Santri Digital atau Santri Tradisional? Saat Nasionalisme Diuji oleh Zaman

Wawancara Eksekutif Rabu, 1 Oktober 2025 dengan: Prof. Dr. H. A. Rusdiana, MM. Guru besar Manajemen Pendidikan UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Peraih Nominasi Penulis Opini terproduktitf di Koran Harian Umum Kabar Priangan (15/5/2025). Dewan Pembina PERMAPEDIS Jawa Barat; Dewan Pakar Perkumpulan Wagi Galuh Puseur. Pendiri dan Pembina Yayasan Sosial Dana Pendidikan Al-Mishbah Cipadung Bandung dan Yayasan Pengembangan Swadaya Mayarakat Tresna Bhakti Cinyasag Panawangan Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat.

“Di era digital, nasionalisme santri kembali diuji: apakah mereka masih sanggup menjaga nilai kebangsaan sambil menembus batas dunia maya?”

Setiap 22 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Santri Nasional. Tahun 2025 mengangkat tema “Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia.” Momentum ini bukan hanya nostalgia sejarah, tetapi refleksi masa depan: bagaimana santri menghidupkan kembali nasionalisme di tengah arus digital yang mengaburkan batas identitas dan moral.

Dalam konteks sosial-politik terkini, bangsa baru saja memperingati satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran, diwarnai evaluasi publik dan tantangan keadaban. Di sisi lain, tragedi runtuhnya musala di Pesantren Al-Khoziny, Sidoarjo, menjadi cermin tanggung jawab moral di dunia pendidikan Islam. Kedua peristiwa ini mempertegas bahwa iman, ilmu, dan amanah masih menjadi ujian utama bangsa.

Secara teoritik, gagasan ini dapat dirujuk pada teori pendidikan karakter Ki Hadjar Dewantara dan teori civic virtue dari Thomas Jefferson, yang menekankan bahwa kemajuan bangsa bergantung pada moralitas warganya. Sementara itu, teori masyarakat digital (Manuel Castells, 2010) menegaskan perlunya nilai dan identitas baru agar manusia tidak larut dalam arus teknologi. Namun, terdapat kesenjangan (GAP): santri hari ini hidup dalam dua dunia pesantren dan digital. Jika nilai-nilai pesantren tidak diaktualkan dalam ruang virtual, nasionalisme mudah tereduksi menjadi slogan. Karena itu, tulisan ini bertujuan menjawab tiga pertanyaan penting dari rekan media BEDANEWS tentang makna, peran, dan eksistensi santri dalam membangun peradaban bangsa di era digital.

Pertama: Nilai Edukasi Nasionalisme Apa yang Bisa Digali dari Hari Santri Nasional?; Hari Santri bukan sekadar peringatan historis, tetapi pendidikan kebangsaan yang hidup. Nilai nasionalisme yang terkandung di dalamnya meliputi keikhlasan berjuang, cinta tanah air, dan keberanian menjaga martabat bangsa. 

Sejarah mencatat, Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang dipelopori KH. Hasyim Asy’ari menjadi titik balik perlawanan terhadap penjajahan. Dari pesantren lahir spirit “hubbul wathan minal iman”—cinta tanah air bagian dari iman. Nilai edukatif yang bisa digali adalah pembentukan karakter kebangsaan berbasis spiritualitas, di mana iman menjadi sumber kekuatan moral untuk mengabdi kepada negara. Santri tidak diajarkan untuk membenci bangsa lain, tetapi diajak menjaga kedaulatan dengan kasih, akhlak, dan ilmu. Dalam konteks kekinian, santri perlu memaknai nasionalisme sebagai komitmen etis untuk merawat keberagaman, bukan hanya simbol perjuangan masa lalu. Nasionalisme modern adalah kesediaan berkolaborasi lintas iman dan budaya, menjaga ruang digital dari ujaran kebencian, dan menebarkan semangat kebangsaan berbasis kemanusiaan.

Kedua: Apa Peran dan Kiprah Santri untuk Membangun Peradaban Bangsa di Era Digital?; Santri masa kini berada di garis depan transformasi digital bangsa. Dengan modal literasi agama dan moral yang kuat, mereka mampu menyeimbangkan iman dan algoritma. Peran strategis santri di era ini setidaknya mencakup tiga hal: Pertama, santri sebagai penjaga etika digital. Di tengah maraknya hoaks dan polarisasi politik, santri berperan sebagai penyaring moral publik—mengajarkan adab bermedia, menghormati perbedaan, dan memverifikasi kebenaran informasi. Kedua, santri sebagai inovator sosial. Banyak pesantren telah melahirkan startup berbasis ekonomi umat, mengembangkan e-learning pesantren, dan memanfaatkan teknologi untuk dakwah produktif. Ini sejalan dengan misi santripreneurship yang menggabungkan nilai spiritual dan profesionalisme modern.Ketiga, santri sebagai agen peradaban digital. Mereka tidak sekadar pengguna media, tetapi kreator narasi. Melalui konten edukatif, podcast, dan media sosial, santri dapat membangun citra Islam yang damai dan progresif—menjadi jembatan antara nilai tradisional dan tantangan global.

Ketiga: Eksistensi Santri yang Bagaimana yang Bisa Membangun Peradaban Bangsa?; Eksistensi santri sejati tidak ditentukan oleh sarung atau gawai yang mereka pakai, tetapi oleh nilai dan kontribusi yang mereka bawa. Santri yang mampu membangun peradaban adalah mereka yang memadukan spiritualitas, intelektualitas, dan sosialitas. Pertama, spiritualitas: mereka menjadikan iman sebagai dasar etika dalam pengambilan keputusan. Kedua, intelektualitas: mereka berpikir kritis, terbuka terhadap ilmu pengetahuan, dan siap beradaptasi dengan perubahan teknologi.
Ketiga, sosialitas: mereka hadir di tengah masyarakat, membawa pesan kasih, keadilan, dan solidaritas. Eksistensi santri abad ke-21 adalah santri yang berpikir global, berjiwa nasional, dan berakhlak lokal. Mereka bukan menolak modernitas, tetapi menuntunnya dengan nilai. Dari pesantren, lahir kembali insan kamil—manusia paripurna yang menjaga nurani peradaban.

Dari tiga pertanyaan di atas, dapat disimpulkan bahwa santri memegang peran strategis sebagai penjaga nilai nasionalisme, pelopor etika digital, dan pembangun peradaban berbasis kemanusiaan. Bagi para pemangku kepentingan pendidikan dan keagamaan: 1) Pesantren perlu memperkuat literasi digital santri tanpa meninggalkan nilai adab; 3) Pemerintah harus memfasilitasi transformasi digital pesantren agar tidak tertinggal dalam industri 5.0.; 3) Masyarakat perlu menumbuhkan kembali penghargaan terhadap peran santri sebagai pilar moral bangsa. Santri adalah cermin moral bangsa. Di tengah kemajuan teknologi dan krisis kemanusiaan, mereka mengingatkan bahwa peradaban sejati tidak dibangun oleh mesin, melainkan oleh hati yang jujur dan pikiran yang tercerahkan. Santri yang berilmu, beradab, dan berintegritas—itulah wajah masa depan Indonesia yang merdeka dan berperadaban dunia. Wallahu A’lam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *