatif kunci: 1) Kesadaran Spiritual dan Ekologis Sejak Dini: Membentuk generasi yang sadar bahwa menjaga bumi adalah bagian dari iman dan tanggung jawab sosial; 2) Kepemimpinan Berbasis Kasih dan Akhlak: Kurikulum cinta melatih empati, komunikasi damai, dan toleransi, yang penting bagi pemimpin masa depan; 3) Kemandirian dan Kolaborasi dalam Aksi Sosial dan Lingkungan: Pembelajaran berbasis proyek cinta dan ekologi melatih kemampuan kerja tim dan kepekaan terhadap persoalan nyata.

Kurikulum cinta dan ekoteologi merupakan respons strategis terhadap krisis karakter dan lingkungan di tengah era digitalisasi. Integrasinya dalam Kurikulum Merdeka bukan hanya memungkinkan pembelajaran yang membebaskan, tetapi juga yang memanusiakan dan melestarikan. Rekomendasi: 1) Bagi Guru: Perlu kreativitas dalam menyisipkan nilai cinta dan ekoteologi secara kontekstual, terutama dalam momen Ramadan; 2) Bagi Kepala Sekolah: Dorong program sekolah berbasis proyek cinta dan kepedulian lingkungan; 3) Bagi Pemangku Kebijakan: Formulasikan kebijakan yang memberi ruang evaluasi dan insentif bagi praktik kurikulum cinta-ekoteologi yang berhasil.

Menyongsong Indonesia Emas 2045, pendidikan harus menjadi alat rekonstruksi moral dan ekologis bangsa. Kurikulum cinta dan ekoteologi adalah jalan spiritual-intelektual yang menyatukan iman, ilmu, dan amal demi generasi yang utuh: berakal, berperasaan, dan bertanggung jawab. Wallahu A’lam.

Teaser: Membumikan kasih sayang dan kepedulian ekologis dalam pembelajaran jadi fondasi karakter generasi unggul menyongsong abad ke-2 Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *