MANAJEMEN PEMBELAJARAN BERBSIS REFLEKSI
(Seni berpikir Kritis, Analitis Dan Kreatif dalam Magang)
PERMISI
Reflection: A Neglected Area in Learning pernah menjadi tema konferensi sehari yang digelar oleh The Australian Consortium on Experiential Education pada tahun 1982. Konferensi itu tentu telah usai puluhan tahun lalu, segala implikasi dan tindaklanjut dari keprihatinan itu boleh jadi telah terjadi pula di dalam praksis pendidikan di negara tetangga itu. Yang menarik bagi kita saat membaca kembali tema itu adalah bahwa tema itu rasanya tepat untuk diajukan kepada dunia pendidikan Indonesia saat ini. Karena memang demikianlah rasanya yang terjadi di dunia pendidikan kita selama ini. Dimensi reflektif dalam pembelajaran telah cukup lama diabaikan dalam praksis pembelajaran di negeri ini. Ihwal keterpurukan kualitas pendidikan negeri ini ketimbang bahkan negara negara se Asia Tenggara sekalipun tentu sudah menjadi pengetahuan dan keprihatinan umum. Namun yang justru terasa masih langka adalah elaborasi lebih dalam dan serius tentang penyebab dan/atau solusi atas keterpurukan itu. Tulisan ini dibangun atas asumsi bahwa salah satu penyebab keterpurukan di atas adalah dominannya paradigma psikologi behavioristik dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia selama ini yang memang tidak memberi tempat bagi proses belajar yang otentik ke arah pencapaian makna pengetahuan melalui proses refleksi. Miskinnya pengalaman berrefleksi juga dicerminkan oleh menggejalanya perilaku spontan destruktif, yang mencerminkan pola pikir „tanpa pikir panjang dulu‟ di masyarakat sebagai dinampakkan oleh perilaku kerusuhan massal, pembakaran dan/atau penganiayaan tersangka pelaku kejahatan, perkelahian antar warga Desa, konflik antar suku dan/atau antar pemeluk agama, tawuran antar pelajar dan sejenisnya. Dalam batas-batas yang lebih “beradab” pertikaian demi pertikaian juga terjadi di kalangan elit baik yang ada di lembaga legislatif maupun di berbagai lembaga pemerintahan selama 6 tahun masa transisi belakangan ini.
Apa itu Pembelajaran Reflektif
Bagian ini mengkaji pentingnya pembelajaran reflektif dalam dunia kemahasiswaa, khususnya ketika menekuni aktivitas keseharian sebagai mahasiswa yang sedang dalam proses Magang dan tumbuh kembang mental dan kognitifnya di dunia kampus. Belajar reflektif dikembangkan berdasarkan teori psikologi kognitif dan psikologi konstruktivis. Pembelajaran reflektif didefinisikan sebagai proses belajar secara mendalam dan bermakna Moon (2000), yang menunjukkan siklus penemuan dalam mencapai tujuan dalam menemukan solusi dari permasalahan yang diajukan. Lebih lanjut dikatakan bahwa proses belajar reflektif berarti proses mental yang akan memanipulasi pikiran guna mencari solusi dari permasalahan yang ada. Pembelajaran reflektif memudahkan dalam mengolah pikiran dan informasi baru untuk dimaknai dan dikaji secara mendalam dan penuh pertimbangan dan kehati-hatian sebelum memutuskan suatu langkah selanjutnya (Dewey, 1933; Xie, 2007).
Uraian dalam bagian ini dan bab berikutnya merupakan hasil dari pemikiran reflektif hasil penelitian unggulan perguruan tinggi yang dilaksanakan dalam kurun waktu 3 tahun, dengan fokus pada upaya pencegahan tawuran mahasiswa melalui pembelajaran reflektif. Sehingga dapat menjadi referensi bagi pembaca, dosen, dan mahasiswa dalam menjalankan aktivitas akademik di dunia kampus yang penuh dengan semangat keilmiahan. Semangat yang terus ditumbuh kembangkan da dibuadayakan dalam lingkungan kampus agar dapat terhindar dari tindakan prasangka, prososial, dan tercipta harmoni antara civitas akademika.
Pentingnya Pembelajaran Reflektif
1. Pandangan Reflektif
Pandangan reflektif secara spesifik oleh Boud (1989) menjelaskan pentingnya refleksi dalam proses ‘cooperative inquiry’, yang melihat pentingnya refleksi bagi pengembangan keterampilan belajar. Kolb (1984) menempatkan refleksi sebagai bagian penting dari proses pembelajaran ‘experiantal learning’ atau pembelajaraan berbasis pengalaman. Safery & Duffy (1996) menyatakan bahwa refleksi merupakan salah satu pilar penting dalam pembelajaran yang berwatak konstruktivis, karena refleksi dapat membantu pebelajar mengembangkan kesadaran meta-kognitif. Kesadaran metakognitif adalah kesadaran akan pikiran sendiri sebagaimana tampak dalam cara seseorang mengerjakan tugas-tugas (Marzano, dkk. 1998). Degeng (1998) menyebutkan bahwa dalam pandangan konstruktivistik belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Dengan demikian landasan utama refleksi dalam pembelajaran adalah konstruktivisme. Hakikat belajar dalam pandangan konstuktivis adalah proses membangun makna. Untuk sampai tahap itu maka salah satu prinsip pembelajaran dalam paham konstruktivsme adalah kesempatan melalukan refleksi. Pembelajaran reflektif memungkinkan pengembangan pribadi yang efektif, mengembangkan masa depan dan mengaplikasikan tindakan dengan suatu rumusan bahwa belajar dipengaruhi oleh adanya interaksi dengan kelompok lain melalui dialog, percakapan, komunikasi guna memberi pemahaman dan pengalaman baru (Moon 2004; Stroobants, Chambers, & Clarke, 2007).
Belajar reflektif memungkinkan pebelajar dapat lebih fokus memperhatikan, berfikir, mempunyai ide sendiri, memperhatikan, mencari solusi, menafsirkan, menilai serta membuat refleksi diri terhadap apa yang ada di sekitarnya. dengan keterampilan berfikir yang dimilikinya (Honey dan Mumford, 1992).
2. Karakteristik Pembelajaran Reflektif
Pembelajaran reflektif merupakan model belajar yang mengutamakan proses berpikir atas dasar refleksi diri, pengalaman masa lalu, dan harapan masa depan Morrow (2009). Model belajar ini mengandalkan fantasi akademis terhadap hal yang diamati dan diukur, Getz et al (2008), sehingga melahirkan sensitivitas terhadap fenomena yang terjadi di sekitar lingkungan belajar. Hal ini sangat sesuai dengan sikap tanggap terhadap gejala dan bahaya akan terjadinya tawuran. Belajar reflektif menurut Bain et al. (2002) memiliki lima ciri yang menunjukkan hierarki proses berpikir yaitu: (1) Reporting (Pelaporan), (2) Responding (Menanggapi), (3) Relating (Terkait), (4) Reasoning (Penalaran), dan (5) Reconstructing (Rekonstruksi). Pada level reporting dicirikan dengan kemampuan mendeskripsikan situasi, fenomena, gejalah atau masalah, pada level responding dicirikan dengan kemampuan mengembangkan respon emosional terhadap masalah, pada level relating dicirikan dengan kemampuan mengasosiasi berbagai fenomena dengan teori yang mendasari fenomena, pada level reasoning dicirikan dengan kemampuan menjelaskan kejadian berdasar pada fakta peristiwa yang sistematis sesuai dengan konsep metodologis pemecehan masalah, dan pada level reconstructing dicirikan dengan kemampuan merencanakan tindakan penyelesaian masalah berdasar perspektif teori dan pengalaman masa lalu.
Pembelajaran reflektif memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran dengan melibatkan pengalaman dirinya sebagai bahan pembelajaran membantu dalam membentuk sebuah pengetahuan dan merangsang peserta didik untuk berpikir kreatif berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki untuk menyelesaikan permasalahan nyata dalam kehidupan. Menurut Harrington (1996), sikap reflektif memiliki tiga komponen utama, yaitu: 1) open mindedness atau keterbukaan, sebagai refleksi mengenai apa yang diketahui, 2) responsibility atau tanggung jawab, sebagai sikap moral dan komitmen profesional berkenaan dengan dampak pembelajaran pada pebelajar, pembelajaran, dan orang lain, dan 3) whole heartedness atau kesungguhan dalam bertindak dan melaksanakan tugas.
3. Pembelajaran Refleksi dalam Penguatan Nilai Karakter
Salah satu Penguatan Nilai Karakter Berbasis Pembelajaran Reflektif ini adalah sebagai salah satu alternatif pendekatan dalam menanamkan nilai-nilai karakter pada mahasiswa khususnya mahasiswa baru, sehingga mahasiswa khususnya mahasiswa baru dapat lebih “strong” memiliki keteguhan hati untuk tidak mudah terprofokasi oleh pihak lain yang dapat memicu terjadinya konflik seperti tawuran. Oleh karena itu, dalam kajian pembelajaran reflektif, memfokuskan pada 1) permasalahan yang seringkali menjadi pemicu utama tawuran, sambil mencari pendekatan pembinaan karakter mahasiswa melalui integrasi model pembelajaran reflektif, 2) mendesain model pengembangan pembinaan karakter anti kekerasan melalui model pembelajaran reflektif yang dapat menanamkan semangat kedamaian dan mereduksi tawuran, 3) menguji keefektifan model pembelajaran reflektif dalam mengembangan pembinaan karakter anti kekerasan.
Aktivitas belajar bagi mahasiswa baru ditandai oleh tingginya animo dalam mendalami pengetahuan yang dipelajarinya. Aktivitas ini berlangsung dan mengalir secara alami, dirasakan nyaman dan mendorong rasa ingin tahu. Impian dalam belajar yang sering didambakan adalah belajar dapat berlangsung dalam suasana yang tidak membosankan dikarenakan mahasiswa terlibat secara penuh membagi pengalaman belajar, memetakan masalah-masalah secara bersama terhadap materi yang dipelajarinya hingga dapat saling menilai hakekat belajar masing-masing.
Pada tahun awal perkuliahan, mahasiswa khususnya mahasiswa baru membutuhkan penyesuaian diri dalam belajar. Penyesuaian diri dapat berupa sistem pembelajaran di perguruan tinggi, upaya mengenal kepribadian satu dengan yang lain antar mahasiswa, termasuk bagaimana mahasiswa mengenal dunia kampus dan dunia kemahasiswaan secara utuh dan menyeluruh. Mahasiswa baru membutuhkan petunjuk semacam guide secara sistematis, dan terintegrasi tentang cara belajar yang akomodatif mengasah kemampuan berpikirnya.
Kemampuan berpikir menjadi penting untuk dikedepankan bagi mahasiswa sebagai bekal awal dalam memasuki gaya belajar di perguruan tinggi. Kemampuan berpikir mahasiswa baru perlu sejak awal diasah dengan membiasakan menyajikan strategi perkuliahan yang mendorong proses berpikir “mengapa” dan “bagaimana”, dan bukan sekedar berpikir “apa”. Maknanya adalah pada proses berpikir “mengapa” dan “bagaimana” mengkondisikan mahasiswa belajar berpikir kritis, mengkaji pengetahuan secara bermakna, tidak hanya mengetahui konsepnya, namun dapat mengaplikasikan, menganalisis, mensintesis, pengetahuan kedalam dunia nyata, hingga setiap saat dapat saling mengevaluasi hal yang sudah dipahami dan yang belum dipahami dari apa yang dipelajari. Paling penting adalah mahasiswa dapat menginternalisasikan apa yang dipelajari kedalam praktek nyata dalam kehidupan sehari-hari, yang terjadi dalam kehidupan magang.
Refleksi: Belajar dari Pengalaman dipinjam untuk Magang
Kata reflection yang kita terjemahkan menjadi refleksi bermakna sebagai “pikiran, gagasan, pandangan yang terbentuk, atau catatan yang dibuat berdasarkan hasil pertimbangan atau pemikiran yang serius‟. Dalam bahasa sehari hari kata refleksi sering diartikan sama seperti instropeksi atau berkaca-diri. Dalam bidang pendidikan Boud dkk (1989:19) memberi batasan refleksi sebagai “kegiatan intelektual dan afektif di mana individu-individu terlibat dalam upaya mengeksplorasi pengalaman mereka dalam rangka mencapai pemahaman dan apresiasi-apresiasi baru‟. Refleksi itu bisa dilakukan secara mandiri maupun bersama orang lain. Hal itu bisa dilakukan dengan baik ataupun buruk, bisa berhasil namun juga bisa gagal. Namun dalam proses pendidikan semestinya diupayakan agar refleksi menjadi kegiatan yang produktif. Jadi refleksi adalah tanggapan secara mendalam dan kritis seseorang atas pengalamannya sendiri. Melalui proses itu orang berusaha semakin memahami arti (makna) dan konsekuensi dari pengalamanya itu sehingga mampu memilih tindakan yang cocok untuk pengembangan dirinya. Proses refleksi dapat digambarkan seperti berikut:
Gambar 1: Proses refleksi dalam sebuah konteks
(Diadaftasi dari Boud, Keogh, Walker, 1989: 36)
Dalam gambar 1, tersebut tampak bahwa proses refleksi pada intinya meliputi tiga tahap kegiatan, yaitu: (a) tahap menghadirkan kembali pengalaman, (b) tahap mengelola perasaan, dan (c) tahap mengevaluasi kembali pengalaman.
1. Tahap Menghadirkan Kembali Pengalaman
Pada tahap ini, pelaku refleksi mencoba mengumpulkan kembali peristiwa-peristiwa yang menonjol dan menghadirkan kembali peristiwa tersebut dalam pikirannya. Proses ini akan sangat tertolong jika yang bersangkutan bersedia menuliskan dalam kertas atau menceritakannya kepada orang lain. Dalam pembelajaran proses ini dapat berupa proses de-briefing yang merupakan salah satu langkah dalam rancangan tugas tugas untuk pembelajaran kooperatif (Borich 1996:442).
De-briefing itu sendiri lebih di kenal di dunia penerbangan dan diplomatik, dalam bentuk interogasi terhadap penerbang atau diplomat segera setelah mereka kembali dari menjalankan missi tertentu guna memperoleh informasi-informasi yang bermanfaat.
2. Tahap Mengelola Perasaan
Tahap ini terdiri atas dua kegiatan utama, yaitu (a) memanfaatkan perasaan-perasaan yang positif dan (b) mengubah perasaan-perasaan yang mengganggu. Memanfaatkan perasaan-perasaan positif meliputi upaya untuk memfokuskan diri pada perasaan-perasaan positif mengenai proses pembelajaran dan pengalaman yang sedang direfleksikan. Hal itu misalnya meliputi kesadaran untuk mengumpulkan kembali pengalaman-pengalaman yang baik, memberikan perhatian pada aspek-aspek yang menyenangkan dari lingkungan, atau mengantisipasi keuntungan yang mungkin bisa didapat dari peristiwa tersebut. Upaya mengubah perasaan-perasaan yang mengganggu merupakan awal yang diperlukan agar seseorang dapat mempertimbangkan peristiwa peristiwa yang telah dialaminya secara rasional. Hal itu misalnya dapat dilakukan dengan mentertawakan pengalaman yang memalukan.
3. Tahap Mengevaluasi Kembali Pengalaman
Saat sebuah peristiwa yang direfleksikan itu terjadi, lazimnya orang sudah melakukan evaluasi terhadap peristiwa itu. Oleh karenanya sangat mungkin bahwa sudut pandang seseorang atas sebuah peristiwa sudah menjadi bagian dari pengalaman tersebut. Tahap ketiga dalam proses refleksi merupakan upaya mengevaluasi kembali pengalaman-pengalaman seseorang. Dalam tahap ini berlangsung empat proses penting, yaitu asosiasi, integrasi, validasi dan apropriasi. Asosiasi adalah proses mempertautkan gagasan-gagasan dan perasaan-perasaan yang merupakan bagian dari pengalaman asli dengan gagasan-gagasan dan perasaan-perasaan baru yang muncul dalam refleksi.
Integrasi adalah proses mencari keterkaitan di antara data yang ada. Dalam ntegrasi pertama-tama dicari sifat sifat hubungan yang telah terjadi dalam proses asosiasi. Kemudian dilakukan penarikan kesimpulan tentang pengalaman yang direfleksikan itu agar sampai pada tilikan-tilikan baru. Validasi, adalah proses menguji keotentikan gagasan dan perasaan yang telah dihasilkan. Dalam validasi pelaku refleksi melakukan pengujian konsistensi internal antara apresiasi-apresiasi baru dengan pengetahuan dan kepercayaan-kepercayaan yang telah ada. Apropriasi, adalah proses menjadikan pengetahuan baru itu menjadi milik pelaku refleksi.
Hasil dari proses refleksi bersifat kompleks, bisa berupa salah satu atau seluruh hal-hal seperti cara baru untuk melakukan sesuatu, kejelasan atas isu-isu, dan berkembangnya ketrampilan atau pemecahan masalah. Peta kognitif mungkin diperoleh, dan rangkaian gagasan baru mungkin dikenali. Mungkin pula lahir sudut pandang baru dalam melihat pengalaman atau perubahan sikap dan perilaku. Sintesa, validasi dan apropiasi pengetahuan selain merupakan menjadi bagian dari proses juga merupakan hasil dari refleksi itu sendiri. Dan lebih penting lagi ketrampilan belajar yang signifikan mungkin berkembang melalui pemahaman atas kebutuhan-kebutuhan dan gaya belajarnya sendiri.
Untuk memfasilitasi impian belajar yang demikian, dibutuhkan model pembelajaran yang dapat mengkonstruksi skenario pembelajaran yang melibatkan refleksi dan aktivitas belajar. Salah satu model belajar yang dimaksud adalah model belajar reflektif. Model pembelajaran reflektif adalah model belajar yang mengedepankan proses berpikir berdasarkan refleksi diri, pengalaman masa lalu, dan harapan masa depannya Morrow (2009). Model belajar ini mengutamakan imajinasi akademis terhadap hal yang diamati dan diukur, Getz et al (2008), sehingga melahirkan peserta didik yang memiliki kepekaan terhadap fenomena atau kejadian di sekitar lingkungan belajar.
Model-model tersebut dapat anda terapkan dalam proses magang sepert berikut:
- Kepemimpinan dan Perencanaan Pendidikan
- Pengelolaan Pendidik dan Tenaga kependidikan
- Pengelolaan Kurikulum
- Pengelolaan Pembelajaran
- Pengelolaan Peserta Didik
- Pengelolaan Sarana Prasarana, Biaya termasuk Pengelolaan SIM- EMIS
- Pengelolaan Hubungan Masyarakat dan Kerjasama Pendidikan
- Pengelolaan Suverisi Evaluasi dan Pelaporan Pendidikan
PENUTUP
Uraian di atas menunjukkan bahwa pembelajaran refleksif merupakan upaya pembelajaran untuk mengolah pengalaman melalui proses refleksi, sehingga bermanfaat bagi perkembangan pribadi pebelajar. Di samping itu melalui pembelajaran ini hendak ditumbuhkan (a) kebiasaan pebelajar untuk berrefleksi, dalam arti mau menjadikan pengalaman benar-benar sebagai pengajar, (b) membangun kepedulian pebelajar terhadap pengalaman-pengalaman manusiawi dengan segala makna dan konsekuensinya; dan (c) membiasakan pebelajar untuk membuat pilihan hidup dalam bentuk komitmen dan tindakan nyata. Jika memang demikian halnya maka amat jelas betapa strategisnya model pembelajaran reflektif dalam upaya perbaikan kinerja pendidikan kita dewasa ini.
DAFTAR BACAAN
Bain, J. D., Ballantyne, R., Mills, C., & Lester, N. 2002. Reflecting on Practice: Student Teachers’ Perspectives. Flaxton, Australia: Post Pressed.
Boud, D., Keogh, R. & Walker, D. Promoting Reflection in Learning: a Model, dalam David Boud et. all (Ed).1989. Reflection: Turning Experience into Learning. London: Kogan Page.
Degeng, I.N.S. 1998. Mencari Paradigma Baru. Pemecahan masalah Belajar. Dari Keteraturan Menuju ke Kesemrawutan. Pidato Pengukuhan Pengajar Besar IKIP Malang; Malang: IKIP Malang
Dewey, J. 1933. How We Think: A Restatement of the Relation of Reflective Tthinking to the Educative Process. New York: D.C. Heath and Company;
Getz, D., Andersson, T. and Carlsen, J. (2010), “Festival management studies: Developing a framework and priorities for comparative and cross‐cultural research”, International Journal of Event and Festival Management, Vol. 1 No. 1, pp. 29-59. https://doi.org/10.1108/17852951011029298
Harrington, L. Helen. 1996. Written Case Analyses and Critical Reflection. Journal Teaching and Teacher Education. Vol. 12 No.1 Januari. 25-37.
Honey dan Mumford. 1992. The Manual of Learning Styles. Maidenhead; Peter Honey
Kolb, D.A. 1998. Experiential Learning: Experience as The Source of Learning and Development. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Marzano, R.J. et all. 1998. Dimensions of Thinking: A framework for Curriculum and Instruction. Virginia: ASCD.
Moon, J. 2000. Reflection in learning and professional development: Theory and practice. London Sterling: Kogan Page Stylus Pub.
Moon, J. 2004. A handbook of reflective and experiential learning: Theory and practice. Abingdon, England: Routledge Farmer.
Morrow, Elizabeth. 2009 Teaching Critical Reflection in Healthcare Professional Education. Higher Education Research Network Journal Prizewinning Essays. King’s Learning Institute. King’s College London.
Savery, J.R. & T.M. Duffy (1996) Problem Based Learning: An Instructional Model and Its Constructivist Framework dalam Brent G. Wilson (ed) Constructivist Learning Environment; New Jersey: Educational Technology Publications.
Stroobants, H, Chambers, P & Clarke, B. (2007) Reflective Journeys: A Fieldbook for Facilitating Life-Long Learning in Vocational Education and Training Rome: Leonardo da Vinci REFLECT Project.
LAMPIRAN: