MOMENTUM PERINGATAN HARI KEBANGKITAN NASIONAL TAHUN 2022:
Spiritit untuk meningkatkan sikap adil dan ihsan dalam bekerja di Era Milenial
Jamaah jumat yang dirahmati Allah SWT,
Marilah sebagai insan yang bertaqwa kepada Allah tidak henti-hentinya kita memanjatkan puji dan rasa syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat dan karunia yang telah diberikan kepada kita yang tak terhingga jumlahnya. Sholawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw, juga kepada keluarganya, dan para pengikutnya yang selalu istiqomah sampai yaumul qiyamah.
Melalui khutbah Jum’at ini, pada siang hari ini saya berwasiat kepada diri sendiri dan kepada seluruh jamaah Jumat rohimakumullah, marilah kita pandai-pandai menghargai waktu yang diberikan Allah untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita, marilah kita tingkatkan nilai kemanfaatan kita terhadap sesama manusia, marilah kita tingkatkan peranan kita dalam membangun negara Indonesia tercinta ini sesuai dengan apa yang menjadi tanggung jawab kita, marilah kita tingkatkan peranan kita sebagai kholifah untuk melestarikan alam semesta ini.
Jamaah jumat yang berbahagia.
Tanggal 20 Mei diperingati bangsa Indonesia sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Bangsa Indonesia ini adalah bangsa yang besar, dengan jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 250 juta yang mayoritas adalah muslim, dalam sejarahnya bangsa kita ini telah mengalami banyak perubahan. 3,5 abad bangsa kita dijajah oleh Belanda, Inggris, Jepang. Dalam sejarah muncul pahlawan pahlawan, tokoh-tokoh pergerakan, yang berusaha membebaskan bangsa ini agar menjadi bangsa yang merdeka dan bermartabat, muncul putra-putra bangsa, mulai awal tahun kemerdekaan sampai era sekarang yang telah mencurahkan segala kemampuan untuk menjunjung tinggi martabat bangsa ini.
Hingga saat ini kita adalah bagian dari sejarah bangsa Indonesia yang Insya Allah masih panjang. “Perjuangan bangsa Indonesia belum selesai,” begitulah kalimat yang sering kita dengar.
Kita adalah pewaris sejarah dan akan mewariskan sejarah pula kepada generasi berikutnya. Tiap generasi telah diuji Allah dengan problem yang berbeda-beda. Semua itu adalah karunia Allah dan sebagai ujian untuk mengetahui siapa di antara kita (anak bangsa ini) yang paling baik amalnya. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Mulk ayat 1-2:
تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ -١- الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ -٢-
Maha Suci Allah yang Menguasai (segala) kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang Menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun, (QS. Al-Mulk [67] :1-2).
Jamaah yang dimuliakan Allah.
Allah telah menguji generasi bangsa kita saat ini dengan masalah besar yaitu krisis moral, krisis akhlaq yang berimplikasi kepada berbagai lini dalam kehidupan bernegara. Kita dan anak-anak bangsa banyak yang merasa terjebak/berada dalam sistem yang korup, tidak bermoral. Kendatipun dalam pandangan hidup bangsa, Pancasila sila ke-2 mengamanatkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Dan Sila ke-5 mengamanatkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tetapi kerusakan moral yang terjadi di negeri ini seakan tak berhenti dan silih berganti.
Inilah ujian yang diberikan Allah kepada generasi bangsa saat ini, yang mau tidak mau harus kita hadapi, kita selesaikan agar kita dapat tampil sebagai sebaik-baik umat.
لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.”
Apa yang salah dengan kita, sehingga bangsa ini mengalami krisis moral yang panjang ini. Semakin banyak orang yang pandai di negeri ini dengan ide-ide cemerlang, semakin banyak ahli hukum tata negara, tata pemerintahan, ahli militer, pakar kependidikan, pakar kebudayaan, pakar teknologi, semua ikut nimbrung menyampaikan gagasan-gagasannya agar negara ini segera bangkit, negara kita bukan semakin baik tapi kelihatannya semakin bertambah ruwet saja.
Jamaah yang berbahagia.
Pertanyaan yang patut kita renungkan adalah sebenarnya apa yang dibutuhkan oleh negara ini dan apa yang bisa kita berikan untuk negara ini. Marilah kita introspeksi pada diri kita. Mungkin saja kita memberikan kepada bangsa ini sesuatu yang kita anggap terbaik tetapi sebenarnya tidak dibutuhkan oleh negara ini. Atau sebaliknya mungkin juga negara ini meminta sesuatu yang sederhana yang ada pada diri kita tapi kita enggan untuk memberikannya.
Sebagian pakar hukum mungkin telah berupaya memberikan banyak gagasan untuk negeri ini, tetapi sebenarnya yang dibutuhkan negeri ini sesuatu yang sederhana yaitu orang orang yang taat terhadap hukum yang telah disepakati. Mungkin saja telah banyak pakar pendidikan yang juga memberikan gagasan untuk negeri ini, tetapi sebenarnya yang dibutuhkan negeri ini sesuatu yang sederhana yaitu orang-orang yang berakhlaq mulia yang menjadi suri tauladan dan bermanfaat bagi sesama. Mungkin juga telah banyak pakar tata negara yang berupaya menggagas negeri ini agar mempunyai struktur pemerintahan yang ideal, tetapi sebenarnya yang dibutuhkan negeri ini sesuatu yang sederhana yaitu orang-orang yang disiplin dalam bekerja.
Sebagai bangsa Indonesia saya yakin bahwa kita akan memberikan yang terbaik untuk bangsa ini. Namun marilah kita introspeksi diri apakah yang kita berikan untuk negara ini benar-benar kita lakukan dengan ikhlas demi negara atau hanya untuk memperjuangkan ego kita masing masing.
Jamaah rohimakumullah.
Sebagai ibrah, patut kita simak beberapa kisah sahabat-sahabat Nabi dalam membangun kehidupan bernegara saat itu.
\Kisah Pertama; Umar bin Khattab khalifah yang terkenal berani dan tegas memegang prinsip dan amanat yang dipikulkan, suatu malam saat ia mengerjakan tugas negara di ruang pribadinya dengan diterangi lampu minyak, ia menyelesaikan berkas-berkas negara. Datanglah saudaranya yang bermaksud menyampaikan sesuatu. “Masalah keluarga atau masalah negara yang ingin kau sampaikan?” tanya khalifah Umar.
“Masalah keluarga,” jawab saudaranya seketika itu juga.
Lampu minyak di depannya ia matikan. Saudaranya heran, “Wahai Khalifah, mengapa engkau matikan lampu itu?”
Umar menjawab dengan suara rendahnya, “Lampu minyak ini dibiayai oleh negara, tidak sepantasnya pembicaraan keluarga ini menggunakan fasilitas negara.”
Mendengar jawaban Umar, saudaranya terkejut dan hanya bisa diam merenungi perkataan Umar.
Kisah ini adalah kisah nyata dan mungkin sering kita dengar. Kalau kita tanggapi dengan setting bangsa kita saat ini, mungkin kita akan tersenyum sinis, apa mungkin sikap seperti itu akan muncul di negeri ini?
Jamaah jumat yang dimuliakan Allah.
Kita tidak pantas putus asa terhadap rahmat Allah. Karena tidak ada yang putus asa terhadap rahmat Allah itu kecuali orang-orang kafir. Allah juga tidak pernah memvonis seorang hamba atau kaum dalam kedzoliman, tetapi Allah selalu memberi kesempatan untuk merubah nasibnya menjadi sebaik-baik umat.
Masih banyak anak-anak bangsa di negeri ini yang bersikap lurus, semoga kita termasuk di dalamnya. Dan tentu cerita itu dicatat dalam sejarah agar bisa kita jadikan inspirasi agar kita semua lebih berhati-hati dalam menggunakan wewenang negara yang diamanatkan kepada kita. Karena wewenang yang diberikan kepada kita akan dimintai pertanggungjawaban tidak hanya dalam laporan pertanggungjawaban tetapi juga pertanggungjawaban di akhirat.
Bukankah nabi telah bersabda, “Kullukum ro’in wa kullukum mas ‘uulun an roiyyatih”. Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang kamu pimpin.
Kedua: Kisah serupa juga terjadi di masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, cucu Umar bin Khattab. Ada satu momen yang sangat penting pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz. Pada suatu hari, seorang miskin pergi untuk meminta santunan ke baitul maal karena sedang kekurangan. Sesampainya di baitul maal, orang itu berhenti dan memperhatikan sosok lelaki yang tengah duduk bersandar di beranda baitul maal. Setelah diperhatikan dengan seksama, orang yang sedang duduk bersandar itu adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang mengenakan pakaian sederhana bahkan penuh dengan tambalan. Melihat keadaan demikian, orang yang hendak meminta santunan itu membalikkan badan dan pulang dengan segera. Niat meminta santunan itu hilang seketika, tergantikan oleh rasa malu yang luar biasa. Malu, karena telah memandang diri sebagai orang yang kekurangan sementara pemimpinnya berperilaku hidup tidak jauh dari keadaan dirinya.
Kisah ini kiranya mengilhami kita untuk mengupas secara lebih dalam tentang kemakmuran dan kesejahteraan yang dikabarkan sejarah pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Dalam catatan sejarah disebutkan, bahwa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah masa pemerintahan yang paling singkat, yakni 2 tahun 5 bulan 4 hari. Tetapi, sejarah juga telah mencatat bahwa pada masa kepemimpinan beliaulah rakyat mencicipi kesejahteraan dan kemakmuran. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa pada masa itu tidak ada satu pun rakyat yang mau menerima zakat dan santunan. Tidak ada pula jalan yang berlubang yang bisa membuat keledai sekalipun terperosok ke dalamnya. Benar-benar sebuah prototipe kesejahteraan yang paripurna.
Saya berpendapat, bahwa sampai kapan pun, bagaimanapun sejahteranya sebuah bangsa, orang miskin pasti tetap ada, tentu dengan prosentase yang sedikit. Pun pada masa Umar bin Abdul Aziz, meski sejarah menyebutkan seluruh rakyat hidup sejahtera bahkan tidak ada yang mau menerima santunan, orang miskin pasti ada. Namun, yang tidak ada pada masa Umar bin Abdul Aziz adalah mental miskinnya. Rakyat Umar bin Abdul Aziz memiliki mental malu untuk disebut sebagai orang miskin. Mereka malu untuk meminta santunan. Mereka memilih bekerja lebih keras dan giat, ketimbang disebut miskin dan menerima santunan. Sikap hidup rakyat ini juga ditopang oleh kesederhanaan dari pemimpinnya. Sikap kesederhanaan yang sesungguhnya, bukan kepura-puraan.
Jamaah rohimakumullah.
Kita sebagai rakyat Indonesia tentu “tidak hanya mampu menuntut hak, menyalahkan pemimpin, menyalahkan sistem, atau sejenisnya, tetapi mari kita sebagai rakyat bangsa Indonesia dapat memiliki sikap yang adil atau kalau bisa bersikap ihsan dalam setiap lini kerja yang menjadi tanggung jawab kita. Kenneth (2011:129) menjelaskan bahwa sikap kerja merupakan sikap seseorang terhadap pekerjaannya yang mencerminkan pengalaman yang menyenangkan dan tidak menyenangkan dalam pekerjaannya serta harapan-harapannya terhadap pengalaman masa depan. Tentang kriteria sikap kerja ini, Ali Marpuji, dkk, (1990), membagi 3 kriteria orang yang bekerja:
Pertama Bekerja dengan kriteria Adil; Apabila pekerjaan yang dibebankan kepada kita telah dilakukan dengan baik dan kita mendapat imbalan sesuai dengan apa yang telah disepakati, maka kita telah bersikap adil. Firman Allah SWT’, dalam Al-Qur’an An-Nahl: 97; Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (Q.s An-Nahl: 97).
Ayat tersebut menjelaskan balasan atau imbalan bagi mereka yang beramal saleh adalah imbalan dunia dan imbalan akhirat. Maka seseorang yang bekerja disuatu badan usaha (perusahaan) atau instansi dapat dikategorikan sebagai amal saleh, dengan syarat perusahaan-nya tidak memproduksi, menjual atau mengusahakan barang-barang yang haram. Dengan demikian, maka seorang buruh yang bekerja dengan benar akan mendapat dua imbalan, yaitu imbalan di dunia dan imbalan di akhirat.
Kedua Bekerja dengan kriteria Ihsan; Apabila tanggung jawab pekerjaan yang dibebankan kepada kita telah dilakukan dengan baik dan kita mendapat imbalan sesuai dengan apa yang telah disepakati, kemudian dengan suka rela kita melakukan pekerjaan tambahan tanpa mengharap tambahan imbalan, maka kita telah bersikap ihsan. Ihsan adalah menyembah Allah SWT, dengan seolah melihat-Nya. Apabila tidak mampu, maka bayangkan Allah SWT melihat perbuatan kita.
Ihsan adalah beribadah dengan ikhlas (baik ibadah khusus maupun umum). Dalam surat Al Baqarah ayat 83, Allah SWT memerintahkan untuk berperilaku ihsan. Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil, “Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Dan bertuturkatalah yang baik kepada manusia, laksanakanlah salat dan tunaikanlah zakat.” Tetapi kemudian kamu berpaling (mengingkari), kecuali sebagian kecil dari kamu, dan kamu (masih menjadi) pembangkang.”(QS.Al Baqarah[2]:83).
Ketiga Bekerja dengan kriteria Dzolim; Apabila tanggung jawab pekerjaan yang dibebankan kepada kita tidak dilakukan dengan semestinya dan kita mendapat imbalan sesuai dengan apa yang telah disepakati atau meminta tambahan imbalan terhadap apa yang tidak kita lakukan, maka kita telah bersikap dzolim. Di mana pun kita bekerja, apabila tanggung jawab tidak kita lakukan dengan semestinya pasti akan ada yang terdzolimi dengan sikap kita, baik secara langsung maupun tidak. Bukankah? Seorang Muslim diajarkan untuk tidak melakukan perbuatan zalim atau aniaya kepada orang lain dan bagi dirinya sendiri. Allah SWT bahkan menyebut akan memberi azab bagi orang yang zalim. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya surat Al-Furqan ayat ke-19: وَمَنْ يَظْلِمْ مِنْكُمْ نُذِقْهُ عَذَابًا كَبِيرًا “Barangsiapa di antara kamu yang berbuat zalim, niscaya kami rasakan kepadanya azab yang besar.” (QS.Al-Furqan[25]:19).
Jamaah yang dimuliakan Allah.
Apapun jenis pekerjaan yang kita lakukan, bangsa ini rindu hadirnya orang-orang yang bersikap adil dan ihsan dalam bekerja. In ahsantaum ahsantum li anfusikum, in asaktum falahaa. Sesungguhnya jika kamu berbuat baik, perbuatan baikmu itu untuk dirimu sendiri. Demikian pula jika kamu berbuat jelek, sesungguhnya akan menimpa dirimu sendiri. Bukankah Allah SWT telah berfirman dalam surat Al Maidah ayat 5:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ -٨-
Arrinya: Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum [golongan], mendorongmu untuk berbuat tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Maidah [5]: 5)
هَلْ جَزَاء الْإِحْسَانِ إِلَّا الْإِحْسَانُ -٦٠-
Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula). (QS. Al-Maidah [5]: 6)
Jamaah yang berbahagia.
Seorang pahlawan yang dapat menginspirasi kita dalam membangun bangsa ini salah satunya adalah Pangeran Diponegoro. Kita telah mengenal Pangeran Diponegoro, ia adalah pejuang yang berusaha membebaskan tanah Jawa dari kompeni Belanda. Tercatat dalam sejarah perang Diponegoro dimulai dari tahun 1825 sampai 1830. Meskipun akhirnya dia tertangkap dan diasingkan ke Manado.
Pangeran diponegoro bukanlah prajurit yang bodoh yang tidak dapat memperkirakan menang dan kalah. Dia tahu betul bahwa suatu saat dia akan kalah melawan kompeni Belanda. Tetapi pilihan melawan kompeni adalah pilihan yang benar, maka itulah memang pantas dilakukan. Meskipun dia kalah, tetapi perjuangannya telah menginspirasi bagi proses perjuangan bangsa selanjutnya. Tanpa beliau mungkin generasi selanjutnya tidak akan terinspirasi bagaimana melakukan perlawanan dengan strategi yang lebih baik.
Jamaah rohimakumullah
Apa yang bisa kita ambil dari kisah tersebut, bahwa dalam dalam kehidupan berbangsa ini kita tidak perlu putus asa, sekecil apapun yang kita lakukan pasti akan ada manfaatnya bagi bangsa ini dan Allah pasti membalasnya. Tidak perlu berlebihan bahwa upaya kita harus diterima dan diapresiasi semua orang, tapi cukuplah upaya yang kita lakukan merupakan bagian dari proses perbaikan bangsa ini yang tahapannya mungkin sangat sangat panjang. Tetapi semua itu memang harus kita mulai sekarang, dengan langkah pertama dari diri kita, dari yang sederhana. Orang bijak bilang kalau kita ingin melangkah 1.000, pasti harus dimulai dengan langkah yang pertama.
Jamaah jumat rohimakumullah.
Seberapa jauhkah nilai-nilai keshalihan kita yang kita aplikasikan dalam membangun negara ini? Tentunya kita harus selalu berusaha dari hari ke hari menjadikan diri kita sebagai rahmat bagi alam di sekitar kita. Kita tidak perlu putus asa terhadap rahmat Allah, sekecil apapun yang kita sumbangkan untuk negara ini asalkan dilakukan dengan keikhlasan pasti Allah akan membalasnya.
Khutbah ke II