Atasi Krisis Kepemimpinan Pendidikan dengan Experiential Learning

MENGATASI KRISIS KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN MELALUI EXPERIENTIAL LEARNING

“Gaya belajar Klob memiliki kecenderungan; diverger, konverger, assimilator; dan accomodator. Keterampilan dan pengetahuan kepemimpinan dibentuk oleh kemampuan kognitif-umum dan konkrit, motivasi, kepribadian”.

PERMISI

Saat ini fenomena Lembaga Perguruan Tinggi Islam menuju world-class university meniscayakan perbaikan serius terhadap seluruh elemennya. Elemen pembelajaran sebagai sasaran perbaikan mendesak segera untuk dilakukan. Agar pembelajaran yang diselenggarakan di Lembaga Perguruan Tinggi Islam berkelas internasional, maka penting untuk menyajikan pembelajaran yang direlevansikan dengan tantangan-tantangan kontemporer. Dalam konteks ini, kepemimpinan pendidikan mejadi suatu masalah yang urgen, terutama yang berhubungan dengan sistem pengkaderan. Karena itu harus terus diupayakan pendalaman dan kemantapannya dalam sekala yang luas. Sistem pembelajaran juga pengkaderan adalah suatu proses penurunan dan pemberian nilai-nilai, baik nilai-nilai umum maupun khusus oleh institusi bersangkutan. Proses pengkaderan dalam organisasi banyak membahas materi-materi kepemimpinan, manajemen, dan sebagainya. Hal ini di sampaikan karena secara umum kedepannya dalam sebuah institusi atau organisasi akan terjadi sebuah pergantian kepemimpinan sebagai penerus tongkat estafet yang harus menguasai materi-materi tersebut, terlebih lagi pada institusi dan organisasi yang dinamis. Yang terjadi saat ini, sistem pengkaderan yang ada belum begitu terprogram dan terstruktur secara terpadu dan maksimal. Sehingga belum mampu mencetak pemimpin yang mampu menjalankan tugas sesuai dengan fungsinya. Dengan demikian muncullah fenomena krisis kepercayaan dan krisis kepemimpinan yang melanda negeri ini yang perlu dijadikan bahan renungan, bahan evaluasi dan pemikiran semua pihak untuk mengatasi persoalan tersebut.

           Krisis kepercayaan dan krisis kepemimpinan bukan masalah yang sepele, akan tetapi masalah yang perlu mendapat perhatian secara serius dari berbagai kalangan. Untuk membangun kepercayaan terhadap kepemimpinan yang ada di Indonesia perlu diciptakannya kader-kader yang betul-betul militan dan dapat dipertanggung jawabkan. Sebagai bentuk usaha untuk mewujudkan hal tersebut salah satu solusi yang dapat dikemukakan ialah membangun sistem pengkaderan yang terprogram dan terpadu. Sekolah merupakan lembaga formal yang dijadikan salah satu sarana yang tepat untuk membangun system pengkaderan yang terpadu.

           Lingkungan Kampus dalam konteks Wawasan Wiyatamandala (1993: 21), disebutkan bahwa ketertiban adalah suatu kondisi dinamis yang menimbulkan keserasian dan keseimbangan tata kehidupan bersama sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Lingkungan yang kondusif untuk membentuk kader-kader pemimpin bangsa di masa depan, Suradi, 2017: 526).

           Kampus sebagai lembaga pendidikan yang memiliki tujuan membentuk manusia yang berkualitas, tentunya sangat diperlukan suatu aturan guna mewujudkan tujuan tersebut. Lingkungan kampus yang berangotakan remaja-remaja awal yang sedang dalam masa transisi, sangat rentan sekali terhadap perilaku yang menyimpang. Oleh karena itu diperlukan suatu hukum atau aturan kebijakan yang harus diterapkan di kampus yang bertujuan untuk membatasi setiap perilaku mahasiswanya. Di lingkungan kampus yang menjadi “hukum” nya adalah tata tertib. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1998) dalam (Nisak. 2018.337), mengemukkan bahwa peraturan tata tertib sekolah/kampus PT., adalah peraturan yang mengatur segenap tingkah laku para siswa/mahasiswa selama mereka bersekolah/kuliah untuk menciptakan suasana yang mendukung pendidikan.  Tertib sekolah melalui proses pembelajaran kontekstual, yang sedang digalakkan, pendidikan politik secara konseptual kepada siswa akan terasa sangat signifikan. Pemahaman dasar-dasar politik, kebijaka organisasi, dan kepemimpinan di kalangan siswa perlu ditanamkan sejak dini. Hal itu penting dilakukan mengingat siswa merupakan generasi muda yang menjadi tumpuan dan harapan bangsa di masa depan. Proses pengkaderan masiswa yang ada di lingkungan kampus perlu diberdayakan menjadi sebuah organisasi yang mampu membentuk keterampilan kepemimpinan atau Leadership Skill. Wadah yang tepat untuk itu tidak lain “Jurusan Manajemen Pendidikan”

           Jurusan Manajemen Pendidikan sebagai tempat atau wahana pembentukan kepribadian mahasiswa secara utuh. Disamping transfer ilmu pengetahuan dari guru/dosen kepada siswa, juga pembentukan mental kepribadian yang baik. Melihat dari hal tersebut sudah barang tentu, kemampuan yang dimiliki siswa di luar akademik sedapat mungkin diwadahi dan dikembangkan oleh kampus melalui pembelajaran. Kegiatan pembelajaran diselenggarakan untuk membentuk watak, membangun pengetahuan, sikap dan kebiasaan-kebiasaan untuk meningkatkan mutu kehidupan peserta didik. Atas dasar itulah pentingnya kegiatan pembelajaran yang memberdayakan semua potensi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang diharapkan. Pemberdayaan diarahkan untuk mendorong pencapaian kompetensi dan perilaku khusus (kepemimpinan) supaya setiap individu mampu menjadi pembelajar sepanjang hayat dan mewujudkan masyarakat belajar. Kegiatan belajar mengajar atau pembelajaran adalah proses penyampaian pengetahuan atau latihan kecerdasan, berbagai kecakapan untuk masa depan siswanya dalam terjun dimasyarakat kelak. Pada dasarnya sekolah/guru/dosen harus mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dibidang pembelajaran yang berorientasi pada pembentukan sikap, menyampaikan kebutuhan pengetahuan dan ketrampilan masa kini untuk memberikan bekal kepada anak didik dalam mencapai kehidupan lebih baik dimasa mendatang. Dari masa kini dan seturusnya kebutuhan masyarakat akan pembelajaran tentu saja makin banyak dan semakin kompleks, mereka tidak hanya membutuhkan pengetahuan yag teoritis semata tetapi sangat memerlukan pengetahuan pada aspeks praktis yang berupa kecakapan atau ketrampilan yang lebih kompetitif. Richard. Arends (2007:8), telah mengidentifikasi tujuh tantangan kontemporer abad 21 terkait pembelajararan, yaitu tampak pada gambar berikut:

Gambar 1: Tujuh tantangan Pembelajaran abad 21

Sumber: diadopsi dari Andreas dalam (Rosidin, 2014)

           Menariknya, Arends menyebut bahwa tujuan puncak (ultimate purpose) pembelajaran adalah “to assist students to become independent and self-regulated learners”(membantu para peserta didik agar menjadi para pembelajar yang mandiri dan mampu mengarahkan diri sendiri). Pandangan Arends di atas selaras dengan hasil kajian Malcolm Knowles (dalam Rosisidin, 2014:2), yang menyatakan adanya kesepakatan di kalangan para pakar pendidikan bahwa terdapat proses internal yang dikontrol oleh pembelajar sendiri dan melibatkan seluruh fungsi-fungsi dalam dirinya ketika belajar, termasuk fungsi intelektual, emosional dan psikologi. Kemudian disimpulkan bahwa pusat penggerak dari proses belajar adalah pengalaman belajar, yaitu pengalaman yang didefinisikan sebagai interaksi antara individu dengan lingkungannya. Jadi, kualitas dan kuantitas belajar jelas-jelas dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas interaksi antara pembelajar dengan lingkungannya dan potensi pendidikan dalam lingkungan tersebut. Dalam pada itu, seni mengajar secara esensial adalah manajemen kedua variabel kunci dalam proses belajar lingkungan dan interaksi yang sama-sama diposisikan sebagai unit dasar belajar, yakni learning experience (pengalaman belajar). Oleh karena itu, fungsi kritis seorang pendidik adalah untuk mengkreasikan lingkungan yang kaya yang dapat diekstrak menjadi sumber belajar oleh para pembelajar (Tight, 1987: 67).

           Pendidikan Indonesia bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang (1) beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang maha Esa, (2) berakhlak mulia, (3) sehat, (4) berilmu, (5) cakap, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) menjadi warga negara yang demokratis, dan (9) bertanggung jawab (UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). (Nisak. 2018: 402). Untuk mencapai tujuan nasional tersebut semua stake holder sekolah/kampus harus bersiap diri dengan mengantisipasi hal hal yang tidak diinginkan dari pengaruh komunikasi global terhadap pola pikir dan perilaku siswa, salah satu caranya adalah menanamkan karakter/pembiasaan budaya disiplin terhadap para peserta didik untuk melaksanakan tata tertib sekolahnya. Upaya ini perlu dilakukan secara terus menerus bagi siswa sekolah menengah pertama untuk meningkatkan karakter baiknya yang di peroleh di sekolah dasar dalam rangka membentuk warga negara yang berkarakter lebih baik dan competence lebih tinggi dan tangguh kemampuannya untuk berpartisipasi dalam pergaulan dunia yang tetap mengutamakan kemaslahatan bangsa.

           Poses pembelajaran di perguruan tinggi tidak sebatas memberikan mata kuliah, materi maupun konsep-konsep penting, namun juga harus memberikan pengalaman belajar (Hamzah, 2014:55),  Hal ini sesuai dengan pernyataan peter G Northouse yang menyatakan bahwa: “Keterampilan dan pengetahuan pemimpin dibentuk oleh pengalaman kariernya ketika mereka menghadapi masalah yang semakin kompleks di dalam organisasi. Ide tentang mengembangkan keterampilan kepemimpinan ini unik dan cukup berbeda dari perspektif kepemimpinan yang lain”.(Peter G. 2013:54). Kemudian Mumford, dan koleganya menyatakan bahwa “Pemimpin dibentuk dan dikembangkan kemampuannya oleh pengalaman mereka, maka dapat dikatakan pemimpin tidak dilahirkan untuk menjadi pemimpin.

           Belajar merupakan suatu proses dimana suatu organisasi berubah prilakunya sebagai akibat pengalaman (Dahar, 2002 dalam (Anggreni, 2017: 187). Manusia sebagai makhluk yang berpikir, dituntut untuk terus belajar baik melalui lembaga formal maupun non formal. Manusia juga dapat melakukan proses belajar melalui pengalaman yang pernah dialami. Tujuan belajar bukan hanya berorientasi pada penguasaan materi saja, akan tetapi orientasi yang sesungguhnya yaitu memberikan pengalaman jangka panjang sehingga diharapkan hasil pembelajaran menjadi lebih bermanfaat bagi siswa. Guru sangat berperan penting dalam menentukan kuantitas dan kualitas pengajaran yang dilakukannya. Sehingga guru harus mampu membuat suatu perencanaan pembelajaran guna meningkatkan kemampuan siswa serta memperbaiki kualitas pengajarannya yaitu dengan penggunaan teori pembelajaran yang tepat. Karena teori pembelajaran mengungkapkan hubungan antara kegiatan pembelajaran dengan proses-proses psikologis dalam diri siswa. Salah satunya yaitu teori pembelajaran humanistik dimana proses belajar harus berhulu dan bermuara pada manusia. Tujuan dari teori ini adalah untuk memanusiakan manusia (mencapai aktualisasi diri). Teori humanistik sangat mementingkan isi yang dipelajari daripada proses belajar itu sendiri. Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan. Alternatif model pembelajaran yang dapat digunakan dari teori pembelajaran humanistik ini adalah dengan menggunakan model experiential learning yaitu pembelajaran dengan menempatkan sesuatu dalam suatu konteks pengalaman. Karena model pembelajaran ini lebih dekat dan relevan dengan kehidupan nyata semua siswa dengan tujuan mempersiapkan siswa untuk memiliki suatu kemampuan dan kesadaran untuk menyelidiki, menganalisis, memahami dan menerapkan konsep-konsep/prinsipprinsip pada situasi nyata. Sehingga penulis tertarik untuk membahas teori pembelajaran humanistik dengan model pembelajaran experiential learning di dalam penulisan jurnal ini.

           Model pembelajaran berbasis pengalaman, yaitu Experiential Learning (EL) Model Kolb, disimpulkan bahwa pusat penggerak dari proses belajar adalah pengalaman belajar, kualitas dan kuantitas belajar jelas-jelas dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas interaksi antara pembelajar dengan lingkungannya dan potensi pendidikan dalam lingkungan tersebut. Seni mengajar secara esensial adalah manajemen kedua variabel kunci dalam proses belajar lingkungan dan interaksi yang sama-sama diposisikan sebagai unit dasar belajar, yakni learning experience (pengalaman belajar). Oleh karena itu, fungsi kritis seorang pendidik adalah untuk mengkreasikan lingkungan yang kaya yang dapat diekstrak menjadi sumber belajar oleh para pembelajar, (Rosidin: 2014: 4).

           Tulisan ini menyoroti elemen pembelajaran sebagai sasaran perbaikan kader kepemimpinan yang mendesak untuk dilakukan. Agar pembelajaran yang diselenggarakan di Lembaga Perguruan Tinggi Islam berkelas internasional. Sering dengan Jurusan Manajemen Pendidikan Islam (MPI) Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Gunung Djati sedang di program untuk dijadikan Kelas Internasional, maka penting untuk menyajikan pembelajaran yang direlevansikan dengan tantangan-tantangan kontemporer, sehingga pembelajaran bersifat “in-context”, bukan “out-context” Atas dasar itulah maka pembelajaran perlu menggunakan model inovatif yaitu model pembelajaran yang mampu menempatkan siswa sebagai subjek belajar, peristiwa dan masalah sebagai sumber belajar, sedangkan dosen bertindak sebagai director of learning, yaitu pihak yang mengkondisikan dan memotivasi siswa untuk belajar. Salah satu model yang mampu mengembangkan hal-hal tersebut adalah Model Pembelajaran Berbasis Pengalaman (Experiential Learning). Berdasarkan konteks kajian diatas, penting sekali hal ini untuk dibahas. Atas pertimbangan inilah penulis menyajikan judul “Mengatasi krisis kepemimpinan Pendidikan melalui Experiential Learning (Pembelajaran berbasis pengalaman).

           Dengan harapan agar mahsiswa: Mampu melibatkan diri sepenuhnya, terbuka, dan tanpa bias dalam pengalaman baru. mampu merenungkan dan mengamati pengalaman dari banyak perspektif. mampu menciptakan konsep yang mengintegrasikan pengamatan mereka ke dalam teori yang logis. mampu menggunakan teori-teori ini untuk membuat keputusan dan memecahkan masalah. Diyakini keterampilan dan pengetahuan kepemimpinan dibentuk oleh kemampuan kognitif-umum dan konkrit, motivasi, kepribadian. Semuanya difalisilitas dalam Experiential Learning (EL) Model Kolb.

MENGUNTAI MAKNA: KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN

1. Mana Kepemimpinan

          Kepemimpinan merupakan sejumlah aksi atau proses seseorang atau lebih dalam menggunakan pengaruh, wewenang, dan kekuasaannya terhadap orang lain, yaitu seluruh komponen dalam lembaga pendidikan yang dipimpinnya untuk menggerakkan sistem sosial gunamencapai tujuan sistem sosial yang baik dalam lembaga pendidikantersebut (Yudiaatmaja. 2013:30).

           Seorang pemimpin sangat mempengaruhi terhadap arah dan gerak dari lembaga pendidikan Islam secara totalitas. Tanpa adanya pengaruh dari seorang pemimpin, tidak akan berarti apa-apa. Pemimpin pendidikan Islam yang memiliki kemampuan mempengaruhi seluruh elemen yang ada di lembaganya akan lebih mudah mengarahkan mereka ke arah tujuan yang ingin dicapai. Hal ini sebagaimana yang di kemukakan oleh Kompri bahwa:

Seorang pemimpin yang menginginkan keberhasilan dalam lembaga atau organisasi yang di pimpinnya harus banyak memiliki suatu kelebihan yang dapat diteladani oleh para bawahannya. Pemimpin yang baik memahami bahwa keteladanan merupakan alat bantu yang ampuh dan efektif dalam menjalankan roda kepemimpinannya, keteladanan yang diberikannya berdaya pengaruh jauh lebih hebat dibandingkan bila ia hanya mengkhotbahkannya (Kompri, 2013:60).

          Seorang pemimpin mempunyai tanggung jawab yang berat, mengingat perannya yang sangat besar, membutuhkan kewibawaan dan kepandaian dalam membuat langkah-langkah baru sebagai jawaban dari kebutuhan masyarakat. Sebagaimana Bahrudin dan Umiarso mengemukakan bahwa:

Kesadaran akan pentingnya mencari format baru paradigma pendidikan Islam semakin mewarnai wacana kehidupan intelektual kaum muslim. Keterimpitan pendidikan Islam sebagai pendidikan yang terintegrasi dalam pendidikan nasional, diperparah oleh kondisi pendidikan nasional yang tingkat mutu pendidikannnya tergolong sangat rendah. Sehingga, peran untuk meningkatkan mutu pendidikan Islam yang disertai dengan perubahan organisasi pendidikan konvensional menjadi organisasi pendidikan Islam pembelajar terletak dalam diri pemimpin. Artinya, faktor kepemimpinan merupakan fakta yang paling esensial dalam mengubah tatanan paradigma di lembaga pendidikan Islam saat ini. (Baharudin dan Umiarso, 2012:285).

        Berkenaan dengan kepemimpinan ini, Dirawat dan kawankawannya, mengemukakan (dalam Aldo Redho Syam, 2017: 52), bahwa: “Kepemimpinan adalah merupakan suatu kemampuan dan proses mempengaruhi, mengkoordinir, dan mengendalikan orang lain yang ada hubungannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan serta agar kegiatan yang dilaksanakan lebih efesien dan efektif dalam pencapaian tujuan-tujuan pendidikan dan pengajaran”. Selanjurnya “seorang pemimpin bertanggungjawab untuk menyusun (planning), mengorganisasikan (organizing), merealisasikan (Actualing), dan mengontrol (controlling) serta mengevaluasi (Evaluating) untuk mencapai outcome yang terbaik. Pemimpin bertanggung jawab untuk kesuksesan anggota dan program tanpa kegagalan” (WHO (2003:133),

          Seorang pemimpin mempunyai kedudukan yang sangat urgent dalam mempengaruhi perkembangan lembaga pendidikan Islam, sehingga pemimpin lembaga pendidikan Islam dalam proses manajemen peningkatan mutu pendidikan Islam, menurut Rohman, (2017:2002), harus memiliki 5 prinsip peningkatan mutu, yaitu: (1) Peningkatan mutu dilaksanakan di lembaga pendidikan Islam, (2) Peningkatan mutu dilaksanakan dengan adanya kepemimpinan yang baik, (3). Peningkatan mutu didasarkan pada data dan fakta baik bersifat kualitatif maupun kuantitatif, (4). Peningkatan mutu melibatkan semua unsur yang ada dilembaga pendidikan Islam, dan (5). Pendidikan mutu memiliki tujuan bahwa lembaga pendidikan Islam dapat memberikan kepuasan kepada peserta didik, orang tua dan masyarakat.

         Dalam pandangan manajemen pendidikan, kualitas pendidikan di sekolah banyak dipengaruhi oleh kepemimpinan kepala sekolah yang bertanggung jawab dalam menjalankan fungsi dan peran kepemimpinannya secara professional. Kepala sekolah dalam menjalankan kepemimpinan pendidikan, perlu melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan seperti yang dikatakan oleh Sallis (1993) dalam (Rohman, 2017:204), bahwa usaha-usaha itu diantaranya adalah sebagai berikut: (1) Melibatkan guru-guru dan semua staf dalam aktifitas penyelesaian masalah dengan menggunakan metode ilmiah (scientific) dan prinsip proses pengawasan mutu dengan statistik. (2) Mintalah pendapat dan aspirasi mereka tentang sesuatu dan bagaimana sebuah proyek ditangani, karena itu jangan menggurui mereka. (2) Pahamilah bahwa keinginan untuk perbaikan yang berarti bagi guru-guru tidak cocok dengan pendekatan atas bawah (top-down) terhadap manajemen. (3) Pelaksanaan yang sistematik dan komunikasi yang terus menerus dengan melibatkan setiap orang di sekolah.(4) Bangunlah keterampilan-keterampilan dalam mengatasi konflik penyelesaian masalah dan negosiasi. (5) Berikanlah pendidikan dalam konsep mutu dan pelajaran seperti membangun tim kerja, proses manajemen, pelanggan, komunikasi dan kepemimpinan; serta (6) Berikanlah otonomi dan keberanian mengambil resiko dari para guru atau staf.

           Upaya untuk menilai sukses atau gagalnya pemimpin itu antara lain dilakukan dengan mengamati dan mencatat sifat-sifat dan kualitas mutu kepemimpinan, Menurut Sitohang, (2007: 132), yang dapat dipakai sebagai kriteria untuk menilai kinerjanya di lembaga yang dipimpinnya, diantaranya: (1) Penuh energik dan sanggup bekerja dalam waktu yang panjang, (2). empunyai stabilitas emosi, (3). Memiliki pengetahuan tentang hubungan antarmanusia, (4). Motivasi pribadi yang tinggi, (5). Mahir komunikasi dengan berbagai bahasa, (6). Cakap dan terampil mengajar dan mendidik, (7). Kecakapan sosial, (8). Objektif, dan (9). Kecakapan teknis atau kecakapan manajerial.

2.  Keterampilan Managerial dalam Kepimpinan

          Keterampilan Managerial merupakan salah satu kompetensi yang semestinya dimiliki oleh seorang Pemimpin adalah: (a) Pemimpin bekerja dengan orang lain (dengan atasan, staf, teman sekerja atau atasan lain dalam organisasi). (b) Pemimpin adalah tanggung jawab dan memper­tanggung jawabkan (akuntabilitas). Yaitu menyusun (planning), mengorganisasikan (organizing), merealisasikan (Actualing), dan mengontrol (controlling) serta mengevaluasi (Evaluating). (c) Pemimpin menyeimbangkan pencapaian tujuan dan prioritas. (d) Pemimpin harus berpikir secara analitis dan konseptual. (e) Pemimpin adalah seorang mediator (penengah). (f) Pemimpin adalah politisi dan diplomat (dapat mewakili tim atau organisasinya). ”(WHO (2003:134).

        Selain mampu menjalankan tugasnya, pengurus harus mampu menjalankan fungsinya sebagai pengurus. Fungsi yang dimaksud adalah bagaimana pemimpin mampu menjadi instruktur, konsultan, partisipan, delegasi dan pengendali. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rivai (2009:34), yang menyatakan bahwa: lima fungsi pokok kepemimpinan, yaitu:

a. Fungsi Instruksi

        Fungsi ini bersifat komunikasi satu arah. Pemimpin seperti komunikator merupakan pihak yang menentukan apa, bagaimana, bilamana, dan di mana perintah itu dikerjakan agar keputusan dapat dilaksanakan secara

b. Fungsi konsultasi

        Fungsi ini bersifat komunikasi dua arah. Pada tahap pertama dalam usaha menetapkan keputusan, Konsultasi itu dimaksudkan untuk memperoleh masukan berupa umpan balik (feedback) untuk memperbaiki dan menyempurnakan keputusan-keputusan yang telah ditetapkan dan dilaksanakan.

b. Fungsi Partisipasi

        Dalam menjalankan fungsi ini pemimpin berusaha mengaktif­kan orang-orang yang dipimpinnya, baik dalam keikutsertaan mengambil keputusan maupun dalam melaksanakannya.

c. Fungsi delegasi

        Fungsi ini dilaksanakan dengan memberikan pelimpahan wewenang membuat/menetapkan keputu­san.

d. Fungsi pengendalian

        Fungsi pengendalian bermaksud bahwa kepemimpinan yang sukses/efektif mampu mengatur aktifitas anggotanya secara terarah dan dalam koordinasi yang efektif.

        Pernyataan ini dipertegas oleh Ali Muhammad Taufiq, yang menegaskan agar mampu melaksanakan tugasnya dengan baik dan sukses, seorang pemimpin harus memiliki beberapa sifat, diantaranya adalah:

(a) memiliki pengetahuan dan kemampuan yang cukup untuk mengendalikan organisasinya; (b) mempunyai keistimewaan yang ebih dibanding dengan orang lain; (c) memahami kebiasaan dan bahasa orang yang menjadi tanggung jawabnya; (d) mempunyai kharisma dan wibawa di hadapan manusia; (e) konsekuen dengan kebenaran dan tidak simpatik kepadanya. Kasih sayang adalah salah satu sifat Rasulullah SAW.; (f) menyukai suasana saling memaafkan antara pemimpin dan pengikutnya, serta membantu mereka agar segera terlepas dari kesalahan; (g) bermusyawarah dengan para pengikutnya serta mintalah pengalaman dan pendapat mereka; (h) menertibkan semua urusan dan membulatkan tekad untuk kemudian bertawakkal (menyerahkan urusan) kepada Allah; (i) membangun kesadaran akan adanya muraqqobah (pengawasan dari Allah) hingga terbina keterampilan ikhlas di mana pun, walaupun tidak ada yang mengawasinya kecuali Allah; (j) memberikan takaful ij tima’i santunan sosial kepada para anggota, sehingga tidak terjadi kesenjangan sosial yang menimbulkan rasa dengki dan perbedaan strata social yang merusak; (k) mempunyai power pengaruh yang dapat memerintah dan mencegah, karena seorang pemimpin harus melakukan control “pengawasan” atas pekerjaan anggota, meluruskan kekeliruan serta mengajak mereka untuk berbuat kebaikan dan mencegah kemungkaran; (l) tidak membuat kerusakan di muka bumi, serta tidak merusak ladang, keturunan dan lingkungan; dan (m) mau mendengar nasihat dan tidak sombong karena nasihat dari orang yang ikhlas jarang sekali kita peroleh. (Taufiq (2004:37)

           Sifat-sifat diatas memang tidak mudah untuk di terapkan dalam menjalankan organisasi, akan tetapi dengan berusaha secara maksimal maka secara bertahap akan dapat dilaksanakan.

3.  Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas Kepemimpinan

         Ada beberapa faktor yang memengaruhi efektivitas pemimpin  sebagai Joseph Reitz (1981) dalam (Nanang Fattah (2006:51), meliputi:

a. Kepribadian

        Kepribadian, pengalaman masa lalu dan harapan pimpinan. Hal ini mencakup nilai, latar belakang dan pengalamannya yang mempengaruhi gaya kepemimpinannya.

b. Harapan dan perilaku atasan

        Harapan dan perilaku atasan yang secara jelas memakai gaya yang berorientasi pada tugas, maka manajer cenderung untuk melakukan itu. Karakteristik harapan dan perilaku bawaha; Sebagai contoh, karyawan yang mempunyai kemampuan tinggi biasanya akan kurang memerlukan pendekatan yang direktif dari pemimpin.

c. Kebutuhan tugas

        Setiap tugas bawahan juga akan mempengaruhi gaya kepemimpinan. Sebagai contoh, bawahan yang bekerja pada pengolahan data (litbang) menyukai pengarahan yang lebih berorientasi kepada tugas.

d. Iklim dan kebijakan organisasi

        Iklim dan kebijakan organisasi; Hal ini mempengaruhi harapan dan perilaku bawahan. Sebagai contoh, kebijakan dalam pemberian penghargaan, imbalan dengan skala gaji yang ditunjang dengan insentif lain (dana pensiun, bonus, cuti) akan mempengaruhi motivasi kerja bawahan.

e. Harapan dan perilaku rekan

        Sikap mereka ada yang merusak reputasi, tidak mau kooperatif, berlomba memperebutkan sumber daya sehingga mempengaruhi perilaku rekan-rekannya.

        Senada dengan itu, Mumford, (200:12), yang menjelaskan bahwa: ”Kecakapan kepemimpinan dapat dikembangkan dari tahun ke tahun melalui pendidikan dan pengalaman. Apabila seseorang mampu belajar dari pengalaman maka mereka akan mendapatkan kepemimpinan yang efektif”. Dengan demikian pengalaman melaksanakan kegiatan dengan berbagai permasalahnnya adalah hal yang sangat bermanfaat demi mewujudkan kepemim­pinan yang terampil.

         Selain kecakapan, Peter G. Northouse (2013: 51), menjelaskan bahwa terdapat tiga kompetensi yang  menjadi faktor penting untuk kinerja yang efektif yaitu: (a) keterampilan Pemecahan Masalah adalah kemampuan kreatif pemimpin untuk memecahkan masalah organisasi yang baru, tidak biasa dan tidak terdefinisi dengan baik; (b)keterampilan Penilaian Kondisi Sosial adalah keterampilan orang penting untuk memecahkan masalah organisasi dan memahami orangorang dan system sosial; dan (c) Pengetahuan adalahakumulasi informasi dan struktur pemikiran yang digunakan untuk mengelola informasi. Pengetahuan sangat berdampak bagi pemimpin dalam hal penentuan strategi pemecahan masalah yang komplek untuk mendapatkan solusi yang tepat.

4.   Pengembangan Keterampilan dan Pengetahuan Pemimpin

        Pengembangan ketempilan kepemimppinan sebagaimana Peter G Northouse (2013: 54),  yang menyatakan bahwa: “Keterampilan dan pengetahuan pemimpin bisa dibentuk oleh pengalaman kariernya ketika mereka menghadapi masalah yang semakin kompleks di dalam organisasi. Ide tentang mengembangkan keterampilan kepemimpinan ini unik dan cukup berbeda dari perspektif kepemimpinan yang lain”. Kemudian Mumford, dan koleganya menyatakan bahwa“ Pemimpin dibentuk dan dikembangkan kemampuannya oleh pengalaman mereka, maka dapat dikatakan pemimpin tidak dilahirkan untuk menjadi pemimpin. (Mumford, 200:15).

          Dalam hal pembudayaan tertib akademik, budaya sekolah dan ahlak mulia, dengan pernyataan Con elly (dalam, Mumford, 200: 22) yang menyatakan bahwa: ”Terdapat empat elemen individual yang memberi dampak pada keterampilan dan pengetahuan kepemimpinan diantara­nya: (a) kemampuan kognitif umum; (b) kemampuan kognitif konkrit, (c) motivasi, (d) kepribadian”. Dengan bimbingan dalam hal tertib akademik, budaya sekolah dan ahlak mulia pengurus termotivasi untuk menjadi yang terbaik, karena akan berdampak pada keterampilan dan pengetahuan kepemim­pinan, secara ahlak mereka menjadi uswatun hasanah bagi anggotanya.

           Intinya, keterampilan dan pengetahuan kepemimpinan dapat dibentuk melalui kemampuan kognitif umum dan kognitif konkrit, motivasi serta kepribadian.

PEMBELAJARAN BERBASIS PENGALAMAN: MENDUKUNG PENGEMBANGAN KETERAMPILAN DAN PENGETAHUAN PEMIMPIN

1.  Model Pembelajaran Berbasis Pengalaman

           Begitu banyak istilah yang digunakan untuk menyebut proses pembelajaran berbasis pengalaman. John Dewey (1915) menyebut “learning by doing” (belajar dengan berbuat”; Wolfe dan Byrne (1975) memakai istilah “experienced-based learning” (pembelajaran berbasis pengalaman); Gentry dalam Salma (2007:16), mengartikan “desain adalah suatu proses yang merumuskan dan menentukan tujuan pembelajaran, strategi, teknik, dan media agar tujuan umum tercapai”. Hamdani dalam bukunya yang berjudul Strategi Belajar Mengajar (2011: 172) mengartikan “desain pembelajaran adalah keseluruhan proses analisis kebutuhan dan tujuan belajar serta pengembangan teknik mengajar dan materi pengajaran untuk memenuhi kebutuhan tersebut”. Sementara itu pendapat lain dikemukakan oleh Kruse, Kevin, & Mose dalam Gafur (2012: 2) “desain pembelajaran merupakan praktik pembuatan alat dan isi atau materi pembelajaran agar proses belajar berlangsung seefektif mungkin.”

           David Kolb (1984) menggunakan istilah “Experiential Learning” (selanjutnya disingkat EL) yang bermakna pembelajaran melalui penalaran terhadap pengalaman. David Kolb (1984) dalam  merupakan tokoh dalam peningkatan praktik EL. Dia mendefinisikan belajar sebagai “The process whereby knowledge is created through transformation of experience” atau sebuah proses di mana pengetahuan dikreasikan melalui transformasi pengalaman. Bagi Kolb, belajar bukan sekedar penerimaan atau transmisi materi pelajaran, melainkan interaksi antara materi pelajaran dengan pengalaman yang saling mentransformasi satu sama lain. (David Kolb: dalam (Knowles, 1998: 146).

2.  Indikator dan Tujuan Gaya Belajar David Kolb

       Gaya adalah sikap gerak gerik atau lagak yang menadai cirri seseorang. (Kamisa (1978), dalam (Feska Ajefri, 2017:112). Berdasarkan pengertian tersebut maka gaya kepemimpinan adalah sikap, gerak gerik atau lagak yang dipilih oleh seseorang pemimpin dalam menjalankan tugas kepemimpinanya. David Kolb dalam (Liliweri, 2011: 327), megelompokan pokkan gaya belajar ke dalam empat macam kecenderungan utama yaitu diverger, konverger, assimilator dan accomodator. Berikut karakteristik yang dimiliki oleh masing-masing gaya belajar David Kolb, yaitu:

  • Concrete Experience; yaitu mampu melibatkan diri sepenuhnya, terbuka, dan tanpa bias dalam pengalaman baru.
  • Reflective Observation; yaitu mampu merenungkan dan mengamati pengalaman dari banyak perspektif.
  • Abstract Conceptualization; yaitu mampu menciptakan konsep yang mengintegrasikan pengamatan mereka ke dalam teori yang logis.
  • Active Experimentation; yaitu mampu menggunakan teori-teori ini untuk membuat keputusan dan memecahkan masalah.

           Sugiyanto (2013:50), menggambarkan ciri-ciri atau karakteristik dari keempat elemen belajar David Kolb, yaitu:

a. Pengalaman konkrit

        Belajar dengan perasaan serta menekankan pada segi-segi pengalaman konkrit, mementingkan hubungannya dengan sesama, peka terhadap perasaan orang lain, suka dengan pengalaman baru, berpikiran terbuka, mudah beradaptasi terhadap perubahan proses belajar, intuitif dan melibatkan diri secara aktif dalam pembelajaran.

b. Observasi reflektif

      Belajar dengan mengamati, menyimak dari berbagai sudut pandang, memperhatikan/mengamati sesuatu secara objektif, unggul dalam mendengarkan dan memperhatikan, menyadari adanya perubahan, kurang keyakinan atau ragu-ragu dan membutuhkan waktu untuk berpikir.

c. Konseptualisasi abstrak

        Belajar dengan memikirkan, fokus pada analisis logis dari ide-ide, menyusun dan membuat rencana secara sistematik dan logis dalam membentuk konsep, idea tau

d. Eksperimentasi aktif

        Belajar dengan bertindak, cenderung kuat dalam segi kemampuan melaksanakan tugas, berani mengambil resiko, mempengaruhi orang lain melalui perbuatannya, suka mencoba melakukan sesuatu.

           Keempat indikator gaya belajar menurut David Kolb tampak pada pada tabel berikut:

Tabel 1: Indikator Gaya Belajar David Kolb

Sumber: diadaftasi ddri Sugiyanto (2013), dikembangkan Penulis

3.  Tahapan Gaya belajar Klob

         Suyono & Hariyanto (2012:155) menyatakan bahwa gaya belajar David Kolb berlandaskan teori belajar pengalaman (Experiential Learning). Menurut Agus yang dikutip oleh Hariri & Yayuk (2018:4), mengungkapkan bahwa ada empat tahapan dalam Experiential Learning yaitu:

a. Concrete experience (pengalaman konkrit)

         Dalam pembelajaran diberikan rangsangan/stimulus agar dapat mendorong untuk melakukan suatu tindakan tertentu. Tindakan tersebut berasal dari pengalaman sebelumnya dan dapat diakukan secara kelompok atau pribadi.

b.   Reflective observation (observasi reflektif)

         Tahap ini pembelajaran dilakukan dengan mengamati dan merefleksikan pengalaman, sehingga akan menghasilkan sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan sebuah pembelajaran.

c.  Abstract conseptualisation (konseptualisasi abstrak)

         Tahap ini yaitu pembentukan konsep, mulai mengonseptualisasi suatu teori dari pengalaman dan mengintegrasikannya dengan pengalaman sebelumnya.

d.  Active experimental (percobaan aktif)

         Tahap ini yaitu melakukan percobaan terhadap hasil kesimpulan yang telah deperoleh sebelumnya yang dijadikan sebagai pembelajaran.

          Keempat tahapan Gaya belajar David Kolb yang mengidentifikasi hubungan antara gaya belajar dan lima tipe perilaku yaitu sebagai berikut:

Tabel 2: Indikator Gaya Belajar David Kolb

Sumber: Hariri & Yayuk (2018:4)

 

RELELEVANSI GAYA BELAJAR MODEL KOLB: MENDUKUNG PENGEMBANGAN KETERAMPILAN DAN PENGETAHUAN PEMIMPIN

         Gaya adalah sikap gerak gerik atau lagak yang menadai cirri seseorang. (Kamisa (1978), dalam (Feska Ajefri, 2017:112). Gaya belajar model Kolb melibatkan pengalaman baru siswa, mengembangkan observasi/merefleksi, menciptakan konsep, dan menggunakan teori untuk memecahkan masalah. Relevan dengan pengertian tersebut maka gaya kepemimpinan adalah sikap, gerak gerik atau lagak yang dipilih oleh seseorang pemimpin dalam menjalankan tugas kepemimpinanya.

         Berbagai teori tentang gaya kepemimpinan, mereka sepakat, bahwa kepemimpinan merupakan tulang punggung pengembangan organisasi karena tanpa kepemimpinan yang baik akan sulit mencapai tujuan organisasi. Jika seorang pemimpin berusaha untuk mempengaruhi perilaku orang lain, maka orang tersebut perlu memikirkan gaya kepemimpinannya.

         Model gaya belajar Kolb didasarkan atas psikologi Jung yang memiliki empat fase dalam belajar.(Nasution, 2006:111). Hasil penelitian ini juga bahwa pada setiap individu memiliki kecenderungan dalam belajar dan memenuhi model dasar belajar yang dijelaskan dalam learning cycle atau lingkaran pembelajaran. Ada 4 (empat) kuadran kecenderungan seseorang dalam proses belajar, yaitu:

1.  Kuadran Perasaan/Pengalaman Konkret.

         Dalam proses belajar, individu cenderung lebih terbuka dan mampu beradaptasi terhadap perubahan yang dihadapinya. Individu belajar melalui perasaan (feeling), dengan menekankan segi-segi pengalaman konkret, lebih mementingkan relasi dengan sesama dan sensitifitas terhadap permasalahan yang lain. Dalam proses belajar, individu cenderung lebih terbuka dan mampu beradaptasi terhadap perubahan yang dihadapinya. Adapun ciri-ciri individu yang berada pada kuadran ini yaitu:

  • Suka dengan hal-hal atau pengalaman-pengalaman baru dan ingin segera mengalaminya.
  • Prinsip yang diyakini adalah “menikmati apa yang ada pada saat ini dan di sini”
  • Tidak takut untuk mencoba
  • Suka berkumpul dengan orang lain
  • Berusaha keras memecahkan permasalahan yang dihadapi dengan bertukar pikiran dengan teman-teman atau kumpulannya;
  • Tetapi akan merasa bosan jika permasalahan tersebut membutuhkan waktu yang lama. (Ghufron dan Rini, 2014: 93).

         Sifat-sifat Divergen (Merasakan dan Mengamati) dibutuhkan dalam kepemimpinan Pendidikan; diantaranya: (1)Kepala sekolah sebagai Manajer, analitis dan konvergen dibutukan (a) dalam mengambil keputusan dan memecahkan persoalan bagi pekerjanya; (b) Berpikir dan bertindak untuk jangka pendek; (c) Menerima dan mematuhi secara ketat struktur organisasi, kebijakanprosedur dan metodologi yang ada. (2)Kepala sekolah senagai Pemimpin, Intuitif dan devergen berfungsi (a) untuk memberi pengarahan dan kebebasan kepada para pengikut untuk mengambil keputusan dan memecahkan persoalan mereka sendiri secara bertanggung jawab. (b) menekankan hal-hal yang kurang konkret, seperti visi, wawasan, tata nilai dan motivasi; (c) Berpikir dan bertindak dalam jangka panjang; dan (d) untuk selalu mencari cara-cara yang lebih baik. (Bas dan Aviolo 1994, dalam (Feska Ajefri, 2017: 105).

2.  Kuadran Pengamatan/Reflkesi

         Pengamatan dan berpikiran apa yang dilakukan saat ini harus minimal sama atau lebih baik dari apa yang dilakukan sebelumnya. Individu belajar melalui pengamatan (watching), penekanannya mengamati sebelum menilai, menyimak suatu perkara dari berbagai persp ektif, dan selalu menyimak makna dari hal -hal yang diamati. Dalam proses belajar, individu akan menggunakan pikiran dan perasaannya untuk membentuk opini/pendapat. Adapun ciri-ciri individu yang berada pada kuadran ini yaitu:

  • Melihat masalah dari berbagai perspektif
  • Mengumpulkan sebanyak-banyaknya data yang berhubungan dengan permasalahan dari berbagai sumber;
  • Terkadang terlihat suka menunda-nunda menyelesaikan masalah;
  • Hati-hati sebelum membuat keputusan atau melakukan sebuah langkah;
  • Suka melihat atau mengamati perilaku orang lain;
  • Berfikir apa yang dilakukan saat ini harus minimal sama atau lebih dari apa yang dilakukan sebelumnya (Ghufron dan Rini, 2014: 94)

         Sifat-sifat Asimilasi (mengamati dan memikirkan), dibutuhkan dalam pktek kepemimpinan pendidikan, diantaranya:

a. Pemimpin berfungsi mengamati

        Mengamati dalam kontek ini cara paling mudah mengidentifikasi budaya organisasi, dengan mengamati bagaimana para anggota organisasi berperilaku dan kebiasaan yang mereka lakukan.  Menurut Sobirin, (2007:156). Ada dua elemen antara elemen idealistik dan elemen behavioral bukan elemen yang terpisah, yang pelu dimati, antara lain:

1) Elemen Idealistik

         Dikatakan idealistik karena elemen ini menjadi ideologi organisasi yang tidak mudah berubah walaupun disisi lain organisasi secara natural harus selalu berubah dan beradaptasi dengan lingkungannya. Elemen ini bersifat terselubung (elusive), tidak tampak ke permukaan (hidden), dan hanya orang-orang tertentu saja yang tahu apa sesungguhnya ideologi mereka dan mengapa organisasi tersebut didirikan. Elemen idealistik melekat pada diri pemilik dalam bentuk doktrin, falsafah hidup, atau nilai-nilai individual para pendiri atau pemilik organisasi biasanya dinyatakan secara formal dalam bentuk pernyataan visi dan misi organisasi.

2) Elemen behavioral

         Behavioral adalah elemen yang kasat mata, muncul kepermukaan dalam bentuk perilaku sehari-hari para anggotanya dan bentuk-bentuk lain seperti desain dan arsitektur organisasi, elemen ini mudah diamati, dipahami, dan diinterpretasikan meskipun kadang tidak sama dengan interpretasi dengan orang yang terlibat langsung dalam organisasi.

b. Pemimpin berfungsi memikirkan

         Pemimpin berfungsi memikirkan dan merumuskan dengan teliti tujuan kelompok serta menjelaskannya supaya anggota dapat bekerja sama mencapai tujuan itu. (Indrafachrudi, 2006:3).  Kemudian hal itu dipertegas lagi oleh Ahmad Rohani dan Abu Ahmadi (dalam Anwar, 2004:85),  yang menyatakan bahwa fungsi kepemimpinan pedidikan dapat disarikan sebagai berikut:

(1) mengembangkan dan menyalurkan kebebasan berfikir mengeluarkan pendapat, baik secara perorangan maupun kelompok sebagai usaha mengumpulkan data atau bahan dan anggota kelompok atau organisasi atau lembaga dalam menetapkan keputusan yang mampu mempengaruhi aspirasi dalam kelompok/organisasi/lembaganya; (2) mengembangkan suasana kerjasama yang efektif dengan memberikan penghargaan dan pengakuan terhadap kemampuan orang-orang yang dipimpinnya sehingga timbul kepercayaan pada dirinya sendiri dan kesediaan menghargai orang lain sesuai dengan kemampuan masing-masing; (3) mengusahakan dan mendorong terjadinya pertemuan pendapat/buah pikiran dengan sikap harga menghargai sehingga timbul perasaan ikut terlibat di dalam kelompok/organisasi/lembaga dan timbul perasaan bertanggung jawab akan pekerjaan masing -masing sebagai bagian dan usaha pencapaian tujuan; dan (4) membantu menyelesaikan masa lah-masalah, baik yang dihadapi secara perseorangan maupun kelompok dengan memberikan petunjuk-petunjuk dalam mengatasinya sehingga berkembang kesediaan -kesediaan untuk memecahkanya dengna kemampuan sendiri. (Rohani dan Ahmadi (dalam Anwar, 2004:85).

3.  Kuadran pemikiran/ Konseptualisasi (thinking)/ konseptualisasi abstrak (abstract conceptualization)

       Abstrak dalam memecahkan sebuah masalah, individu akan bekerja secara vertical, runtut, sistematis, step by step. Akan berusaha mengasimilasikan fakta-fakta yang ada atau yang diketahui ke dalam pertalian teori. Orang lain melihat individu ini adalah orang yang perfeksionis, tidak bisa istirahat dengan tenang jika permasalahan yang dihadapinya belum dapat diselesaikan dengan baik dan dapat dimasukkan ke dalam skema rasional.

         Individu belajar melalui pemikiran (thinking) dan lebih terfokus pada analisis logis dari ide-ide, merencanakan secara sistematis, dan pemahaman intelektual dari situasi atau perkara yang dihadapi. Dalam proses belajar, individu akan mengandalkan perencanaan sistematis serta mengembangkan teori dan ide untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Adapun cirri-ciri individu yang berada pada kuadran ini yaitu:

  • Mengadaptasi dan mengintegrasi dari hasil amatannya ke dalam sebuah teori;
  • Dalam memecahkan sebuah masalah, individu akan bekerja secara vertikal, runtut, sistematis, step-by-step;
  • Akan berusaha mengasimilasikan fakta-fakta yang ada atau yang diketahui ke dalam pertalianteori;
  • Orang lain melihat individu ini adalah orang yang perfeksionis, tidak bisa istirahat dengan tenang jika permasalahan yang dihadapinya belum dapat diselesaikan dengan baik dan dapat dimasukkan ke dalam skema rasional;
  • Dalam berfikir kecenderungan objektif dengan pendekatan yang analitis;
  • Pendekatan terhadap masalah dengan logika; (Ghufron dan Rini, 2014: 95).

         Pemikiran/konseptualisasi dalam kepimpinan dibutuhkan; Kouzes dan Posner (2004), dalam (Munandar, 2017:146), menemukan bahwa jika para pemimpin dapat mengartikulasikan visi mereka bagi organisasi secara jelas, maka para pengikut akan mencatatkan tingkat reaksi positif yang jauh lebih tinggi dalam berbagai hal, diantaranya: kepuasan kerja, motivasi, komitmen, loyalitas, produktivitas organisasi.

         Teori Motivasi Herzberg dalam Robbins dan Judge (2008: 102), mempunyai dasar pemikiran bahwa pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya di pengaruhi oleh dua faktor utama yang merupakan kebutuhan, yaitu: faktor motivasi (motivation factor) dan faktor pemelihara  (maintenance/hygiene factor). Menurut Allen dan Meyer (1990), dalam (Munandar, 2017:146), komitmen organisasi dapat dikonseptualisasikan dan diukur dengan menguji tiga aspek komponen komitmen yang mengintegrasikan berbagai konseptualisasi yaitu: (1) komitmen organisasi afektif, mengacu pada keterikatan emosional dan keterlibatankaryawan dalam organisasi; (2) komitmen organisasi berkelanjutan berdasarkan biaya karyawan mengasosiasikan apabila meninggalkan organisasi; (3) komitmen organisasi normative mengacu pada perasaan kewajiban karyawan untuk tetap dengan organisasi.

4.  Kuadran Tindakan/Eksperimen Aktif

         Individu dalam kuadran ini sering mencoba-coba teori, ide dan teknis melakukan sesuatu, menyenangi hal-hal yang berhubungan dengan aplikasi, ingin cepat mendapatkam sesuatu dan segera melakukannya dengan kepercayaan diri yang tinggi. Sifat tindakan/Eksperimen aktif, diperlukan dalam kepemimpinan, Individu belajar melalui tindakan (doing), cenderung kuat dalam segi kemampuan melaksanakan tugas, berani mengambil resiko, dan mempengaruhi orang lain lewat perbuatannya. Dalam proses belajar, individu akan menghargai keberhasilannya dalam menyelesaikan pekerjaan, pengaruhnya pada orang lain dan prestasinya. Adapun ciri-ciri individu yang berada pada kuadran ini yaitu:

  • Sering untuk mencoba-coba teori, ide dan teknis melakukan sesuatu
  • Menyenangi hal-hal yang berhubungan dengan aplikasi
  • Ingin cepat mendapatkan sesuatu dan segera melakukannya dengan kepercayaan diri yang tinggi
  • Merespon sesuatu sebuah tantangan sebagai suatu kesempatan
  • Dalam menghafal, menyelesaikan sesuatu permasalahan dan memahami sesuatu lebih menyukai dengan praktik langsung, turun  ke lapangan, ataupun mencoba-coba.(Ghufron dan Rini, 2014: 96).

         Kajian dia atas menunjukan bahwa pada setiap individu memiliki kecenderungan dalam belajar dan memenuhi model dasar belajar yang dijelaskan dalam learning cycle atau lingkaran pembelajaran. Gaya belajar Klob memiliki kecenderungan; diverger, konverger, assimilator; dan accomodator. Berbagai kajian teori tentang gaya kepemimpinan, mengindisikan bahwa “kepemimpinan” merupakan tulang punggung pengembangan organisasi karena tanpa kepemimpinan yang baik akan sulit mencapai tujuan organisasi. Jika seorang pemimpin berusaha untuk mempengaruhi perilaku orang lain, maka orang tersebut perlu memikirkan gaya kepemimpinannya. Apabila hal itu, dijadikan sebuah model ”Mengatasi Krisis Kepemimpinan Pendidikan Melalui Experiential Learning tanpak pada gambagar berikut:

Gambar: 2

Model Mengatasi Krisis Kepemimpinan Pendidikan Melalui Experiential Learning

Sumber: dikembangkan oleh Penulis

PENUTUP

         Seseorang yang akan menjadi pemimpin merupakan perpaduan antara faktor keturunan, bakat dan lingkungan yaitu faktor pendidikan, latihan dan pengalaman-pengalaman yang memungkinkan bakat tersebut  dapat teraktualisasikan dengan baik. Kemudian bakat tersebut dikembangkan melalui  pendidikan, latihan, dan pengalaman-pengalaman yang memungkinkan untuk mengembangkan lebih lanjut bakat-bakat yang telah dimiliki.

         Pemimpin dibentuk dan dikembangkan kemampuannya oleh pengalaman mereka, maka dapat dikatakan pemimpin tidak dilahirkan untuk menjadi pemimpin. Seseorang akan menjadi pemimpin yang baik “manakala dilahirkan” telah memiliki bakat kepemimpinan.

         Model pembelajaran berbasis pengalaman, yaitu Experiential Learning (EL) Model Kolb, sebagai pusat penggerak dari proses belajar adalah pengalaman belajar, ualitas dan kuantitas belajar jelas-jelas dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas interaksi antara pembelajar dengan lingkungannya dan potensi pendidikan dalam lingkungan tersebut. Seni mengajar secara esensial adalah manajemen kedua variabel kunci dalam proses belajar lingkungan dan interaksi yang sama-sama diposisikan sebagai unit dasar belajar, yakni learning experience‟ (pengalaman belajar). Oleh karena itu, fungsi kritis seorang pemimpin dan Experiential Learning (EL) Model Kolb, adalah untuk mengkreasikan lingkungan yang kaya yang dapat diekstrak menjadi sumber belajar oleh para pembelajar.

         Layaknya sebuah model “Mengatasi Krisis Kepemimpinan Pendidikan Melalui Experiential Learning” namun penerapannya pembelajaran tetap perlu ditelusuri melalui kajian ilmiah mendapat penelitian secara memadai.

REFERENC

Achmad Sobirin. 2007. Budaya Organisasi Pengertian, Makna dan Aplikasinya. Dalam Kehidupan Organisasi. Yogyakarta  IBPP STIM.

Aldo Redho Syam. Konsep Kepemimpinan Bermutu dalam Pendidikan Islam. Jurnal At-Ta’dib. 12: 2, (December 2017), 49-69. Tersedia dalam: https://ejournal.unida. gontor. ac.id/index.php/tadib/index

Ali Muhammad Taufiq (2004), Praktik Man ajemen Berbasis Al-Qur’an, Gema Insani Jakarta .

Alo Liliweri, (2011). Komunikasi Serba Ada Serba Makna. Jakarta: Prenada Media. Group.

Anggreni. 2017. Experential Learning (Pembelajaran Berbasis Mengalami) Jurnal AT-THULAB: 1: 2, (Pebruari 2017), 186-199. Tersedia dalam https://journalfai.unisla.ac.id/index.php/at-thulab/article/viewFile/86/80

Arends, Richard I. (2007). Learning to Teach. New York: McGraw-Hill.

Baharudin dan Umiarso, (2012). Kepemimpinan Pendidikan Islam Antara Teori dan Praktik, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Citra Apriovilita Hariri, Erna Yayuk. (2018). Penerapan Model Experiential Learning untuk Meningkatkan Pemahaman Materi Cahaya dan Sifat-Sifatnya Siswa Kelas 5 SD. Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 8:1, (Januari 2018): 1-15. Tersedia dalam: http://eprints.umm.ac.id/42231/20/HaririYayuk-Experimental Learning Model Science Learning Comprehension.pdf

Fattah, Nanang. (2006). Landasan Mnajaemen Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya

Feska Ajefri, (2017). Efektifitas Kepemimpinan dalam Manajemen Berbasis Madrasah. Al-Idarah: Jurnal Kependidikan Islam. 7:. 2, (Desember 2017), 99-119. Tersedia dalam: http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/idaroh

Hamdani. (2011). Strategi Belajar Mengajar. Bandung : Pustaka Setia.

Hamzah, A. (2014). Evaluasi Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Knowles, Malcolm Shepherd. (1998) The Adult Learner: The Definite Classic in Adult Education and Human Resource Development. Houston: Gulf Publishing Company.

Kompri, (2015) Manajemen Sekolah (Orientasi Kemandirian Kepala Sekolah), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

Moch Idochi Anwar, 2004. Administrasi Pendidikan Dan Manajemen Biaya Pendidikan, Bandung: Alfabeta.

Nasution, (2006). Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar & Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara.

Northouse, Peter G. (2013_. Kepemimpinan: Teori dan Praktik. Jakarta: PT. Indeks.

Nur Rohman (2017) Peran Kepala Sekolah dalam Peningkatan Mutu Pendidikan Perspektif Manajemen Mutu Terpadu Studi Kasus di SDUT Bumi Kartini Jepara. Jurnal Tarbawi. 14:2. (Desember 2017), 200-2016. Tersedia dalam https://ejournal.unisnu.ac.id/ JPIT/ article/ viewFile/625/918

Nur. M. Ghufron dan Rini Risnawita, (2014), Gaya Belajar Kajian Teoretik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Prawiradilaga, Dewi Salma. 2007. Prinsip Disain Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Ridyana Yudiaatmaja. (2013) Kepemimpinan:Konsep, Teori dan Karakternya”Media Komunikasi FIS. 12: 2 (Agustus 2013),  30.

Robbins SP, &Judge, T, (2008), Perilaku Organisasi. Edke-12. Jakarta: Salemba Empat.

Rosidin. Optimalisasi Pembelajaran Berbasis Pengalaman (Experiential Learning)  Jurnal El-Qudwah .1: 1,  (April-2014), 1-17. Tersedia dalam http://ejournal.uin-malang.ac. id/index. php/lemlit/article/view/2710

Siti Choirotun Nisak. 2018. Pembentukan Keterampilan Leadership Skill Melalui Organisasi Siswa Intra Sekolah (Osis) Di Madrasah Tsanawiyah Nahdlatul ‘Ulama Mojosari‑Loceret-Nganjuk. Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman. 8:3 (November 2018), 399-412. Tersedia dalam DOI: https://doi.org/ 10.33367/intelektual.v8i3.732

Sitohang, A. 2007. Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Pradnya Paramita,.

Soekarno Indrafachrudi, (2006). Bagaimana Memimpin Sekolah Yang Efektif , Bogor: Ghalia Indonesia,

Sugiyanto. 2013. Model-Model Pembelajaran Inovatif. Surakarta: Yuma Pustaka.

Suherman, Munandar JM, Dirjosuparto S. (2017). Pengaruh Kepemimpinan dan Motivasi Kerja. JurnalManajemen dan Organisasi .8: 2, (Agustus 2017), 145-156. Tersedia dalam: journal.ipb.ac.id-index.php-jmo/article.

Suradi, (2017). Pembentukan Karakter Siswa melalui Penerapan Disiplin Tata Tertib Sekolah. BRILIANT: Jurnal Riset dan Konseptual. 2: 4, (November 2017), 522-533. tersedia dalam: http://dx.doi.org/ 10.28926/briliant.v2i4.104 .

Suyono & Hariyanto. (2012). Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset .

Tight, Malcolm (ed.). (1987). Adult Learning & Education. New Hampshire: The Open University.

Veithzal Rivai dan Arvivan Arifin (2009), Islamic Leadership (Membangun Super Leadership Melalui Kecerdasan Spiritual), Jakarta: Bumi Aksara

WHO (2003), Pelatihan Keterampilan Managerial, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *