MANAJEMEN PEMBELAJARAN EMPATI: PERSEPEKTIF GARDNER
(Alternatif Manajemen Pembelajaran Dalam Menghadapi Era New Normal)
PERMISI
uatu pandangan masyarakat muncul dalam situasi Wabah Covid–19 menghadapi era tatanan baru (new normal), bahwa suksesnya pendidikan adalah pondasi kunci untuk mersaih kesuksesan hidup di masa depan. Disisi lain mereka menganggap ”bagaimana mungkin, kuliah online dapat mencetak sarjana yang siap kerja”? Memang banyak yang masih meragukan terhadap kualitas kuliah online dan kualitas lulusannya, padahal belajar online memiliki standar syarat kualitas tinggi yang menjadi pertimbangan dasar kebijakan penyelenggaraan pendidikan saat ini mulai dari TK, pendidikan dasar, menengah sampai tingkat Pendidikan Tinggi.
Di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, semenjak adanya penyebaran Coronavirus Desease-2019 (Covid-19) perkuliahan di digantikan dengan sistem Dalam Jaringan (Daring) atau online, dilaksakan berdasar pada Kebijakan Rektor, melalui Surat Edaran Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung nomor: B352/Un.05/II.4/HM.01/03/2020, tentang kesiapsiagaan dan tindakan antisipasi pencegahan infeksi virus corona, menjadikan kampus untuk me-lockdown proses pembelajaran dan dialihkan pada pembelajaran daring (online) dengan membuat ruang-ruang kelas online di setiap mata kuliah. Dengan dialihkannya perkuliahan tatap muka menjadi perkuliahan online, perkuliahan diharapkan akan berjalan efektif dan efisien tanpa mengesampingkan mutu. Serta tidak melupakan kewajiban dari masing masing elemen pembelajaran di kampus.
Namun pada kenyataanya sebagian mahasiswa yang mengeluh tentang kuliah online ini. Karena banyaknya kendala dalam pelaksanaannya. kendala yang paling terasa ialah susah sinyal. Hal ini dikarenakan rumahnya yang terletak di desa, sehingga sinyal tidak stabil, (Fitri, mahasiswi asal Aceh), berkaitan dengan online tesebut, tentu yang menjadi kendala adalah sinyal/jaringan, kuota, dan laptop. Bahwasannya sekarang kebanyakan susah sinyal di beberapa daerah pelosok khususnya. Beda lagi dengan mereka yang menggunakan wifi. Dan tidak semua mahasiswa memiliki kelengkapan wifi laptop, meskipun pinjam belum tentu ada. Ya kalau ada, Alhamdulillah. Selain kendala dari sinyal, kuliah online juga menyebabkan kurangnya pemahaman terhadap materi yang disampaikan (Rahmati, mhs S2 karyawan asal aceh) ”….saya sulit, karena kurang paham tentang materi yang disampaikan” (Reza mahasiswa asal Bandung). Jadi pemahaman terkait dengan materi, kurang paham secara rinci, beda dengan kuliah tatap muka. Terkait dengan tugas, kurang sulit menerima penjelasan”. Belum, pemberian tugas yang banyak dengan deadline yang singkat juga menjadikan kendala tersendiri, bahwa tugas tidak sama seperti biasanya, tugas online lebih banyak dan lebih menyulitkan (Ibrohim, mahasiswa asal Thailand). Juga dalam perkuliahan banyak dosen yang hanya berfokus pada pemberian tugas tidak diimbangi dengan pemberian teori materi dan melakukan diskusi misalnya. (Madiansyah, Mahasiswa Karyawan asal Ciamis). Ragam tanggapan dan keluhan mahasiswa, menjadi tantangan tersediri dalam mengiplentasikan kebijakan pembelajaran Daring.
Sangat logis, memang setiap perubahan akan memunculkan sikap negatif dan positif, namun semua orang harus mengikuti perubahan tersebut, yang tetunya dibatasi dengan norma-nora yang berlaku. Seperti halnya Era WFH Pademi Covopid-19 ini, telah mempengaruhi kebijakan pendidikan berkembang secara pesat negalihkan perilaku manusia dari manual memaksa untuk berperilaku digital, dan sangat berpengaruh terhadap perilaku manusia pendidikan, khususnya mahasiswa, baik secara positif maupun negatif. Secara negatif ini berpengaruh terhadap afeksi atau perkembangan emosionalnya; mahasiswa yang notabene masih remaja dapat cenderung egois, memikirkan diri sendiri, yang mengakibatkan menurunnya tenggang rasa dan empati sosial terhadap orang lain, termasuk budayanya, serta mulai merenggangkan hubungan kekeluargaan dalam kehidupannya, lebih jauh lagi dapat menjadi penyebab terjadinya konflik sosial dan berdampak perilaku anti sosial di masyarakat. Secara positif, remaja/mahasiswa dengan mudah dan cepat menerima berbagai informasi tentang berbagai hal termasuk budaya untuk memfasilitasi perkembangan kognitifnya. Dampak negatif di atas dapat ditekan, jika mahsiswa yang notabene remaja mampu mengembangkan perilaku empati. Perilaku empati diyakini dapat mereduksi intoleransi, konflik, diskriminasi dan meningkatkan pemahaman, rasa hormat, dan toleransi antara manusia dengan perbedaan etnis dan latar belakang budaya.
Fenomena demikian menunjukkan bahwa perilaku empati mahasiswa kurang. Mereka cenderung bersikap individualistik, lunturnya nilai-nilai luhur kemanusiaan dan kemasyarakatan dari kehidupan, seperti tolong-menolong, kekeluargaan, kerjasama, kebersamaan, dan kepedulian juga menuduh salah kepada orang lain. Sebagian mahasiswa cenderung egois atau memikirkan kepentingan sendiri tanpa menghiraukan kepentingan bersama. Kondisi ini apabila dibiarkan, cenderung akan menimbulkan suatu konflik dan terjadinya kesenjangan sosial. Mahasiswa juga akan dapat melanggar norma sosial dan norma agama yang ada, karena mahasiswa sebagai individu memiliki sifat egois atau mementingkan diri sendiri, dan tidak manusiawi dalam memperlakukan sesama manusia. Gejala demikian tidak menutup kemukian menjadi penyebab merosotnya kemampuan berempati sangatlah kompleks. Beberapa ahli (dalam Kustanti (2017:184), menegaskan, bahwa: Pertama; Rendahnya self-esteem, peristiwa traumatik, konflik, dan keterampilan sosial yang rendah; Kedua; Rendahnya keterampilan sosial yang dimiliki individu mengakibatkan individu mengalami kesulitan dalam dunia sosial, seperti mudah tersisihkan secara sosial, mengalami konflik interpersonal, kesepian, merasa tidak berharga, serta men arik diri dari lingkungan sosial Ketiga; Individu yang mengalami permasalahan sosial seperti kesepian, rasa malu, dan neurotisme cenderung lebih memilih berinteraksi secara negative. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari interaksi secara langsung dengan orang lain. Keempat, individu yang tidak percaya diri lebih nyaman dan senang untuk mengekspresikan dan menunjukkan eksistensinya di dunia maya daripada membangun relasi yang nyata di lingkungan. Kasus lain juga menunjukkan sikap egosentris seperti menyorak temannya yang ditegur guru karena tidak membuat tugas, merasa tidak peduli terhadap teman yang menangis di kelas dan bahkan mengejeknya lagi. Jika terus dibiarkan seperti itu maka akan terus berkembang dalam diri anak sikap egosentris sehingga menghambat anak untuk menjalin hubungan sosialnya. Karena hubungan sosial akan berkembang jika adanya interaksi sosial yang melibatkan emosi dan perasaan. Oleh karena itu, penting untuk ditanamkan dalam diri anak sikap empati. Tidak lain memgharapkan manajemen pembelajaran berbasis empati.
Islam adalah agama yang Rahmatan Lil’alamiin. Segala hal yang diperintahkan dan dilarang dalam Islam adalah kebaikan bagi yang menjalankannya. Kebaikan itu juga sering kali berdampak pada lingkungan sekitarnya. Menghadapi musibah yang menimpa diri maupun orang lain, Islam mengajarkan pemeluknya untuk simpati dengan ikut berduka, mendoakan, dan menguatkan yang terkena musibah dalam kesabaran, bahwa Allah tidak memberikan ujian yang menimpa melebihi batas kemampuan hamba-Nya. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam al-Quran:
Artinya: “Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS. At-Taghaabun [64] : 11).
Kemudian, Islam juga mengajarkan untuk berempati dengan berusaha memberikan bantuan kepada mereka yang terkena bencana. Ya, memberikan bantuan tanpa terhalangi oleh batas-batas negara. Apalagi di zaman sekarang, sudah banyak lembaga sosial yang membantu menyalurkan bantuan ke mancanegara. Tinggal kita saja yang harus memaksimalkannya untuk membantu korban bencana, agar mendapat pahala kebaikan dari Allah SWT.
Dari Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihiwasalam bersabda: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, saling menyayangi dan saling menyantuni adalah bagaikan satu tubuh; jika salah satu anggota tubuh merasakan sakit, niscaya seluruh anggota tubuh lainnya ikut merasakannya dengan tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ada beberapa ahli atau teoretikus yang mengemukakan teori empati, diantaranya Gardner, 1983) Eisenberg, 1987; Fesbach, 1997; Davis, 1996; Hoffman, 1998 & 2000; Batson, 1991, 1995, 1997), (dalam Wang, 2003), mereka sepakat berpendapat bahwa empati merupakan kemampuan atau karakter, bagian dari kepribadian individu dalam memahami perasaan dan pikiran orang lain (melibatkan proses afektf dan kognitif). Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, empati merupakan kemampuan individu untuk memahami keadaan orang lain, baik secara perasaan dan pikiran dengan mengomunikasikan pikiran dan perasaannya tersebut kepada orang lain tanpa kehilangan identitas dirinya sendiri atau dengan kata lain, empati merupakan kemampuan individu untuk menempatkan diri pada pikiran dan perasaan orang lain tanpa harus terlibat dalam perasaan maupun tanggapan orang tersebut.
Menumbuhkan rasa simpati dan empati terhadap saudara yang terkena musibah, karena inilah sikap seorang mukmin. Sikap yang Allah perintahkan dalam al-Quran, dan sikap yang Rasulullah saw ajarkan kepada kita selaku umatnya. Sikap empati dalam Islam merupakan pantulan dari jiwa pemurah atau dermawan. Sikap yang Allah perintahkan dalam al-Quran. Aniq (2012:38), menemukan tidak kurang dari 21 ayat Ayat Al -Qur’an tentang empati,tergambar dalam Tabulasi Ayat Al -Qur’an sebagai berikut:
Tabel 1
Tabulasi Ayat Al -Qur’an Tentang Empati
Sumber: Sumber: diadaftasi dari (Raudlatul Aniq, 2012)
Dari penjelasan di atas tentang empati dalam perspektif Islam, maka dapat disimpulkan bahwa empati dalam Islam dapat diartikan kemampuan yang dimiliki seseorang untuk menolong, merasakan, melindungi, mendengar, dan mendampingi atau menyertai pikiran dan perasaan orang lain ataupun dalam kelompok. Di dalam empati adanya dua pihak yang berdaya dan yang tidak berdaya, yang berdaya membantu yang tidak berdaya dan bisa sebaliknya. Sehingga adanya timbal-balik antara satu orang dengan orang yang lain ataupun dalam suatu kelompok. Empati juga bagian dari ulul albab. Empati tidak hanya merasakan kesusah an atau kesedihan orang lain, tetapi juga merasakan kesenangan orang lain.
Sikap empati akan melahirkan altruisme, yakni suka membantu dan bersetiakawan dengan sesama. Kini, semakin tampak kecenderungan orang untuk hidup bernafsi-nafsi atau serba egois. Orang hanya memikirkan dan memperjuangkan kepentingan dirinya sendiri dan tak peduli dengan orang lain. Orang egois hanya cinta diri dan kepentingannya serta tidak tergerak hatinya untuk peduli terhadap nasib orang lain. Jangankan terhadap orang lain, bahkan terhadap sanak saudaranya pun tidak peduli. Hal yang dipikirkannya ialah dirinya, bila perlu demi diri tega mengorbankan atau merugikan orang lain. Apabila sikap empati disederhanakan, tampak pada gambar sebagai berikut:
Gambar: 1 Represetasi Sikap Empati
Sumber: dikembangkan oleh penulis
Kajian manajemen pembelajaran berbasis empati; Penelitian Yaya Suryana, dkk. (2020:12), menemukan: Pertama; terdapat perbedaan persepsi atau pendapat tentang implementasi manajemen pembelajaran daring berbasis empati. (1) dosen memandang bahwa manajemen pembelajaran daring berbasis empati optimal dan sangat baik karena melihat dari sudut upaya yang dilakukan untuk memelihara motivasi belajar melalui basis empati dengan analisis kualitatif, (2) mahasiswa memandang dari sudut yang mereka rasakan bahwa manajemen pembelajaran daring berbasis empati hanya termasuk katagori baik cenderung sedang dalam analisis kuantitatif. Dari segi kualitatif menjelaskan kenyataan bahwa apa yang sudah dilakukan dosen dengan sangat baik, dirasakan mahasiswa sebagai sesuatu yang hanya baik cenderung sedang. Hal ini mengisyaratkan bahwa hasil kajian kualitatif memerlukan penelitian lanjutan agar hasil analisis kualitatif maupun kuantitatif merumusukan dan menemukan kebenaran yang sama.
Ketidak selarasan sikap empati demikian, akan menjadi kendala dalam Pembelajaran untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas, ditunjang pula dengan masih banyaknya Guru/dosen yang masih mempunyai pola pikir tradisional didalam menjalankan proses belajarnya yang hanya menekankan pada kemampuan logika dan bahasa. Kenyataan ini senada dengan yang diungkapkan oleh Gardner. “says that our schools and culture focus most of their attention on linguistic and logical-mathematical intelligence”. (bahwa sekolah dan budaya sebagian besar memusatkan perhatian mereka pada kecerdasan linguistik dan logis-matematis). Sejatinya Guru/dosen/orang tua harus memberikan perhatian yang seimbang terhadap orang-orang yang memiliki talenta (gift) di dalam kecerdasan yang lainnya seperti artis, arsitek, musikus, ahli alam, designer, penari, terapis, entrepreneurs, dan lain-lain. Sangat disayangkan bahwa saat ini banyak peserta didik yang memiliki talenta (gift), tidak mendapatkan reinforcement. Banyak sekali anak yang pada kenyataannya dianggap sebagai peserta didik yang “learning disabled” atau ADD (Attention Deficit Disorder), atau Underachiever, pada saat pola pemikiran mereka yang unik tidak dapat diakomodasi oleh sekolah. Pihak sekolah hanya menekankan pada kemampuan logika dan bahasa. Untuk itu Gardner (2003) dalam (Musyarrafah, 2019:65), menjelaskan bahwa dengan mengetahui kecerdasan ganda siswa akan menyederhanakan proses pendidikan untuk mengaktualisasikan visi dan misi sekolah/Perguruan tinggi dan membantu siswa untuk memahami tujuan mereka masa depan.
Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan kurangnya kreativitas berpendapat siswa tersebut yaitu dengan penerapan model multiple intelligences. (MI). Dimana model ini lebih mengutamakan pembelajaran sebagai wadah atau sarana dalam mengembangkan berbagai potensi dan kecerdasan yang dimiliki siswa untuk memecahkan masalah dalam kehidupan siswa. Winataputra et al. (2008:5.4). mengungkapkan pendapatnya bahwa Multiple intelligences adalah kemampuan untuk memecahkan masalah atau menciptakan suatu produk yang efektif atau bernilai dalam satu latar belakang budaya tertentu. Artinya, setiap orang jika dihadapkan pada sutu masalah, ia memiliki sejumlah kemampuan untukmemecahkan masalah yang berbeda sesuai dengan konteksnya. Oleh karenanya pada orang tua, guru/dosen sebaiknya belajar mengenali beragam kecerdasan pada peserta didik, agar dalam proses pembelajaran mereka mendapat penanganan dan cara pembelajaran yang tepat. Dengan pola asuh yang demokratis dan komunikatif bukan over protektif, biasanya peserta didik dengan beragam kecerdasan akan mampu berbakat dan professional.
Metode dan pola pembelajaran dengan empati bisa dilaksanakan untuk mengatasi peserta didik yang memiliki kecerdasan beragam sebagaimana dicetuskan oleh professor of education at Harvard University bernama Howard Gardner (1983), yang pada tahun 1995, gardner telah mengidentifikasi delapan ragam kecerdasan yang masing-masing memiliki tingkatan bervariasi dalam teori Multiple Intelligences. Mengenai teori kecerdasan yang beragam, dia berkomentar: “Dalam pemikiran saya, kemampuan intelektual manusia itu tentunya memiliki seperangkat ketrampilan yang dipakai untuk memecahkan masalah yang memungkinkan individu untuk memecahkan aneka masalah atau kesulitan dasar yang dia hadapi dan apabila pemecahan masalah itu tepat, dan bisa mendatangkan hasil yang efektif – tentunya akan membawa potensi untuk menemukan atau menciptakan berbagai masalah – disitulah terletak dasar bagi perolehan pengetahuan baru.”(Gardner1983, dalam Campbell. 2006: 2011).
Kajian Syarifah. (2019:176), mguatkan bahwa “Teori Multiple Intelligences diungkapkan oleh Howard Gardner. Dalam teori ini, kecerdasan berarti kemampuan untuk menyelesaikan masalah atau produk fesien, yang dinilai dalam satu atau lebih pengaturan budaya atau komunitas” Teori ini menunjukkan bahwa setiap orang memiliki sembilan kecerdasan: linguistik, logismatematis, spasial, kinestetik-tubuh, musik, antarpribadi, intrapersonal, naturalis, dan eksistensial. Pengembangan kecerdasan ganda dapat dilakukan dengan metode pendidikan termasuk metode pendidikan. Hal ini dilakukan untuk membangun proses pendidikan yang humanis dan bahagia serta memaksimalkan kecerdasan ganda anak. Apabila Teori Multiple Intelligences disederhanakan, tampak pada gambar sebagai berikut:
Gambar: 2 Represetasi Multiple Intelligences Garner
Sumber: diadaftasi darai Syarifah. (2019:176) dikembangkan oleh penulis
Tulisan ini mecoba mendiskripsikan manajemen pembelajaran empati dalam persepektif Gardner yang syarat Multiple Intelegences, setiap orang jika dihadapkan pada sutu masalah, ia memiliki sejumlah kemampuan untuk memecahkan masalah yang berbeda sesuai dengan konteksnya. Dikaji melalui studi pustaka. Kajian pustaka merupakan sebuah uraian atau deskripsi tentang literatur yang relevan dengan bidang atau topik tertentu sebagaimana ditemukan dalam buku-buku ilmiah dan artikel jurnal. Ia memberikan tinjauan mengenai apa yang telah dibahas atau dibicarakan oleh peneliti atau penulis, teori-teori dan hipotesis yang mendukung, permasalahan penelitian yang diajukan atau ditanyakan, metode dan metodologi yang sesuai.(Punaji, 2010:32).
Dengan teridentifikasinya pandagan Gardner tersebut, diharapkan menemukan formula manajemen pembelajaran yang ideal dalam menghadapi masa New Normal (tatanan kehidupan baru), yang mentuntut inovasi pembelajaran, serta melibatkan siswa sebagai subjek pembelajar (student centered), dengan dukungan guru/dosen sebagai pemeran utama dalam proses pembelajaran. Namun dalam penarapannya manajemen pembelajaran empati dalam persepektif Gardner yang syarat Multiple Intelegences, perlu ditelusuri melalui kajian ilmiah mendapat penelitian secara memadai.
A. Manajemen Pembelajaran Empati
1. Manajemen Pembelajaran dengan Empati
Manajemen atau pengelolaan adalah kemampuan dan keterampilan untuk melakukan suatu kegiatan, baik bersama orang lain atau melalui orang lain dalam mencapai tujuan organisasi. Robbins dan Coulter (dalam Erwinsyah, 2017:71), memberi arti pengelolaan merupakan kegiatan yang dilakukan bersama dan melalui seseorang serta kelompok dengan maksud untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi). Stoner mengemukakan bahwa: Manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, memimpin dan mengendalikan upaya pengorganisasian anggota dan menggunakan semua sumber daya organisasi lainnya untuk mencapai tujuan organisasi yang dinyatakan. Syafaruddin dan Irwan (2005:15), memberi arti, manajemen pembelajaran adalah proses menolong murid untuk mencapai pengetahuan, keterampilan, kemampuan dan pemahaman terhadap dunia di sekitar mereka.
Selanjutnya manajemen pembelajaran dalam konteks ini, digunakan istilah pemembetukan dan pengembangan. Hal tersebut didukung oleh teori Gagne, yang dikutip Mahmud, bahwa guru, pendidik (yang dalam hal ini dosen) memiliki fungsi sebagai designer, manager, dan sekaligus evaluator pembelajaran yang diasuhnya (Mahmud, 2012 dalam, Yaya dkk, 2020:3).
Dikarenakan pendidikan empati merupakan bagian inti dari pendidikan karakter yang dianggap mampu mengembangkan karakter peserta didik secara mendasar. Karakter yang dimaksud adalah sikap empati yang ada pada diri siswa, karena sikap empatai adalah kemampuan atau karakter yang merupakan bagian dari kepribadian individu dalam memahami perasaan dan pikiran orang lain (melibatkan proses efektif dan koknitif), Suatu istilah yang digunakan Garner, untuk menjelaskan tentang kemampuan seseorang dalam memahami pengalaman subjektif orang lain. Empati merupakan akar kepedulian dan rasa cinta pada setiap hubungan emosional seseorang dalam menyesuaikan emosional orang lain. (Fithriyana, 2019: 45). Esensi penting dari itu, dapat memahami perasaan orang lain adalah kemampuan untuk membaca pesan non verbal seperti ekspresi wajah, nada bicara dan gerak-gerik yang ditunjukkan.
Salah satu lingkungan yang mendukung untuk menanamkan pendidikan karakter khususnya karakter empati yaitu lingkungan pendidikan (pembelajaran). Pembentukan karakter empati harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan yang setidaknya harus melibatkan aspek pengetahuan (knowledge), perasaan (feeling), kecintaan (loving) dan tindakan (action). (Syafe’i, 2017: 63).
a. Pengetahuan (knowledge)
Moral knowing adalah hal yang penting untuk diajarkan, terdiri dari enam hal, yaitu: moral awareness (kesadaran moral), knowing moral values (mengetahui nilai-nilai moral), perspective taking, moral reasoning, decision making dan self knowledge.
b. Perasaan (feeling)
Moral feeling adalah aspek yang lain yang harus ditanamkan kepada anak yang merupakan sumber energi dari diri manusia untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral. Terdapat 6 hal yang merupakan aspek emosi yang harus mampu dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia berkarakter, yakni conscience (nurani), self esteem (percaya diri), empathy (merasakan penderitaan orang lain), loving the good (mencintai kebenaran), self control (mampu mengontrol diri) dan humility (kerendahan hati).
c. Tindakan (action)
Moral action adalah bagaimana membuat pengetahuan moral dapat diwujudkan menjadi tindakan nyata. Perbuatan tindakan moral ini merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter, yaitu kompetensi (competence), keinginan (will) dan kebiasaan (habit).
Implementasi ketiga hal tersebut adalah manajemen pengajaran efektif merupakan serangkaian kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, menggerakkan, mengendalikan dan mengembangkan segala upaya dalam proses menolong murid mencapai pengetahuan, keterampilan, kemampuan, dan pemahaman terhadap dunia di sekitarnya secara efisien dan efektif untuk mencapai tujuan pengajaran yang telah ditetapkan. (Bambang&Rusdiana, 2019, dalam Yaya, dkk: 2020: 3). Kegiatan mengembangkan aktivitas pengajaran secara efektif sebagaimana dikemukakan diatas sudah barang tentu memelukan pembaharuan atau perubahan secara inovatif.
Muara dari berfungsinya manajemen pembelajaran yang baik adalah pembelajaran efektif. Artinya, dari posisi guru tercipta mengajar efektif, dari posisi murid tercipta belajar efektif. Menurut Joyce and Weil (dalam Suwarni, 2017:39), guru yang berhasil adalah mengajar murid bagaimana memiliki informasi dalam pembicaraan dan membuatnya menjadi milik mereka. Sedangkan pelajar efektif adalah membentuk informasi, gagasan dan kebijaksanaan dari guru mereka dan menggunakan sumber daya belajar secara efektif”.Peran utama dalam pengajaran adalah menciptakan model aktivitas pengajaran kuat dan tangguh. Intinya adalah aktivitas pengajaran sebagai penataan lingkungan, pengaturan ruang kelas, yang didalamnya para pelajar dapat berinterkasi dan belajar mengetahui bagaimana caranya belajar.
Pembelajaran dengan empati merupakan hasil karya dari Evelyn English (dalam Attamimi, Samad, 2019:88), mengungkapkan hasil pengalaman dalam pembelajaran yang efektif diruang kelas selama bertahun-tahun dengan menghubungkan pengalaman dan pengetahuan tersebut pada kerangka teori Gardner. Pembelajaran dengan empati merupakan suatu kumpulan strategi yang kuat dan praktis dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan belajar yang berbeda dari para peserta didik yang sangat memerlukan lebih daripada sekedar lembar-lembar kerja. Pembelajaran ini membutuhkan instruksi yang teruji, pengetahuan tentang berbagai pendekatan yang berbeda yang diperlukan untuk membangkitkan motivasi dan menarik minat Peserta didik dengan karakter dan kemampuan yang berbeda.
Evelyn Williams English adalah seorang trainer bertaraf nasional yang inovatif, ia bekerja pada sesi interaktif dalam bidang pemikiran kritis dan kreatif, penyusunan kurikulum, kecerdasan yang beragam, Pembelajaran membaca dan menulis lintas-kurikulum, kelompok belajar dan penilaian prestasi. Pekerjaannnya di Amerika dan Eropa telah memperkaya dasar pengetahuannya dalam menyiapkan seluruh siswa abad ke dua puluh satu. Evelyn English (2005:33), memberikan pemahaman terhadap adanya perbedaan diantara para pengritik Howard Gardner yang dianggap telah memberi teori “tidak praktis”. Beberapa orang menganggap teorinya mengenai kecerdasan beragam bertanggung jawab atas seluruh kegagalan ‘pendidikan di sekolah’ pada dekade terakhir. Sebagaimana ditulis dalam buku Kecerdasan Majemuk pada bagian interaktif yang menanyakan apakah kecerdasan majemuk benar-benar teori? Dijawab oleh Gardner:“Teori Multiple Intellegence (MI), tidak mempertimbangkan semua data karena pertimbangan seperti itu tidak akan mungkin. Sebaliknya teori ini menggunakan aneka macam riset tradisional independent: neurology, populasi khusus, perkembangan, psikometrik, anthropologi, evolusi, dan seterusnya. Teori ini adalah suatu produk dari sintesis dari survei ini.” (Gardner, 2003:65).
Dari jawaban Gardner diatas menunjukkan bahwa teori MI tidak mempertimbangkan semua data, namun lebih mengedepankan hasil riset pada neurologi, populasi khusus, perkembangan, psikometrik, anthropologi, evolusi dan lain-lain. Dengan riset tersebut Gardner berpandangan teori ini merupakan produk sintesis yang dihasilkan dari suatu riset dan dianggap lebih signifikan hasilnya dari pada hanya mempertimbangkan data-data yang terkadang cenderung kurang valid.
Pembelajaran semacam ini memerlukan kerangka kerja yang kaya yang membantu setiap pembaca, dari seorang pemula menjadi seorang ahli, bukan hanya mengembangkan kemampuan menguasai berbagai ketrampilan tetapi juga mengembangkan rasa cinta pada proses belajar. Evelyn Williams, dalam bukunya diungkapkan bahwa Pembelajaran dengan empati, panduan belajar pembelajaran tepat dan menyeluruh untuk ruang kelas dengan kecerdasan beragam merupakan suatu acuan yang dirancang untuk membantu para pendidik dalam mengintegrasikan teori tentang tingkat kecerdasan beragam dan Pembelajaran kemampuan baca-tulis di ruang kelas. Kompilasi inovatif ini menyediakan berbagai variasi strategi dan kegiatan alternatif bagi para guru/dosen yang akan sangat mendukung para peserta didik disemua tingkatan pada saat mereka memperoleh dan menerapkan pengetahuan dibidang membaca, berpikir, menulis, berbicara, dan mendengar (Evelyn Williams (2005:15).
2. Metode dan Strategi Pengembangan Dalam Pembelajaran Dengan Empati
Dalam pembelajaran dapat digunakan strategi lain untuk mendukung palaksanaan mangajar dengan Empati. Salahsatunya dengan metode Think Pair Share (TPS), menurut Zubaidah & Corebima (2016) dalam Pangestuti (20017:137). terdapat tiga tahapan pada model pembelajaran TPS, yaitu pertama adalah Think, pada tahapan ini mahasiswa diminta memikirkan jawaban pertanyaan secara individu. Kedua adalah Pair, yaitu mahasiswa diminta berpasangan/kerjasama untuk mendiskusikan jawaban. Terakhir adalaha Share, tahapan ini mengharuskan mahasiswa untuk bersosialisasi/membagikan jawaban hasil diskusi pada tahapan sebelumnya melalui kegiatan diskusi dengan teman sekelas.
Adapun strategi yang dapat digunakan dalam Pembelajaran dengan Empati antara lain:
a. Mengajukan pertanyaan kritis
Mengajukan pertanyaan kritis, yaitu tehnik kontruktif yang bermanfaat disebagian besar situasi apapun untuk belajar. Strategi bertanya secara kritis ini dipadukan dengan aneka aktivitas dalam pembelajaran dengan empati. Pertanyaan-pertanyaan terbaik yang muncul nantinya akan menjadi dasar yang luas dan terbuka. Berbagai pertanyaan kritis itu dapat memancing berbagai variasi tanggapan dan mungkin juga pertanyaan-pertanyaan pada tingkatan tertinggi yang biasa kita ajukan. Semua pertanyaan itu mendorong untuk berpikir diberbagai tingkatan pemikiran, menghargai pengetahuan dan pengalaman latar belakang para siswa, dan memungkinkan mereka untuk bisa menciptakan makna diluar teks.
Socrates meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan akan diketahui atau tidak diketahui oleh siswa, hanya jika guru/dosen dapat mendemonstrasikan keterampilan bertanya yang baik dalam praktik pembelajaran di kelas (Helmiati, 2013 dalam Faizah, dkk. 2018: 254). Oleh sebab itu, setiap diri siswa harus ditanamkan jiwa bertanya.
b. Belajar bersama
Belajar bersama, yaitu pendekatan Pembelajaran yang menintegrasikan berbagai jenis ketrampilan sosial dan prestasi akdemik. Menurut Frank Lyman (1987, dalam Muhammadi, 2012: 149), ketika para pengajar memasang-masangkan atau mengumpulkan Peserta didik sesuai dengan pengelompokan yang direncanakan sebelumnya dan memberikan tugas-tugas kerja bersama yang tepat, mereka memberi kesempatan kepada Peserta didik untuk berinteraksi dengan teman-teman sebaya, Pembelajaran dan belajar dari teman-teman sekelas mereka, mendorong timbulnya berbagai ide baru, dan meningkatkan komunikasi diruang kelas.
c. Ketrampilan-ketrampilan sosial kerja tim
Ketrampilan-ketrampilan sosial kerja tim, negoisasi, dan pemecahan masalah menjadi jenis-jenis ketrampilan bagi Peserta didik untuk berkembang dan mengantarkan mereka ketempat-tempat kerja mereka di masa yang akan datang. Belajar bersama itu secara alamiah menggunakan kecerdasan yang beragam. Selain itu aktifitas belajar disini mendorong timbulnya ketrampilan untuk membaca, berpikir, menulis, berbicara, dan mendengar, selama Peserta didik bekerja sama untuk mencapai tujuannya.
Berpikir Kritis yaitu dengan suatu sistim klasifikasi yang disebut Taksonomi Bloom. Benyamin Bloom menganalisis proses berpikir dan berbagi tingkat kognitif. Enam tingkatan didalam Taksonomi Bloom ini mulai dari tingkat yang paling sedikit dan berakhir dengan ketrampilan untuk berpikir yang paling kompleks, adalah sebagai berikut: (1) Pengetahuan, Peserta didik mempelajari informasi. (2) Pemahaman, Peserta didik memahami informasi. (3) Penerapan, Peserta didik menggunakan informasi. (4) Analisis, Peserta didik menguraikan informasi dengan cara-cara baru dan berbeda.(5) Sintesis, Peserta didik memadukan informasi dengan cara-cara baru dan berbeda. (6) Evaluasi, Peserta didik menilai informasi. (Nursalam, 2012, dalam Sukirman (2019:142).
Ativitas-aktivitas dalam pembelajaran ini menganjurkan penggunaan semua tingkat taksonomi Bloom, dengan tekanan pada ketrampilan berpikir pada tingkat yang lebih tinggi. Menurut Lyman (Taufik & Muhammadi, 2012: 149) menyatakan bahwa model pembelajaran think pair and share menggunakan model diskusi berpasangan yang dilanjutkan dengan pleno. Dengan model pembelajaran ini peserta didik dilatih bagaimana mengutarakan pendapat dan peserta didik juga belajar menghargai pendapat orang lain dengan tetap mengacu pada materi atau tujuan pembelajaran.
3. Aktivitas Dalam Pembelajaran Dengan Empati
Akktivitas pembelajaran ini didasarkan pada pemikiran Hoffman dalam Selawati, 2019: 151), mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang dalam menerima dan memberi empati, di antaranya yaitu: (a) Sosialisasi; tujuan, berisi tentang maksud dari aktivitas yang akan dilakukan; (b) Mood dan Feeling; apa yang anda perlukan, berisi tentang bahan-bahan khusus yang akan sangat diperlukan dalam pembelajaran; (c) Proses Belajar dan Identifikasi; maksudnya pembuka metakognitif, berisi tentang saran-saran untuk menyiapkan Peserta didik dalam melakukan aktivitas itu atau untuk berpikir secara kritis mengenai tujuan dari aktivitas itu; (d) Identifikasi; apa yang dilakukan, berisi aneka petunjuk tahap-demi-tahap untuk melakukan aktivitas, (e) Situasi atau tempat; untuk memenuhi kebutuhan siswa yang beragam, berisi tentang saran-saran untuk menghadapi berbagai tingkat kemampuan Peserta didik yang berebada-beda dalam kaitannya dengan aktivitas yang akan dilakukan; (f) Refleksi, berisi tentang kesempatan untuk melakukan pemikiran reflektif dan penulisan tentang aktivitas itu, seperti pada jurnal atau dalam tugas pekerjaan rumah. Pada aktivitas tersebut memerlukan unsur kosa kata bisa disediakan “Daftar Kosa Kata” yang diperlukan, berisi tentang kosa kata yang mungkin belum diketahui. Bebarapa aktivitas yang juga perlu dimasukkan penjelasan Tips Instruksional dan Pilihan Tehnologi.
Apabila manajemen pembelajaran yang efektif, merukan serangkaian kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, menggerakkan, mengendalikan dan mengembangkan segala upaya dalam proses menolong murid mencapai pengetahuan, keterampilan, kemampuan, dan pemahaman terhadap dunia di sekitarnya secara efisien dan efektif untuk mencapai tujuan pengajaran yang telah ditetapkan. Pembelajaran dengan empati merupakan suatu kumpulan strategi yang kuat dan praktis dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan belajar yang berbeda dari para peserta didik yang sangat memerlukan lebih daripada sekedar lembar-lembar kerja. Maka Model manajemen pembelaran Empati dapat di proyeksikan pada gambar 1, berikut:
Gambar: 2 Model Manajemen Pembelajaran Empati
Sumber: dikembangkan oleh penulis
B. Implementasi Manjemen Pembelajaran Berbasis Empati
Seiring dengan trend dunia pendidikan abad 21 menurut pola pembelajaran lebih memberdayakan berbagai jenis kecerdasan yang dimiliki anak didiknya. Seperti halnya dua prinsip pendidikan selaras dengan Pancasila yang dikemukakan oleh UNESCO, sebagaimana dikutip Mulyasa, pertama: pendidikan harus diletakkan pada empat pilar, yaitu belajar mengetahui (learning to know), belajar melakukan (learning todo), belajar hidup dalam kebersamaan (learning to life together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be); kedua, belajar seumur hidup (life long education) (Mulyasa, E. 2002: 5), menuntut pola pembelajaran yang mampu mengembangkan berbagai kecerdasan anak didik. Hadirnya Gardner yang menolak asumsi bahwa kognisi manusia merupakan satu kesatuan dan individu hanya mempunyai kecerdasan tunggal. Setiap individu memiliki tingkat penguasaan yang berbeda. Individu memiliki beberapa kecerdasan, dan kecerdasan-kecerdasan itu bergabung menjadi satu kesatuan dan membentuk kemampuan pribadi yang cukup tinggi. (Nana Saodih, 2009:5).
Asumsi Gardner tersebut menghilangkan anggapan yang ada selama ini tentang kecerdasan manusia. Dalam perkembangan penelitian saat ini menjadi sembilan kecerdasan yaitu (1) Kecerdasan linguistik (kecerdasan berbahasa); (2) Kecerdasan matematis-logis (kecerdasan untuk mengolah angka); (3) Kecerdasan visual-spasial (kepekaan melihat gambar dan ruang secara akurat); (4) Kecerdasan kinestetik (kemampuan seseorang dalam menguasai tubuhnya); (5) Kecerdasan musikal (kecerdasan yang berkaitan dengan musik); (6) Kecerdasan interpersonal (kemampuan mempengaruhi, meyakinkan, dan menyemangati orang lain); (7) Kecerdasan intrapersonal (kemampuan memahami perasaan sendiri, pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan diri); (8) Kecerdasan naturalis (kepekaan seseorang terhadap alam, tumbuhan, hewan, dan lain sebagainya), dan (9) Kecerdasan eksistensial (Willingham, dalam Aryani, dkk. 2014: 30). Teori Multiple Intelligences diungkapkan oleh Howard Gardner. Dalam teori ini, kecerdasan berarti kemampuan untuk menyelesaikan masalah atau produk efesien, yang dinilai dalam satu atau lebih pengaturan budaya atau komunitas. Teori ini menunjukkan bahwa setiap orang memiliki sembilan kecerdasan: linguistik, logismatematis, spasial, kinestetik-tubuh, musik, antarpribadi, intrapersonal, naturalis, dan eksistensial. Pengembangan kecerdasan ganda dapat dilakukan dengan metode pendidikan termasuk metode pendidikan. Hal ini dilakukan untuk membangun proses pendidikan yang humanis dan bahagia serta memaksimalkan kecerdasan ganda anak/peserta didik. (Syarifah,2019:183). Secara Operasional dalam pembelajara dengan peserta didik beragam kecerdasan yang dapat diaplikasika pada beberapa hal berikut:
1. Kecerdasan verbal/Linguistik
Yang perlu diperhatikan dalam kecerdasan ini, menurut Gardner sebagaimana dikutip Thomas Armstrong (2002:6), adalah bahwa ada banyak cara untuk mengungkapkan kecerdasan ini dalam kehidupan anak. Bisa jadi anak sangat menikmati menulis puisi, namun tidak pandai mengungkapkannya di depan kelas atau anak sangat pandai bercerita namun kesulitan ketika membaca. Oleh karena itu, dalam mengembangkan kecerdasan tersebut pada anak harus selalu memperhatikan arah kecenderungan anak saat memperlihatkan kecerdasan linguistik mereka. Diruang kelas, kecerdasan verbal/linguistic dirangsang melalui kegiatan bercerita, berdebat, berpidato, dan bersandiwara. Membaca dan merespon barbagai variasi teks, juga menulis bermacam tema esai, cerita, surat, dan lelucon. Untuk mengaktifkan kecerdasan verbal/linguistic ini, para guru/dosen sebaiknya mendorong Peserta didik untuk menghubungkan berbagai pengalaman pada masa lalu dengan pengetahuan yang baru. Strategi yang sering dikaitkan dengan transfer ini akan membantu siswa untuk menghubungkan dan memahami berbagai ide dan informasi baru secara lebih baik. Diaplikasikan dalam pembelajaran manajemen; yang dapat dilakukan oleh guru/dosen ialah mendorong siswa untuk terbiasa menggunakan kata-kata yang tidak lazim (seperti: variabel, konstanta, elemen, dan istilah lain yang ada dalam manajemen). Selain itu siswa didorong untuk mempresentasikan setiap hasil kerja kelompok di depan kelas.
2. Kecerdasan musikal/rhytmis
Kecerdasan musik, menurut Gardner sebagaimana dikutip oleh Paul Suparno (2008:36), adalah kemampuan untuk mengembangkan, mengekspresikan, dan menikmati bentuk-bentuk musik dan suara. Selain itu, kecerdasan musik juga meliputi kemampuan untuk mengamati, membedakan, mengarang, dan membentuk bentuk-bentuk musik, kepekaan terhadap ritme, melodi, dan timbre dari musik yang didengar. Diruang kelas, kecerdasan musikal/ritmis itu terangsang ketika Peserta didik diijinkan untuk menciptakan dan menggunakan lagu, ketokan, sorak-sorai, syair, dan sajak. Aktivitas lainnya yang dapat mendorong kecerdasan ini ialah mendengar dan berbicara dengan irama dan pola serta mempelajari berbagai symbol dan kunci serta istilah beragam, yang dipakai dalam menciptakan dan membaca musik. Diaplikasikan dalam pembelajaran manajemen yang dapat dilakukan oleh guru/dosen ialah mendorong siswa untuk dapat membuat simbol-simbol manajemen dalam bentuk rumus, siswa dibiasakan dapat menurunkan rumus-rumus dan menghafalkannya guna memecahkan permasalahan manajemen .
3. Kecerdasan Logis/ Matematis
Orang yang memiliki kecerdasan matematis-logis ini, menurut Paul Suparno (2008: 29), sangat mudah membuat klasifikasi dan kategorisasi dalam pemikiran serta cara mereka bekerja. Dalam menghadapi banyak persoalan, orang yang memiliki kecerdasan ini akan mencoba untuk mengelompokkannya sehingga mudah dilihat mana yang pokok dan yang tidak, mana yang berkaitan antara satu dan yang lain, serta mana yang merupakan persoalan lepas. Seorang guru/dosen dapat membangkitkan kecerdasan logis/matematis dalam kelas dengan cara memberikan aneka pelajaran yang diatur dan diurutkan dengan baik. Berbagi jenis teka-teki, permainan, proyek, eksperimen, aktivitas membuat kategorisasi, analogi, dan aktivitas apapun yang dilakukan pada sebuah computer akan merangsang dan melatih kecerdasan ini. Diaplikasikan dalam pembelajaran manajemenpenggunaan diagram venn untuk membandingkan, menggunakan grafik, tabel dan bagan waktu, meminta siswa mendemonstrasikan dengan benda-benda nyata, meminta siswa menunjukkan urutan merupakan hal yang dapat dilakukan oleh guru/dosen dalam pembelajaran pada kecerdasan logis/matematis.
4. Kecerdasan Visual/Spasial
Kecerdasan spasial, menurut Gardner sebagaimana dikutip oleh Agus Efendi (2005: 145), adalah kemampuan untuk memberikan gambar-gambar dan imagi-imagi, serta kemampuan dalam mentransformasikan dunia visual-spasial, termasuk di dalam kemampuan kemampuan menghasilkan imagi mental dan menciptakan representasi grafis, berpikir tiga dimensi, serta mencipta ulang dunia visual. Peserta didik dengan kecerdasan ini bisa melihat aneka perbedaan warna yang hampir tidak kentara dan berbagai pola yang tidak biasa dan mampu menerjemahkan desain-desain pada media ekspresi yang dipilih. Untuk itu para guru/dosen dapat melengkapi kelasnya dengan berbagai bahan seni, kamera, peta, program computer/grafis, dan model karya seni. Untuk merangsang kecerdasan ini bebaskan Peserta didik untuk bereksperimen disemua wilayah seni visual secara bebas, juga dalam kaitannya dengan berbagai tugas dibidang kurikulum yang lain. Diaplikasikan dalam pembelajaran manajemenyang dapat dilakukan oleh guru/dosen adalah mendorong siswa untuk membuat sketsa dari soa-soal cerita sebelum siswa menyelesaikan permaslahan yang dihadapinya, selain itu guru/dosen dapat memberi kesempatan siswa untuk membuat model-model manajemendalam rangka memberikan pemahaman yang real kepada siswa tentang manajemen .
5. Kecerdasan Jasmaniah/kinestetis.
Kecerdasan kinestetik-badani (tubuh), menurut Tony Buzan sebagaimana dikutip oleh Agus Efendi (2005:152), merupakan kemampuan untuk memahami, mencintai dan memelihara tubuh, dan membuatnya berfungsi seefisien mungkin bagi orang yang bersangkutan. Dengan kata lain, kecerdasan tubuh adalah kecerdasan atletik dalam mengontrol tubuh seseorang dengan sangat cermat. Aktivitas yang dapat dilakukan adalah aktivitas yang memasukkan gerakan fisik, seperti: perjalanan lapangan, permainan peran/acting, pelatihan mandiri/berlatih secara individual, dan kerja tim, baik dalam olah raga maupun permainan, akan menstimulus kecerdasan ini. Diaplikasikan dalam pembelajaran manajemenyang dapat dilakukan oleh guru/dosen selama proses pembelajaran ialah membiarka siswa bergerak selama menyelesaikan persoalan manajemenselama tidak mengganggu teman yang lain, selain itu dapat dilakukan melalui mathematic out door yang dapat memfasilitasi keinginan anak untuk selalu bergerak.
6. Kecerdasan Intrapersonal
Kecerdasan intrapersonal menurut Paul Suparno (2008: 41) adalah kemampuan yang berkaitan dengan pengetahuan akan diri sendiri dan kemampuan untuk bertindak secara adaptif berdasar pengenalan diri itu. Termasuk dalam kecerdasan ini adalah kemampuan berefleksi dan keseimbangan diri, memiliki kesadaran tinggi akan gagasan-gagasannya, mempunyai kemampuan untuk mengambil keputusan pribadi, sadar akan tujuan hidupnya, bisa mengatur perasaan serta emosi dirinya sendiri. Orang yang memiliki kecerdasan yang tinggi dalam bidang ini adalah orang yang mampu menjadi dirinya sendiri yang sejati. Aktivita-aktivitas yang merangsang kecerdasan intrapersonal diruang kelas diantaranya adalah kesempatan untuk memecahkan masalah menggunakan metakognisi, melatih konsentrasi, menetapkan tujuan, dan menulis dalam catatan-catatan harian pribadi. Siswa dengan kecerdasan intrapersonal memerlukan waktu belajar bebas untuk melakukan refleksi, visualisai, relaksasi, dan menemukan diri sendiri. Diaplikasikan dalam pembelajaran manajemen yang dapt dilakukan oleh guru/dosen ialah membiarkan siswa bekerja dengan iramanya sendiri, menciptakan sudut tenang dikelas atau membolehkan siswa keluar untuk bekerja sendiri, membantu siswa menyusun dan memonitor target-target pribadi, menyediakan kesempatan bagi siswa untuk memberi dan menerima masukan dan melibatkan siswa dalam membuat rangkuman pembelajaran dalam satu pertemuan.
7. Kecerdasan Interpersonal
Kecerdasan interpersonal menurut Gardner, sebagaimana dikutip oleh Paul Suparno (2008: 39) adalah kemampuan untuk mengerti dan menjadi peka terhadap perasaan, intensi, motivasi, watak, dan temperamen orang lain, kepekaan akan ekspresi wajah, suara, serta isyarat orang lain. Selain kemampuan memahami dan memperkirakan perasaan, temperamen, suasana hati, maksud, dan keinginan orang lain, kecerdasan interpersonal ini juga menyangkut kemampuan untuk memberikan tanggapan secara layak terhadap kondisi orang lain. Melalui kecerdasan ini pula, seseorang mampu mengamati perubahan kecil yang terjadi pada mood, perilaku, motivasi, dan perhatian orang lain. Diruang kelas, aneka aktivitas seperti bermain petak umpet/robin round, permainan kerjasama dan proyek-proyek tim kreatif, menimbulkan kecerdasan antar-personal. Pendekatan-pendekatan instruksional multimedia juga bermanfaat bagi perkembangan kecerdasan ini. Diaplikasikan dalam pembelajaran manajemen, yang dapat dilakukan oleh guru/dosen ialah menggunakan cooperative learning yang didalamnya memberikan kesempatan kepada siawa untuk kerja kelompok, tukar pendapat dengan teman dalam kelompoknya, dan membuat siswa saling mengamati dan memberi masukan.
8. Kecerdasan Naturalis
Aktivitas-aktivitas yang dapat dilakukan diantaranya menyelidiki, mangklasifikasi, dan mengoleksi berbagai jenis unsur di alam, melakukan berbagai eksperimen ilmiah, dan meneliti solusi-solusi bagi berbagai keprihatinan lingkungan. Diaplikasikan dalam pembelajaran manajemen, yang dapat dilakukan oleh guru/dosen ialah dengan membawa anak ke alam (out door) bisa ke lembaga Pendidikan/kantor dinas pendidikan dalam proses pembelajaran. Dengan pembelajaran manajemen di luar kelas diharapkan siswa yang memiliki kecerdasan naturalis dapat terakomodasi minat dan kemampuan terhadap alam.
9. Kecerdasan Eksistensial (Existential Intelligence)
Kecerdasan eksistensial, menurut Howard Gardner sebagaimana dikutip oleh Thomas Armstrong (2004: 250), pada dasarnya adalah minat pada masalah-masalah pokok kehidupan. Kecerdasan ini mencakup kemampuan menempatkan diri dalam hubungan dengan jangkauan kosmos yang terjauh (yang tidak terhingga besarnya dan tidak terhingga kecilnya) dan kemampuan lain yang terkait, yakni menempatkan diri dalam hubungan dengan berbagai aspek eksistensial manusia, misalnya makna hidup, arti kematian, nasib dunia fisik dan psikologis, serta pengalaman mendalam seperti cinta pada sesama atau keterlibatan total dalam karya seni. Adapun kriteria-kriteria yang dipenuhi oleh kecerdasan ini antara lain: nilai kultural, sejarah perkembangan, sistem simbol, individu-individu luar biasa (savant), kajian psikometrik, plausibilitas evolusioner dan penelitian otak. Oleh karena kecerdasan eksistensial memenuhi sebagain besar kriteria kecerdasan majemuk, maka Howard Gardner menjadikan kecerdasan ini sebagai salah satu bagian kecerdasan majemuk. Dengan demikian, kecerdasan majemuk terdiri dari sembilan macam kecerdasan, yaitu kecerdasan linguistik, kecerdasan matematis logis, kecerdasan ruang-spasial, kecerdasan kinestetik-badani, kecerdasan musical, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan naturalis, dan kecerdasan eksistensial.
Apabila manajemen pembelajaran empati, berbasis pemikiran Gardner yang sarat meberdayakan multiple intelligences (kecerdasan majemuk) untuk dijadikan alternatif model manajemen pembelajaran dalam menghadapi Era New Normalal, dapat di proyeksikan pada gambar 2, berikut:
Gambar: 2 Kerangka Pemikiran Model Manajemen Pembelajaran Empati
Sumber: dikembangkan oleh penulis
C. Simpulan
Muara dari berfungsinya manajemen pembelajaran yang baik adalah pembelajaran efektif. Dari posisi guru/dosen tercipta mengajar efektif, dari posisi peserta didik tercipta belajar efektif. Guru/dosen yang berhasil adalah mengajar murid bagaimana memiliki informasi dalam pembicaraan dan membuatnya menjadi milik mereka. Sedangkan peserta didik yang efektif adalah membentuk informasi, gagasan dan kebijaksanaan dari guru/dosen mereka dan menggunakan sumber daya belajar secara efektif”. Peran utama dalam pengajaran adalah menciptakan model aktivitas pengajaran kuat dan tangguh. Intinya adalah aktivitas pengajaran sebagai penataan lingkungan, pengaturan ruang kelas, yang didalamnya peserta didik dapat berinterkasi dan belajar mengetahui bagaimana caranya belajar.
Kecerdasan Majemuk atau Multiple Intellegences merupakan suatu kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan. Kecerdasan majemuk jarang sekali ditinjau sebagai salah satu pertimbangan untuk keberhasilan proses pembelajaran, dalam hal ini membuat siswa memahami materi yang diajarkan. Racang model alternatif untuk mengatasi permasalahan kurangnya kreativitas siswa tersebut yaitu dengan penerapan model multiple intelligences. (MI). Dimana model ini lebih mengutamakan pembelajaran sebagai wadah atau sarana dalam mengembangkan berbagai potensi dan kecerdasan yang dimiliki siswa untuk memecahkan masalah dalam kehidupan masa depan.
Layaknya sebuah model, untuk diimpletasikan, menutut kajian lebih mendalam ditelusuri melalui kajian ilmiah secara memadai. Juga memerlukan kajian mendalam lebih lanjutan secara kualitatif maupun kuantitatif guna merumusukan dan menemukan kebenaran yang sama.
REFEREN
Alfian Erwinsyah, (2017) Manajemen Pembelajaran Dalam Kaitannyadengan Peningkatan Kualitas Guru. TADBIR: Jurnal Manajemen Pendidikan Islam.5,:1 (Februari. 2017), 68-74. tersedia dalam: http://journal.iaingorontalo.ac.id › tjmpi › article
Armstrong, Thomas, (2002). 7 Kinds of Smart: Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligences, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Bambang SA &A. Rusdiana, (2019), Manajemen Pendidikan Karakter. Bandung: Pustaka Setia.
Dini Faizah, Padi Utomo, dan M. Arifin, Analisis Pertanyaan Guru dan Siswa dalam Proses Pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas VII SMP Negeri 4 Kota Bengkulu. Jurnal Ilmiah Korpus, 2:3, (Desember 2018), 253-260.
Efendi, Agus, 2005. Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ, dan Successful Intelligence atas IQ, Bandung: Alfabeta. English, Evelyn Williams, Ferdinan, Fuad (2005). Pembelajaran dengan Empati. Jakrta: Nuansa.
Eshthih Fithriyana.(2019). Menumbuhkan Sikap Empati Melalui Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Pada Sekolah Berasrama. Al Ulya: Jurnal Pendidikan Islam. 4:1 (Januari 2019), 42-54.
Fajar Selawati, Yasnita, Tjipto Sumadi, (2019). Kegiatan Live In Dalam Mengembangkan Rasa Empati Siswa: Studi Kualitatif Kegiatan Live Insmp Kolese Kanisius Jakarta. Jurnal Ilmiah Mimbar Demokrasi. 18:. 2 (April 2019), 146-154. Tersedia dalam: http://journal.unj.ac.id/unj/ index.php/jmb/article/ view/11793/DOI: https://doi.org/10.21009/jimd.v18i2.11793.
Gardner, Howard. (2003). Kecerdasan Majemuk. (Terjemahan. Alexander Sindoro). Batam Centre: Interaksara. Imam Syafe’i, Lembaga Pendidikan Pembentukan Karakter, Jurnal Al-Tadzkiyyah, 8:1 (Januari, 2017), 61–82.
Iqbal Sukiman, (2019). Analisis Higher Order Thinking Skills (HOTS) Pada Soal Ujian Akhir Siswa Kelas 6 KMI dalam Kelompok Mata Pelajaran Dirasah Islamiyah Di Pondok Modern Tazakka Batang. Jurnal Pendidikan Agama Islam, 16: 2, (Desember 2019), 137-164. Tersedia dalam: ejournal.uin-suka.ac.id › jpai › article ›.DOI : 10.14421/jpai.2019.162-02. Junierissa Marpaung, (2017). Pengaruh Pola Asuh Terhadap Kecerdasan Majemuk Anak. Jurnal Kopasta. 4 (1), (2017) 7–15. Tersedia dalam. www. journal.unrika.ac.id.
Linda Campbell. (2006). Metode Praktis Pembelajaran Berbasis Multiple Intelegences. Jakarta: Intuisi Pers.
Mahatir Afandi Attamimi1, Samad Umarella. (2019). Implementation Of The Theory Multiple Intelligences In Improve Competence Of Learners On The Subjects Of Islamic Religious Education In SMP Negeri 14 Ambon. Jurnal al – iltizam. 4:.1, (Mei, 2019), 73-103. Tersedia dalam: jurnal.iainambon.ac.id › article › downloadSuppFile.
Mulyasa, E. (2002). Kurikulum Berbasis Kompetensi, Bandung: Remaja Rosdakarya. Musyarrafah, (2019). Developing Pictorial Multiple Intelligence Inventory for Students. urnalPsikologi Pendidikan & Konseling: Jurnal Kajian Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Konseling. 5: 1 (Juni 2019), 4-69. Tersedia dalam: ttp://ojs.unm.ac.id/index.php/:https://doi.org/10.26858/jppk.v5i1.8568.
Nana Syaodih Sukmadinata, 2009. Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Cet ke2. Bandung: Remaja Rosdakarya).
Raudlatul Aniq, 2012. Pengaruh Permainan Tradisional Gobag Sodor Terhadap Tingkat Empati Anak. Tesis; Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang. Tersedia dalam http://etheses.uin-malang.ac.id/2176/6/08410125_Bab_2.pdf
Ruhyat. (2018). Meningkatkan Hasil Belajar Melalui Pendekatan Interpersonal Di SMPN 3 Pagaden. Jurnal Edutech. 17 (03).274-294. Setiosary Punaji (2010) Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan, Jakarta: Kencana.
Suparno, Paul, (2008) Teori Inteligensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah: Cara Menerapkan Teori Multiple Intelligences Howard Gardner, Yogyakarta: Kanisius.
Suwarni, (2017). Meningkatkan Keterampilan Guru Matematika Dalam Menggunakan Model Pembelajaran Melalui MGMP di Kabupaten Bengkulu Utara. Jurnal Geograflesia. 2: 1, (Juni 2017), 37-44. Tersedia dalam: https://journals. unihaz. ac.id/ index.php/georafflesia/article/ view/164/95.
Syafaruddin dan Irwan Nasution, (2005). Manajemen Pembelajaran, Jakarta: Quantum Teaching. Syarifah. (2019). Konsep Kecerdasan Majemuk Howard Gardner. Jurnal Ilmiah Sustainable 2:2 (Desember 2019), 176–197. Tersedia dalam: jurnal.lp2m sas babel.ac.id › sus › article ›
Taufik dan Muhammadi. (2012). Mozaik Pembelajaran Inovatif. Padang: Sukabina Press.
Untsa Akramal Atqa, dkk. (2018). Pengalaman Musikal Dalam Teori Kecerdasan Majemuk Howard Gardner. Jurnal Kajian Seni, 05:01, (November 2018)1-14. Wang, Y. W., Davidson, M. M., Yakushko, O. F., Savoy, H. B., Tan, J. A., & Bleier, J. K. (2003). The scale of ethnocultural empathy: development, validation, and reliability. Journal of counseling psychology, 50:2, (April 2003), 221.
Winataputra, U.S. et al. (2008). Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka.
Yaya Suryana, dkk. (2020). Manajemen Pembelajaran Daring Berbasis Untuk Pemeliharaan Motivasi Belajar Daring Dalam Situasi Wabah Covid–19. KTI Dosen UIN Bandung. 2020. Tersedia dalam: http://digilib.uinsgd.ac.id /30698/1/ pdf.