إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِن سَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن، قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ، أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ، وَقَالَ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا ، عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ، صَدَقَ اللهُ الْعَظِيْمُ، أَمَّا بَعْدُ
Hadirin sidang jumah yang dirahamati Allah.
Puji dan syukur marilah kita sama-sama panjatkan ke hadirat Allah swt, berkat limpahan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, kita masih mendapatkan nikmat iman dan nikmat Islam. Kita masih mendapatkan nikmat sehat, nikmat panjang umur, dan nikmat kekuatan, sehingga hati kita masih terpanggil menuruti perintah Allah, dan duduk bersimpuh di tempat yang insya Allah penuh berkah ini. Sebab, tak sedikit saudara-saudara kita yang secara fisik terlihat sehat, namun kakinya tidak kuat dilangkahkan menuju masjid Allah. Mudah-mudahan mereka segera mendapatkan taufik dan hidayah. Dan kita yang sudah mendapatkannya semoga senantiasa dipelihara oleh Allah dan diberi istiqamah hingga penghujung usia. Amin ya Allah, Amin rabbal-alamin.
Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Baginda Alam, Nabi Besar Muhammad saw yang merupakan sosok luar biasa, karena sudah mengantarkan kita mendapatkan berbagai macam nikmat, terutama nikmat iman dan nikmat Islam. Semoga kita juga tercatat sebagai umat yang senantiasa berusaha menjalankan ajarannya dan meneladani budi pekertinya. Shalawat dan salam juga semoga tercurah kepada keluarga dan para sahabatnya, serta kepada kita yang senantiasa berharap rida dan syafaatnya pada hari kiamat. Amin ya mujibassa’ilin.
Hadirin hafidhakumullah.
Melalui mimbar yang mulia ini, khatib berpesan kepada diri khatib pribadi khususnya dan kepada jamaah shalat Jumat umumnya untuk sama-sama meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah swt. Tentu saja meningkatkan keimanan dan ketakwaan di tengah zaman yang semakin sulit seperti sekarang ini, bukan perkara mudah. Namun, setidaknya yang sudah ada dan yang sudah kita raih tidak terlepas kembali, hanya karena alasan duniawi, sambil tetap waspada dan berhati-hati agar tidak terjerumus ke dalam penyelasan abadi. Sebab, tak ada lagi cara untuk menghadapi zaman yang semakin berat seperti sekarang ini, selain membentengi diri dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah subhanahu wata’ala.
Hadirin hafidhakumullah.
Sebagai manusia biasa, kita tentu tak punya jaminan terlepas dari jeratan dosa. Namun, kondisi ini sudah diantisipasi oleh Allah swt, selaku Dzat yang maha mencipta dan maha mengetahui keadaan makhluk yang diciptakan-Nya. Karena itu, Allah telah memerintahkan kita untuk bertaubat, sebagaimana surah at-Tahrim ayat 8 yang khatib bacakan pada muqadimah tadi:
ا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat nasuha (taubat yang semurni-murninya). (Tahrim ayat 8).
Melalui ayat di atas, meski tidak secara eksplisit, Allah juga hendak berpesan kepada para hamba-Nya bahwa Dia membukakan pintu ampunan kepada mereka. Sebab tidak mungkin rasanya jika Allah memerintahkan hamba-Nya bertaubat, sementara Dia menutup pintu ampunan. Namun, ampunan itu tidak serta merta diberikan kepada kita selaku hamba sampai kita berusaha keras mendapatkannya. Salah satunya dengan bertaubat nasuha tadi. Lanjutan ayat tersebut menyebutkan:
عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ
Artinya: Mudah-mudahan Rabbmu menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya.
Hadirin hafidhakumullah.
Allah menggunakan kata ‘asâ yang berarti “mudah-mudahan”. Penggunaan kata mudah-mudahan mengindikasikan kepada kita bahwa Allah tidak memastikan ampunan kepada hamba-Nya yang bertaubat. Ketidakpastian ini, dimaknai oleh para ulama, bukan berarti kita sia-sia ketika bertaubat, melainkan ketidakpastian tersebut harus dipahami agar kita sungguh-sungguh menjalankan taubat dan meyakinkan Allah bahwa kita benar-benar hamba yang layak mendapatkan ampunan-Nya.
Begitulah Allah menawarkan ampunan yang menjadi hak prerogatif-Nya tetapi keberhasilannya ditentukan oleh kehendak-Nya dan seberapa besar kesungguhan hamba-Nya untuk mendapatkan ampunan tersebut. Karena itu, tugas kita adalah berusaha menjalankan perintah Allah untuk taubat nasuha dan berusaha meyakinkan Allah bahwa kita adalah hamba yang layak mendapat ampunan dari-Nya.
Hadirin hafidhakumullah.
Adapun yang dimaksud dengan taubat nasuha adalah taubat yang dijalankan dengan semaksimal mungkin, artinya tidak setengah-setengah, atau tidak sekadar main-main. Artinya hari ini kita bertaubat, esok kita berdosa lagi, esoknya bertaubat lagi, dan seterusnya. Imam Nawawi dalam Kitab Riyadhus Shalihin menyampaikan tentang Tobat memiliki tiga syarat utama sebagaimana telah disebutkan oleh penulis (yakni Imam Nawawi, penulis kitab Riyadhush Shalihin). Namun, setelah dilakukan pengkajian (penelitian), sebenarnya syarat tobat ada lima.” (Syarh Riyadhush Shalihin 1/86):
Pertama, adalah niat kita bertaubat harus tulus dan ikhlas, bukan karena ingin dipuji seseorang, atau hanya karena ingin terlihat saleh dan religius. Karenanya, taubat ini harus dibangun atas niat yang lurus, benar-benar mengharap rida dan ampunan-Nya. Ikhlas kepada Allah; Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata,
وَلِلتَّوْبَةِ شَرْطٌ خَمْسَةٌ، الشَّرْطُ الْأَوَّلُ: أَنْ يَكُوْنَ الْحَامِلُ لَهَا الْإِخْلَاصَ لِلهِ عَزَّ وَجَلَّ، لَا يَقْصُدُ بِهَا رِيَاءً وَلَا سُمْعَةً وَلَا جَاهًا وَلَا تَزَلُّفًا لِمَخْلُوْقٍ وَلَا غَيْرَ ذَلِكَ مِنْ أُمُوْرِ الدُّنْيَا، بَلْ لَا يُرِيْدُ بِهَا إِلَّا وَجْهَ اللهِ وَالدَّارَ الْآخِرَةِ
Yang pertama ialah hendaknya faktor yang mendorongnya untuk bertobat adalah ikhlas hanya untuk Allah azza wa jalla. Dia tidak memaksudkan tobatnya karena: – riya (ingin amalannya dilihat manusia), atau – sum’ah (ingin amalannya didengar manusia), atau – menginginkan kedudukan/posisi, atau – memiliki suatu kepentingan kepada makhluk, atau – urusan duniawi lainnya. Bahkan, tidaklah dia bertobat kecuali hanya mengharap wajah Allah dan negeri akhirat. (Fatawa Nur ‘ala ad-Darb no. 209)
Hadirin hafidhakumullah.
Syarat Tobat yang Kedua: Menyesal; Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjelaskan makna “menyesal”, “Seorang hamba bersedih atas apa yang telah berlalu darinya (berupa perbuatan dosa). Dia juga merasa luluh lantak (hatinya) dengan sebab telah melakukan perbuatan dosa tersebut. Dia juga tidak merasa tenang dari perbuatan dosanya tersebut sampai dia bertobat kepada Allah.” (Syarh Riyadhush Shalihin 1/86).
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, النَّدَمُ تَوْبَةٌ
“Penyesalan adalah tobat.” (HR. Ibnu Majah no. 4252 dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu. Hadits ini dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah no. 3429). Maksud dari “penyesalan adalah tobat” bukan berarti tobat sudah tercukupi hanya dengan menyesal saja. Namun, maksudnya: penyesalan adalah rukun tobat yang paling agung. (Lihat Fathul Bari 11/103).
Al-Qari menjelaskan bahwa makna sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam “penyesalan adalah tobat” yakni rukun tobat yang paling agung adalah penyesalan. Sebab, (ketika seorang hamba menyesali dosanya), hal itu akan membuat pelakunya melaksanakan rukun-rukun tobat yang lain, seperti menghentikan perbuatan maksiat tersebut dan bertekad tidak mengulanginya lagi. (Lihat Mirqaah al-Mafaatiih Syarh Misykaah al-Mashaabiih 4/1237).
Hadirin hafidhakumullah.
Syarat Tobat yang Ketiga: Berhenti atau menghentikan semampu mungkin segala dosa, baik kecil maupun besar. Sebab tak ada dosa kecil jika dilakukan secara terus menerus, dan tidak ada dosa besar jika diiringi dengan taubat. Yang dimaksud berhenti adalah tidak hanya berhenti dari dosa yang kita taubati, tetapi dari segala dosa, jika kita ingin betul-betul mencapat derajat nasuha. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَٱلَّذِينَ إِذَا فَعَلُواْ فَٰحِشَةً أَوۡ ظَلَمُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ ذَكَرُواْ ٱللَّهَ فَٱسۡتَغۡفَرُواْ لِذُنُوبِهِمۡ وَمَن يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ إِلَّا ٱللَّهُ وَلَمۡ يُصِرُّواْ عَلَىٰ مَا فَعَلُواْ وَهُمۡ يَعۡلَمُونَ ١٣٥
“Demikian (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan fahisyah atau menzalimi diri sendiri, mereka (segera) mengingat Allah lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya. Siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Mereka tidak meneruskan apa yang mereka kerjakan (perbuatan dosa itu) dan mereka mengetahui(nya).” (Ali Imran: 135).
Ketika menafsirkan makna “mereka tidak meneruskan apa yang mereka kerjakan (perbuatan dosa itu)”, Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Maksudnya, mereka bersegera untuk bertobat dari dosa-dosanya dan kembali kepada Allah. Mereka tidak melanjutkan dan tidak meneruskan maksiat tersebut. Mereka juga tidak menetapi maksiat tersebut (yakni menghentikannya).” (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim 2/125).
Hadirin hafidhakumullah.
Syarat Tobat yang Keempat: Bertekad Kuat Tidak Akan Mengulangi; Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjelaskan, “Syarat keempat adalah seorang hamba bertekad kuat tidak mengulanginya (perbuatan dosa tersebut). (Hal ini terwujud ketika) seorang hamba bertekad kuat kepada dirinya sendiri bahwa ia akan menyudahinya (yakni ini adalah terakhir kali ia melakukan dosa tersebut) dan bertekad bulat tidak akan mengulanginya. Dia membuat perjanjian (tekad kuat) dengan dirinya sendiri bahwa dia tidak akan mengulangi dosa tersebut.
Dengan demikian, apabila di dalam kalbunya terbetik niat bahwa kapan saja dia memiliki kesempatan (untuk melakukan dosa tersebut), dia akan melakukannya lagi, apakah yang demikian tobatnya sah? Jawabannya, tentu tidak. Sebab, dia tidak bertekad kuat untuk tidak mengulangi (perbuatan doanya). (Orang yang demikian keadaannya), walaupun saat ini dia meninggalkan dosa tersebut, tetapi ia tidak memiliki tekad yang kuat untuk tidak mengulangi lagi (perbuatan dosa tersebut). Yang demikian tentu tidak sah tobatnya.” (al-Liqa` asy-Syahri no. 51).
Hadirin hafidhakumullah.
Syarat Tobat yang Kelima: Dilakukan Pada Waktu Masih Diterimanya Tobat Syaikh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Syarat kelima adalah hendaknya tobat dilakukan pada waktu masih diterimanya tobat. Apabila seseorang bertobat di saat pintu tobat sudah tertutup, tobatnya tidak bermanfaat.” (Syarh Riyadhush Shalihin 1/91).
Waktu diterimanya tobat ada dua macam (lihat Syarh Riyadhush Shalihin 1/91-92):
Pertama: Ditinjau dari keadaan setiap individu manusia maksudnya adalah tobat harus dilakukan sebelum datangnya ajal. Apabila tobat dilakukan ketika datangnya ajal atau sakratulmaut, tobatnya tidak bermanfaat. Allah subhanahu wa ta’alaberfirman,
وَلَيۡسَتِ ٱلتَّوۡبَةُ لِلَّذِينَ يَعۡمَلُونَ ٱلسَّئَِّاتِ حَتَّىٰٓ إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ ٱلۡمَوۡتُ قَالَ إِنِّي تُبۡتُ ٱلۡـَٰٔنَ
Tidaklah tobat itu (diterima oleh Allah) bagi orang-orang yang melakukan keburukan hingga apabila datang ajal kepada seorang di antara mereka, (barulah) dia mengatakan, “Saya benar-benar bertobat sekarang.” (an-Nisa: 18).
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah menerima tobat seorang hamba selama nyawanya belum sampai ke tenggorokan.” (HR. at-Tirmidzi no. 3537 dari sahabat Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma. Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi no. 3535).
Kedua: Ditinjau secara umum, adalah sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Tidaklah hijrah terputus hingga tobat terputus dan tidaklah tobat terputus hingga matahari terbit dari barat.” (HR. Abu Dawud no. 2479 dari sahabat Muawiyah radhiallahu anhu. Hadits ini dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 2479).
Hadirin rahimakumullah.
Namun syarat-syarat di atas merupakan syarat taubat yang dosanya berkaitan langsung dengan hak Allah. Sementara, jika dosanya menyangkut hak sesama manusia maka kita harus terlebih dahulu memohon maaf kepada yang bersangkutan atau kepada orang yang pernah kita zalimi, sebelum memohon ampunan kepada Allah. Maka bersamaan dengan berakhirnya tahun 2024 ini, marilah kita introspeksi dan menata diri. Marilah bersihkan diri, jernihkan hati dengan bertaubat, dan sambut masa depan dan tahun mendatang dengan lebih optimis. Insyaallah, dengan bertaubat dan berusaha kembali kepada tuntunan Allah, kehormatan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta kita akan lebih terjaga dan hidup kita lebih tertata.
Hadirin rahimakumullah.
Demikianlah khutbah kali ini yang dapat khatib sampaikan. Semoga kita dapat memetik pelajaran dari setiap peristiwa yang terjadi, dan diberikan kesempatan untuk bertaubat atas segala kekhilafan yang pernah kita perbuat, demi kemaslahan dunia dan akhirat. Amin ya rabbal alamin.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَلَّ اللهُ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ، أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرّحِيْمِ
Khutbah Ke II