SPIRIT MENSYUKURI, MENGISI DAN MERAWAT NIKMAT KEMERDEKAAN
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنَّ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا وَرَسُوْلِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى ا للهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَتَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا ، يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah mengaruniakan berbagai nikmat kepada kita yang tak terhitung banyaknya serta masih memberikan kesempatan, kemudahan dan kesehatan serta petunjuk kepada kita semua untuk bisa menghadiri shalat Jumat pada hari ini. Semoga shalawat dan salam senantiasa terlimpah kepada Nabi kita Muhammad SAW, keluarganya, para sahabatnya serta siapa saja yang mengikuti sunnah beliau secara lahir dan batin dengan penuh keikhlasan dan kesabaran hingga hari kiamat nanti. Tak lupa kami mengingatkan diri kami sendiri dan jamaah Jumat sekalian agar senantiasa bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, di mana pun kita berada dan dalam keadaan sendirian maupun di tengah orang banyak, dalam keadaan sehat maupun sakit, di kala lapang maupun sempit.
Sesungguhnya , sebaik-baik bekal dalam perjalanan adalah takwa dan hanya orang-orang bertakwa sajalah yang akan diterima amalan kebaikannya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ -١٩٧-
”Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat!” [Al-Baqarah: 197].
Selanjutnya Firman Allah SWT;
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ ۖ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!”. Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa”. [Al-Maidah: 27]
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Hakikat Kemerdekaan RI. Saat ini kita berada di bulan Agustus. Bulan yang di dalamnya terdapat hari kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diperingati setiap tahunnya pada tanggal 17. Momen ini mengingatkan kita semua tentang nikmat Allah yang agung berupa kemerdekaan bangsa Muslim yang besar ini dari cengekraman penjajahan Jepang dan beberapa negara Eropa pada masa lalu, yaitu Portugis, Inggris dan Belanda.
Masing -masing dari kita sudah paham arti kata merdeka secara bahasa, yaitu bebas, tidak terikat atau tergantung kepada pihak lain. Namun, apakah sebenarnya makna dari kemerdekaan itu dari tinjauan syar’i atau bagaimanakah perspektif Islam dalam memandang hakikat kemerdekaan?
Menurut Dr. Lukman Abdullah, saah seorang Mufti Wilayah Federal Malaysia, dalam konteks Islam, kemerdekaan berarti kebebasan bagi umat Islam untuk menjalankan kewajiban agamanya tanpa halangan apa pun.
Kata kemerdekaan itu memiliki makna sakral dalam Islam yaitu, kemakmuran, kedamaian dan harmoni atau kerukunan. Bagi seorang Muslim, kebebasan yang datang dengan makna kemerdekaan harus dihargai dan dipegang dengan kuat. Namun, kata beliau, ada sebagian kalangan di masyarakat yang salah dalam mengartikan makna kebebasan atau kemerdekaan ketika sampai pada masalah memahami hak-hak asasi manusia. Mereka memaknai hal itu sebagai kebebasan berfikir dan dengan demikian mereka merasa bebas dan merdeka untuk melakukan apa saja yang mereka inginkan,
Bila mengacu kepada definisi yang diberkan oleh Dr Lukman Abdullah tersebut mengenai hakikat kemerdekaan, ini berarti selama umat Islam di sebuah negara belum mampu menjalankan seluruh kewajiban agamanya secara bebas tanpa halangan apa pun maka umat Islam tersebut pada hakikatnya belum merdeka.
Kalau dalam istilah fikih, sebagaimana dijelaskan oelh Dr. Ziyad bin ‘Abid Al-Wasyukhi dalam disertasinya berjudul Al-Istidh’af wa Ahkamuhu fil Fiqh Al-Islami, kondisi semacam ini disebut dengan al-istidh’af, yaitu kondisi kaum Muslimin yang lemah dan tertindas oleh sebuah kekuatan yang menghalangi umat Islam untuk menjalankan kewajiban agamanya secara sempurna.
Kondisi Istidh’af ini lazimnya disebabkan oleh kekuatan kafir yang memusuhi Islam dan kaum Muslimin namun bisa juga terjadi karena adanya orang yang secara lahir menyatakan dirinya Muslim namun memberikan tekanan dan penindasan kepada kaum Muslimin sehingga mereka terhalang dari menjalankan kewajiban agamanya secara bebas dan sempurna.
Kondisi Istidh’af ini ada dua jenis. Yang pertama istidh’af total atau penuh, misalnya saat Nabi ﷺ dan para sahabat berada di Mekah. Jenis kedua berupa istidh’af parsial. Yang sering terjadi saat ini adalah jenis yang parsial, yaitu kaum Muslimin diberi kebebasan dalam menjalan ajaran agamanya yang berhubungan dengan ibadah mahdhah dan sebagian muamalah, seperti shalat, puasa, zakat, haji, nikah, cerai, talak, rujuk, bank syariah dan seterusnya.
Namun masih ada bagian lain dari Islam yang belum diberi kebebasan untuk dijalankan, biasanya berkaitan dengan masalah hukum dan politik pemerintahan. Hal ini biasanya karena sistem politik pemerintahan yang dianut memisahkan antara urusan agama dan negara. Kemudian, bila mengacu kepada definisi Dr Lukman Abdullah tadi, maka orang-orang yang masih menjadi budak hawa nafsunya, merasa memiliki kemerdekaan penuh untuk melakukan apa pun yang dia ingikan atas nama hak asasi manusia, maka bisa pula dikatakan sebagai individu dan umat yang belum merdeka secara hakiki.
Mereka masih menjadi budak dari hawa nafsunya dan belum mampu membebaskan diri dari dominasi hawa nafsunya untuk ditundukkan agar patuh tunduk kepada Allah Ta’ala. Orang semacam itu sesungguhnya orang yang telah mejadikan hawa nafsunya sebagai tuhan bagi dirinya dan dirinya sebagai budak bagi hawa nafsunya. Allah Ta’ala berfirman:
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ ۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? [Al-Jatsiyah: 23]
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Pertama Bagaimana Cara Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan?
Sebagai sebuah nikmat yang sangat besar, kemerdekaan negeri ini dari cengkeraman penjajah dari luar semestinya harus terus menerus disyukuri. Sara mensyukurinya bukan hanya dengan memperingati hari kemerdekaan negeri ini di setiap tanggal 17 Agustus. Bukan pula hanya dengan mengadakan berbagai atribut istimewa untuk memeriahkannya di setiap tempat – tempat publik dan gedung-gedung pemerintahan. Kalau hanya seperti ini cara mensyukuri kemerdekaan maka jelas sangat tidak imbang dengan besarnya nikmat kemerdekaan ini.
Sebagai orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita meyakini bahwa kemerdekaan merupakan rahmat Allah yang sangat besar kepada kaum muslimin di negeri ini. Hal ini pun juga dikukuhkan dalam pembukaan UUD 45. Oleh karenanya, kita semestinya mengembalikan cara bersyukur itu sesuai dengan apa yang dituntunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kitab-Nya.
يَعْمَلُونَ لَهُ مَا يَشَاءُ مِنْ مَحَارِيبَ وَتَمَاثِيلَ وَجِفَانٍ كَالْجَوَابِ وَقُدُورٍ رَاسِيَاتٍ ۚ اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْرًا ۚ وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
“Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). Beramallah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur”. [Saba’: 13].
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada Nabi Daud dan keluarganya agar bersyukur kepada Allah atas nikmat yang diberikan kepadanya yang digambarkan pada awal ayat tersebut dengan cara beramal. Maksud beramallah di sini menurut para ulama ahli tafsir adalah lakukanlah ketaatan kepada Allah sebagai ungkapan syukur kepada Allah Ta’ala.
Sedangkan yang dimaksud Asy-Syakur adalah orang yang melaksanakan ketaatan dan mengungkapkan rasa syukur atas nikmat Allah dengan hati, lisan dan anggota badan. Hal ini sebagaimana diterangkan oleh Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya Tafsir Al-Wajiz.
Jadi cara bersyukur terhadap nikmat kemerdekaan ini adalah kaum Muslimin di negeri ini harus taat, tunduk dan patuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala paska nikmat tersebut diperoleh dan menjauhi larangan-larangan Allah Ta’ala. Melaksanakan perintah-perintah Allah baik dalam urusan pribadi, keluarga, masyarakat dan negara dan menjauhi apa saja yang Allah larang dalam semua itu.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Kedua: Bagaimana Mengisi Kemerdekaan?
Bila cara mensyukuri nikmat Allah adalah dengan melakukan ketaatan, lantas bagaiana dengan persoalan mengisi kemerdekaan? Cara mengisi kemerdekaan negeri ini adalah dengan melakukan berbagai aktifitas yang positif dan bermanfaat oleh masing-masing individu. Bisa pula berupa pembangunan masyarakat di berbagai bidang kehidupan yang tentu saja dilakukan oleh pemerintah namun harus sesuai dengan aturan syariat. Selain itu, semuanya harus ditujukan untuk mendapatkan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bukan dalam rangka untuk berbangga diri, apalagi menyombongkan diri atas berbagai kemajuan yang dicapai setelah kemerdekaan negeri ini. Sebab, setiap penyelewengan dari koridor syariat itu berarti merupakan bentuk kemaksiatan kepada Allah Ta’ala.
Bila aturan syariat sudah diabaikan dalam segala aktifitas kehidupan individu, bermasyarakat dan bernegara maka bangsa ini tidak akan pernah mampu untuk bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebenarnya. Yang dilakukan bukan bersyukur secara syar’i namun secara lisan saja dengan mengucapkan alhamdulillah dan mengakui bahwa kemerdekaan adalah rahmat dari Allah. Namun setelah itu, saat harus bersyukur dalam bentuk perbuatan, justru tidak merasa terikat dengan aturan Allah yang memberi nikmat tersebut. Hal ini biasanya merupakan buah dari cara berpikir yang sekularistik, yang mengeluarkan tuntunan agama dari area pengelolaan pemerintahan dan negara. Memang hanya sedikit orang yang benar-benar bersyukur kepada Allah Ta’ala.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Ketiga Bagaimana Merawat Kemerdekaan?
Kemerdekaan sebagai sebuah nikmat yang agung perlu untuk dirawat agar nikmat ini tidak sirna atau lenyap. Sebab suatu nikmat itu bisa lenyap akibat tidak ada upaya untuk memelihara dan merawat nikmat tersebut.
Misalnya saja nikmat kesehatan itu bisa saja lenyap dan berubah menjadi kondisi sakit kronis yang menimpa seseorang akibat tidak merawat kesehatannya dan justru melakukan segala hal yang bisa merusak kesehatan tersebut dari waktu ke waktu.
Demikian pula dengan nikmat kemerdekaan. Pada prinsipnya cara untuk merawat nikmat kemerdekaan sama dengan cara merawat nikmat-nikmat Allah Ta’ala yang lain. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. [Ibrahim: 7].
Ayat ini secara tegas dan jelas menyatakan bahwa suatu nikmat itu akan terus ada bahkan bertambah bila penerima nikmat tersebut mampu bersyukur dengan benar dan nikmat itu akan lenyap dan sirna bila tidak bersyukur kepada Allah dengan benar.
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di saat menerangkan ayat ini mengatakan,”dan diantara bentuk siksa-Nya, adalah Allah akan melenyapkan nikmat yang telah Allah curahkan dari mereka. Bersyukur hakikatnya adalah pengakuan hati terhadap nikmat-nikmat Allah dan menyanjung Allah karenanya, serta mempergunakannya dalam keridhaan Allah. Sementara kufur terhadap nikmat Allah mempunyai pengertian yang berlawanan dengannya.
Untuk itu, tak ada jalan lain untuk merawat nikmat kemerdekaan selain menggunakan nikmat kemerdekaan ini untuk meraih ridha Alllah Subhanahu wa Ta’ala. Dan tidak ada jalan untuk meraih ridha Allah Ta’ala kecuali dengan mentaati seluruh hukum-Nya, perintah dan larangan-Nya di seluruh bidang kehidupan.Wallahu a’lam
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Khutbah Kedua