Gapura Panca Waluya: Strategi Pendidikan Holistik Jawa Barat di Era 5.0

Oleh: A. Rusdiana

Pendidikan Jawa Barat dihadapkan pada tantangan multidimensi: globalisasi, disrupsi teknologi, ketimpangan kualitas, hingga krisis karakter. Di era digital 5.0, diperlukan kebijakan yang tidak hanya adaptif, tetapi juga berakar pada nilai kearifan lokal. Respon konkret hadir melalui Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 43/2025 yang memuat 9 Langkah Pembangunan Pendidikan Jawa Barat menuju terwujudnya Gapura Panca Waluya—visi membangun peserta didik sehat (cageur), berbudi pekerti (bageur), jujur (bener), cerdas (pinter), dan terampil (singer). Kebijakan ini memadukan nilai lokal dengan teori pendidikan kontemporer, sekaligus menjadi upaya strategis membangun generasi holistik di tengah kompleksitas zaman.

Kebijakan ini berlandaskan teori policy cycle (Howlett & Ramesh, 2003), dengan tahapan perumusan, pelaksanaan, dan evaluasi yang berbasis partisipasi dan bukti. Ia juga selaras dengan multiple streams framework (Kingdon, 1995), lahir dari pertemuan antara tantangan pendidikan, alternatif kebijakan, dan keputusan politik. Integrasi ini diperkuat oleh pendekatan konstruktivis (Vygotsky), humanistik (Rogers), dan transformatif (Mezirow), yang menekankan pembelajaran bermakna, pengembangan potensi diri, dan transformasi sosial.

Langkah konkret diterjemahkan dalam 9 strategi: (1) penguatan pendidikan karakter berbasis kearifan lokal, (2) integrasi nilai cageur-bageur-bener-pinter-singer dalam kurikulum dan kegiatan sekolah, (3) pelatihan guru untuk mendidik dengan kasih sayang, (4) revitalisasi peran keluarga, (5) kolaborasi lintas sektor, (6) penguatan budaya literasi, (7) penerapan disiplin positif, (8) penyediaan ruang aman dan inklusif, dan (9) monitoring-evaluasi partisipatif. Kebijakan ini mengedepankan pendekatan bottom-up, memberdayakan sekolah, guru, keluarga, dan komunitas sebagai aktor utama.

Namun implementasi menghadapi tantangan: bagaimana mengintegrasikan kurikulum deep learning dan kurikulum cinta (Abdul Mu’ti) ke dalam praksis. Kurikulum deep learning mendorong pembelajaran kritis, kolaboratif, berbasis teknologi, sementara kurikulum cinta menekankan kasih sayang, toleransi, dan empati. Keduanya selaras dengan nilai Gapura Panca Waluya, tetapi memerlukan strategi implementasi yang tidak memperdalam kesenjangan digital. Di sinilah pentingnya critical pedagogy (Freire) menjaga pendidikan tetap membebaskan, adil, dan memberdayakan.

Gapura Panca Waluya bukan sekadar dokumen kebijakan, melainkan simbol komitmen Jawa Barat untuk membangun generasi holistik yang siap menghadapi tantangan global. Agar kebijakan ini berdaya guna, diperlukan sinkronisasi antara kebijakan pusat dan daerah, penguatan kapasitas guru, serta sistem monitoring-evaluasi berbasis partisipasi masyarakat. Jika dijalankan dengan kolaborasi inklusif dan keberlanjutan, Gapura Panca Waluya berpotensi menjadi model inovatif pendidikan berbasis nilai lokal yang mampu menginspirasi daerah lain di Indonesia. Pendidikan bukan hanya soal kurikulum, tetapi juga soal membangun manusia utuh yang cerdas, berkarakter, dan berdaya saing.

Penulis:

Prof. Dr. H. A. Rusdiana, MM. Guru besar Manajemen Pendidikan UIN Bandung. Dewan Pembina PERMAPEDIS JAWA BARAT. Pendiri dan Pembina Yayasan Sosial Dana Pendidikan Al-Mishbah Cipadung Bandung dan Yayasan Pengembangan Swadaya Mayarakat Tresna Bhakti Cinyasag Panawangan Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat. Publis di ekpos tanggal 6 Mei 2025.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *