Menggali Nilai Karakter

WEBINAR ZOOMETING MEMBETUK KARAKTER SISWA:

Dalam Pembelajaran Pada masa WFH Pandemi Covid-19

Permisi

ejak awal tahun 2020 Pandemi Covid-19 telah menjadi menjadi efek kejut bagi insan pendidikan. Dunia pendidikan melambat dan bahkan terhenti sejenak. Negara-negara besar dan modern terpukul dengan sebaran Virus Corona yang cepat, mengakibatkan ribuan korban meninggal yang tersebar di berbagai negara. Indonesia mendapatkan banyak tantangan dari Covid-19 ini, yang membuat kita semua harus bersama-sama saling menjaga. Kelima isu penting diatas akan menjadi penentu seberapa cepat kita akan mampu meratakan kurva kecemasan siswa/mahasiswa, guru/dosen, kepala sekolah/pimpinan PT, orang tua, dan kita semua. Di tengah pandemi Covid-19 ini, sistem pendidikan Indonesia harus siap melakukan lompatan untuk melakukan transformasi pembelajaran daring bagi semua siswa/mahasiswa dan oleh semua guru/dosen, dalam memasuki era baru untuk membangun kreatifitas, mengasah skill siswa/mahasiswa, dan peningkatan kualitas diri dengan perubahan sistem, cara pandang dan pola interaksi kita dengan teknologi.

           Disisi lain, masih ada kecenderungan bagi pihak lain untuk menggunakan webinar sebagai ruang kuliah online, meniru pengiriman satu-ke-banyak tradisional kelas fisik. Lebih jauh masih banyak pula yang meragukan. Hal ini wajar apa yang di ungkan Firasat Einstein, tentang kemajuan ilmiah tanpa nilai-nilai kemanusiaan akan muncul untuk memberikan kepercayaan pada refleksi lain-atau mungkin lebih merupakan ramalan – yang biasanya diutarakan sekitar seperti ini: “I fear the day that technology will surpass our human interaction. The world will have a generation of idiots.” (baca juga Efektivitas Menulis Assigment). Ini sangat disayangkan karena sebagian besar platform komunikasi berbasis web yang digunakan untuk webinar saat ini menawarkan berbagai alat dan opsi untuk interaksi dan pembangunan komunitas.

          Kuliah Daring memungkinkan siswa online dan kampus untuk bertemu dan berkolaborasi secara serempak dan dapat membantu menghilangkan batas-batas yang tajam antara kampus dan pembelajaran jarak jauh. Namun, lokakarya webinar hybrid menuntut persiapan yang matang dan harus memenuhi sejumlah persyaratan teknis. Sehingga semua peserta merasa termasuk dalam sesi ini. Namun didalamnya menuntut persiapan yang matang dan harus memenuhi sejumlah persyaratan teknis. Sehingga semua peserta merasa termasuk dalam sesi ini, menuntut eitka dan cara tersediri. Disinilah pentingnya pendidikan karakter.

         Pada umunya melaksanakan Pembelajararan Daring  memerlukan Pendidikan Karakter, melibatkan banyak orang dibatasi, salah satunya adalah kegiatan pendidikan. Tidak ada lagi kegiatan pembelajaran di sekolah dan kampus. Sekolah dan kampus yang biasanya ramai dengan pelajar dan mahasiswa/mahasiswa mendadak menjadi sepi. Format pembelajaran diubah menjadi daring (online) dengan belajar dari rumah. Tidak semua sekolah dan kampus siap dengan pembelajaran daring. Faktanya, pendidikan selama ini lebih banyak menggunakan mekanisme tatap muka di kelas daripada dengan daring. Lebih dari sekadar mekanisme pembelajaran daring, belajar dari rumah menuntut adanya pendidikan karakter. Survei yang dilakukan di Amerika, baik pendidik maupun publik meyakini bahwa pendidikan karakter menjadi aspek sekolah yang penting. Survei ini dilakukan pada 1973 oleh Spears, seorang anggota Phi Delta Kappa (sebuah komunitas terhormat di bidang pendidikan) mengenai tujuan-tujuan pendidikan yang menunjukkan pemeringkatan berikutnya terhadap tujuan-tujuan pada sekolah-sekolah umum, yaitu (1) mengembangkan keterampilan membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan; (2) mengembangkan kebanggaan dalam kerja dan merasa diri sangat berguna (selfworth); dan (3) mengembangkan karakter yang baik dan juga hormat pada diri sendiri (self-respect). (Huitt, dalam Isfhani. 2017).

         Pendidikan karakter mempunyai nilai-nilai tersendiri yang berusaha untuk ditawarkan kepada anak didik untuk bisa dikembangkan berdasarkan kepribadian dan keinginan luhurnya untuk bisa ditanamkan dalam dirinya dan bisa diterapkan dalam kehidupannya. Nilai-nilai tersebut antara lain adalah: nilai keutamaan, nilai keindahan, nilai kerja, nilai cinta tanah air, nilai demokrasi, nilai kesatuan, menghidupi nilai moral, dan nilai-nilai kemanusiaan. Dan nilai-nilai ini adalah nilai yang menjadi garis besarnya saja dari pendidikan karakter, karena masih banyak lagi nilai yang bisa dimasukkan ke dalam pendidikan karakter sesuai dengan lokalitas dan situasi kelembagaan pendidikan tempat individu tersebut belajar. (Koesoema, dalam  (Bambang dan Rusdiana, 2019) Adapun strategi yang bisa diterapkan untuk menerapkan pendidikan karakter di sekolah adalah melalui sikap-sikap yang diajukan oleh Furqon (a) keteladanan, (b) penanaman kedisiplinan, (c) pembiasaan, (d) menciptakan suasana yang kondusif; serta (e) integrasi dan internalisasi. Dengan deskripsi yang hampir sama, Doni Koesoema juga mengemukakan strategi penerapan pendidikan karakter di sekolah, yaitu (a) mengajarkan, (b) keteladanan, (c) menentukan prioritas, (d) praksis prioritas, dan (e) refleksi.

         Dari dua strategi yang diajukan dua pemikir pendidikan karakter ini, maka kita bisa menggabungkannya, yaitu (a) pengajaran, (b) kedisiplinan, (c) keteladanan, (d) pembiasaan, (e) menentukan prioritas, (f) menciptakan suasana kondusif, (g) refeksi, dan (h) integrasi dan internalisasi. Selanjutnya Paradigma pendidikan karakter ini sempat menjadi arus utama di masa Muhadjir Effendy mejabat sebagai Mendikbud (2014-2019). Sayangnya, paradigma pendidikan karakter kini telah tidak lagi menjadi arus utama dalam kebijakan kementerian yang mengurus pendidikan saat ini.

Pembentukan Karakter

         Karakter kita terbentuk dari kebiasaan kita. Kebiasaan kita saat anak-anak biasanya bertahan sampai masa remaja. Orang tua bisa mempengaruhi baik atau buruk, pembentukan kebiasaan anak-anak mereka.Unsur terpenting dalam pembentukan karakter adalah pikiran karena pikiran yang di dalamnya terdapat seluruh program yang terbentuk dari pengalaman hidupnya, merupakan pelopor segalanya. Program ini kemudian membentuk sistem kepercayaan yang akhirnya dapat membentuk pola berpikir yang bisa mempengaruhi perilakunya. Jika program yang tertanam tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran universal, maka perilakunya berjalan selaras dengan hukum alam. Hasilnya, perilaku tersebut membawa ketenangan dan kebahagiaan. Sebaliknya, jika program tersebut tidak sesuai dengan prinsip-prinsip universal, maka perilakunya membawa kerusakan dan menghasilkan penderitaan. Oleh karena itu pikiran harus mendapatkan perhatian serius. (Lickona, 2012).

         Karakter merupakan kualitas moral dan mental seseorang yang pembentukan-nya dipengaruhi oleh faktor bawaan (fitrah, nature) dan lingkungan (sosialisasi pendidikan, nurture). Potensi karakter yang baik dimiliki manusia sebelum dilahirkan, tetapi potensi-potensi tersebut harus dibina melalui sosialisasi dan pendidikan sejak usia dini.

         Tujuan pembentukan karakter pada dasarnya adalah mendorong lahirnya anak-anak yang baik dengan tumbuh dan berkembangnya karakter yang baik akan mendorong anak untuk tumbuh dengan kapasitas komitmen-nya untuk melakukan berbagai hal yang terbaik dan melakukan segalanya dengan benar serta memiliki tujuan hidup. Masyarakat juga berperan dalam membentuk karakter anak melalui orang tua dan lingkungan. Karakter tidak terbatas pada pengetahuan saja. Seseorang yang memiliki pengetahuan kebaikan belum tentu mampu bertindak sesuai dengan pengetahuannya, jika tidak terlatih (menjadi kebiasaan) untuk melakukan kebaikan tersebut. Karakter juga menjangkau wilayah emosi dan kebiasaan diri. Dengan demikian diperlukan tiga komponen karakter yang baik (components of good character), yaitu:

1. Pengetahuan tentang moral (moral knowing)

         Dimensi-dimensi dalam moral knowing yang akan mengisi ranah kognitif adalah kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral values), penentuan sudut pandang (perspective taking), logika moral (moral reasoning), dan pengenalan diri (self knowledge).

2. Perasaan/penguatan emosi (moral feeling)

         Moral feeling merupakan penguatan aspek emosi peserta didik untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan oleh peserta didik, yaitu kesadaran akan jati diri (conscience), percaya diri (self esteem), kepekaan terhadap derita orang lain (emphaty), cinta kebenaran (loving the good), pengendalian diri (self control), dan kerendahan hati (humility).

3. Perbuatan bermoral (moral action)

        Moral action merupakan perbuatan atau tindakan moral yang merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter, yaitu kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebiasaan (habit). (Lickona, 2012).

          Konsep pembentukan karakter menurut Stephen R. Covey (1997),  adalah dengan The 7 Habits of Highly Effective People (7 kebiasaan manusia yang sangat efektif), yaitu: be proactive (jadilah proakti f), begin with the end of the mind (merujuk pada tujuan akhir), put first things first (dahulukan yang utama), think win/win (berpikir menang/menang), seek first to understand, then to be understood (berusaha mengerti terlebih dahulu, baru dimengerti), synergize (wujudkan sinergi), dan sharpen the saw (asahlah gergaji).

Gambar: 1 Konsep pembentukan karakter

Stephen R. Covey (1997),

          Konsep pembentukan karakter menurut Stephen R. Covey adalah dengan The 7 Habits of Highly Effective People (7 kebiasaan manusia yang sangat efektif), yaitu: be proactive (jadilah proakti f), begin with the end of the mind (merujuk pada tujuan akhir), put first things first (dahulukan yang utama), think win/win (berpikir menang/menang), seek first to understand, then to be understood (berusaha mengerti terlebih dahulu, baru dimengerti), synergize (wujudkan sinergi), dan sharpen the saw (asahlah gergaji).

          Tulisan ini, mengjak, mahasiswa untuk menyajikan berbagai kegiatan, alat, dan metode untuk mendorong partisipasi mereka yang lebih besar dalam webinar dan khususnya melihat metode yang memungkinkan diskusi diperluas melampaui kerangka waktu terbatas. dari webinar sinkron yang sebenarnya. Pendekatan kelas terbalik dapat memungkinkan peserta untuk mempersiapkan webinar dan memungkinkan acara online untuk fokus pada diskusi yang lebih mendalam tentang masalah yang dihadapi. Webinar yang sukses juga dapat menjadi dasar dari komunitas praktik dan kami menyelidiki sejumlah alat dan metode yang dapat memfasilitasi mahasiswa membagun karakternya sendiri.

Belajar bersama secara online

          Platform komunikasi berbasis web seperti Adobe Connect, Blackboard Collaborate, Big Blue Button, Zoom dan WebEx memungkinkan grup yang didistribusikan secara global untuk berpartisipasi dalam berbagai jenis acara sinkron. Layanan seperti ini memungkinkan semua orang yang memiliki akses ke laptop, tablet atau perangkat seluler modern dan koneksi internet broadband yang stabil untuk berkomunikasi secara sinkron dengan suara, video, teks dan desktop bersama di kejauhan. Satu-satunya perangkat keras yang diperlukan adalah komputer dengan headset audio dan webcam.Ketika merancang acara pembelajaran, biasanya berencana untuk mengumpulkan peserta didik dalam satu ruang fisik umum, misalnya di ruang kelas atau ruang kuliah. Ini dijelaskan dalam istilah skala ekonomis; jelas lebih murah dalam hal pekerjaan, energi, dan sumber daya. Hari ini, ini belum tentu demikian. Dengan perkembangan dalam penelitian dan teori tentang belajar serta kemajuan dalam teknologi pembelajaran selama abad terakhir, argumen untuk pengajaran di kelas yang didasarkan hanya pada skala ekonomi tidak lagi berlaku.

          Fakta bahwa orang-orang masih berpartisipasi dalam konferensi, lokakarya, dan kursus di tempat meskipun mereka dapat mendengarkan puluhan kuliah online secara gratis, menunjukkan bahwa orang mencari lebih dari sekadar mendengarkan kuliah seseorang ketika mereka bepergian ke dan berpartisipasi dalam acara pembelajaran. Ini membawa kita pada pertanyaan: “Nilai apa yang diperoleh peserta ketika mereka mengambil bagian dalam acara pembelajaran di tempat?” Kita perlu bertanya pada diri sendiri jenis kegiatan belajar apa yang paling berharga ketika peserta didik dikumpulkan dalam satu ruang (fisik/virtual), pada saat yang sama. Apa keuntungan langsung dari pertemuan sinkron?Penelitian abad kedua puluh tentang pembelajaran telah menunjukkan antara lain bahwa belajar adalah tindakan yang sangat sosial (Bandura, 1971; Bransford, Brown, & Cocking, 2000; Sawyer, 2014), dalam (ACreelman&Hróbjartur Árnason (2017). Orang-orang sering merasakan pengalaman belajar sebagai hal yang berarti ketika mereka belajar dengan orang lain, baik menonton dan mendengarkan tindakan dan ide orang lain, dan dengan mencerminkan pembelajaran mereka sendiri dalam pengalaman orang lain. Sebagai contoh, sangat umum bagi orang untuk berpartisipasi dalam konferensi di mana sebagian besar konten yang disajikan sudah umum, tetapi diskusi dengan kolega tentang konten itu dan hubungannya dengan pekerjaan dan kehidupan mereka adalah alasan utama untuk hadir. Jika ini masalahnya, masuk akal untuk merancang acara pembelajaran sedemikian rupa sehingga mereka menawarkan kegiatan, yang hanya dapat dilakukan ketika orang-orang bersama dalam “kecepatan” yang sama pada saat yang sama.Hal ini memotivasi studi webinar interaktif, yang memungkinkan peserta yang didistribusikan secara geografis untuk berbagi ruang virtual bersama dan mencari tahu cara membuat pengalaman belajar yang bermakna di dalam ruang tersebut.

Berbagai jenis acara online

          Platform komunikasi berbasis internet telah digunakan untuk berbagai pertemuan, kursus, dan jenis kegiatan pembelajaran lainnya, yang dikenal sebagai webinar, konferensi web, dan siaran web. Tiga konsep yang saling terkait erat ini kadang-kadang digunakan secara bergantian dan kami tidak mengetahui adanya deskripsi definitif dari mereka. Pencarian web untuk definisi konsep-konsep ini mengarah ke situs Wikipedia dan Webopedia. Wikipedia menempatkan konsep webinar sebagai sub-konsep web-conferencing (Web Conferencing, 2017). Definisi media baru ini masih didefinisikan sebagai media dan alat berkembang. Kejelasan dari tiga konsep di atas, ditafsirkan secara terminologi sebagai berikut: (1) Web conferencing: adalah istilah umum, kadang-kadang mencakup baik webinar dan webcast tetapi umumnya mengacu pada pertemuan interaktif dengan sejumlah kecil peserta (umumnya kurang dari 20) yang dijalankan sangat mirip dengan pertemuan tatap muka dengan seorang ketua mengarahkan diskusi.(2) Webinar: acara pendidikan online langsung di mana pemirsa yang berpartisipasi dapat mengirimkan pertanyaan dan komentar (Webinar, 2017). Nama ini berasal dari seminar bentuk pendidikan, maka istilah webinar = web + [sem] inar. (3) Webcast: siaran konten secara sinkron ke sejumlah besar pemirsa, seperti transmisi televisi, dengan sedikit atau tanpa kesempatan untuk partisipasi pemirsa. (ACreelman&Árnason (2017).

          Dari tiga terminologi di atas, format webinar, dirancang untuk komunikasi banyak ke banyak, sangat sering digunakan untuk menawarkan buan hanya komunikasi satu arah (satu-ke-banyak), ketika rekaman tampaknya cocok dengan tujuan yang lebih baik. Sebagai layanan webinar mendapatkan lebih banyak daya tarik baik dalam bidang pendidikan dan perusahaan, ada kebutuhan mendesak untuk mengembangkan didaktik online; metode dan format yang sesuai dan dibangun berdasarkan apa yang diketahui tentang pembelajaran orang dewasa. Karena teknologi ini menawarkan banyak komunikasi, pengguna setidaknya dapat secara teori meningkatkan nilai yang diperoleh peserta didik untuk berpartisipasi dalam acara online. Selain itu, webinar tidak perlu hanya menjadi acara satu kali, itu bisa menjadi awal dari diskusi yang lebih panjang dan lebih dalam, itu dapat memacu penciptaan jaringan atau bahkan menjadi cikal bakal suatu proyek. Webinar dapat dirancang untuk memfasilitasi pembentukan komunitas praktik serta berfungsi sebagai tempat untuk operasi yang berkelanjutan. (Wenger, 2011;  Wenger, McDermott, & Snyder, 2002), dengan menciptakan pengalaman bersama, memungkinkan interaksi sosial dan peluang. bagi peserta untuk berbagi dan mendiskusikan pertanyaan dan ide.Sama seperti desainer kursus secara eksplisit menciptakan lingkungan belajar yang ramah dan mendukung di mana peserta didik akan merasa aman dan bebas untuk berpartisipasi, demikian juga desainer webinar merancang acara mereka untuk memungkinkan dan mempromosikan partisipasi dan interaksi. Webinar dapat dilihat sebagai kursus mikro yang berisi sejumlah fase dan fase krusialnya adalah sebelum sesi aktual dimulai. Pendekatan pedagogis seperti yang dipromosikan misalnya oleh Clay (2012), dan Salmon (2013), (berfokus pada menciptakan rasa kebersamaan dalam ruang pembelajaran online bisa sangat berharga ketika diterapkan pada webinar dan penyelenggara mendapat manfaat dari menyikapi setiap tahap dalam model mereka  membuat webinar pengalaman belajar yang asli.

Nilai-niliai Kareter dalam Webinar

          Alastair &Árnason, (2017), memandang sebuah webinar dapat dibagi menjadi lima fase diantaranya: akses dan motivasi, sosialisasi, pertukaran informasi, konstruksi pengetahuan, pengembangan. Dengan menggunakan berbagai metode dan alat, webinar yang benar-benar interaktif dapat dirancang dan tingkat partisipasi dan interaksi dapat ditingkatkan secara signifikan.

1.  Akses dan Motivasi:Mendorong Kolaborasi

  Akses internet adalah kemampuan individu dan organisasi untuk terhubung ke Internet menggunakan terminal komputer, komputer, dan perangkat lain; dan untuk mengakses layanan seperti email dan World Wide Web.(Brainly.2010.Akses internet adalah media yang digunakan para pengguan untuk koneksi ke internet. Terdapat dua metode akses internet yaitu akses internet menggunakan kabel (wired) dan tanpa kabel (wireless). Akses internet wired di antaranya, yaitu Dial-up, ISDN, DSL, Cable, Fiber Optic, Power-line internet. Akses internet dengan wireless di antaranya adalah Wi-Fi, WiBro, WiMAX, UMTS-TDD, HSDPA (High-Speed Downlink Packet Access ), satellite.Pelajar-mahasiswa memanfaatkan media online untuk “mengerjakan tugas akademik”, seperti menyusun paper dan penelitian. Motivasi ini mendorong semangat Gen Net secara formal pendidikan dalam kelas di sekolah dan kampus. Seiring dengan itu, sekolah sedang mengalami perubahan infrastruktur dan suprastruktur untuk menyesuaikan lingkungan teknologi media baru. (Watson & Pecchioni, 2011). memberikan penekanan pada teknik pembelajaran multimodal agar menjadi lebih luas. Namun, wacana sekitar pedagogis membutuhkan desain rumit karena teknologi pengajaran terus meningkat dan tuntutan kurikulum yang juga berkembang. Pada sisi lain, pendidik dihadapkan pada tantangan unik ketika bereksperimen dengan cara-cara terbaik untuk menghasilkan pengalaman kelas digital.Webinar, memerlukan kemampuan mengakses, untuk melihat apakah seseorang itu mampu atau tidak dalam berdiskusi, maka ada beberapaka kemampuan yang harus dimiliki. Kemampuan memberikan tanggapan dan Kemampuan beraktivitas Adapun yang dimaksud dengan kemampuan beraktivitas di sini adalah aktivitas memberikan pertanyaan, aktivitas memberikan jawaban, dan aktivitas memberikan pendapat  atau saran. Kesemuanya dituntut dengan syarat motivasi.(Pat Roessle, 2001) Motivasi diperlukan untuk memperoleh informasi dan pengetahuan merupakan alas an utama bagi para pelajar dan mahasiswa memanfaatkan media baru. Sesuai fungsinya, media baru harus memperkuat peranannya sebagai medium pembelajaran, baik di kelas, rumah, dan pergaulan dunia pendidikan remaja. Penelitian yang dilakukan Pew Research (Baumann, 2010), melaporkan bahwa cara millennials saling berbagi informasi berbeda dengan generasi manapun sebelumnya. Tetapi perbedaan besar itu termasuk perubahan budaya atau sebentuk produk yang masih muda dan naif. Remaja pada umumnya merasa “perlu menampilkan diri”, merasa diakui keberadaannya di antara teman sebayanya. Pew Research menemukan hal serupa dan memprediksi bahwa Gen Net akan terus memublikasikan informasi pribadi secara online, bahkan ketika mereka kelak beranjak dewasa hingga tua dan memiliki lebih banyak tanggung jawab.Motivasi menyangkut dimensi-dimensi kognitif dalam proses pembelajaran atau berbagi pengetahuan yang mencakup penyerapan dan retensi aspek deklaratif dan prosedural ilmu pengetahuan.

        Motivasi itu mencakup beberapa komponen, seperti upaya (effort), kecemasan (anxiety), dan rasa ingin tahu (curiosity) yang semuanya berada dalam tahapan (O’Neil & Drillings, 2012). Motivasi individu ditentukan oleh dua faktor, yakni, pertama, faktor individu yang bervariasi pada dua hal, yaitu perlakuan terhadap individu dan pernyataan individu. Kedua, faktor di luar diri berupa lingkungan yang mendukung terhadap perasaan individu tersebut dan faktor terbesar adalah orang lain selain individu bersangkutan. Faktor kelompok sebaya atau generasi dan adopsi media adalah faktor di luar diri individu anggota generasi yang sangat diperhitungkan.Remaja belia (teens) memiliki lingkungan virtual tak terpisahkan dan hal itu terkait dengan literasi informasi (dan tentu saja hiburan).

        Lingkungan virtual, menurut Behesti (2012), dapat memberikan kendaraan alternatif bagi literasi informasi dan kesenangan remaja karena orang-orang muda itu seolah-olah ditakdirkan untuk selalu bersama perangkat digital dan dapat menavigasi lingkungannya. Chun-Yao, Yung-Cheng, I-Ping & Chen-Shun (2007), mengambil sudut pandang lebih luas daripada sekadar “pencarian informasi” online dan mengusulkan istilah “perilaku informasi online” bagi semua jenis perilaku itu.Nilai yang diperoleh dari kegiatan ini, kolaborasi, atau kebersamaan. Hal ini terjadi ketika beberapa mahasiswa belajar untuk mengefektifkan kolaborasi dan meningkatkan pelayanan keterampilan. Kegiatan pendidikan dilakukan dengan menggunakan pendekatan pembelajaran interaktif antar profesional untuk mengembangkan praktik kolaboratif antar profesi pendidikan (Freeth, 2002). Selain itu, Interprofessional education merupakan langkah yang diperlukan dalam mempersiapkan tenaga kesehatan yang lebih baik dan siap untuk menghadapi masalah kesehatan. Keberhasilan interprofessional education tergantung pada interaksi staf dan mahasiswa dengan konsep pembelajaran interprofessional education dan dicampur sebagai pembelajaran yang dipilih dan proses (Barr, 2002).Menurut IPEC (2011), kompetensi utama dalam Interprofesional Collaborative Practice terdiri dari empat domain yaitu nilai/etik untuk praktik  interprofesional, peran dan tanggungjawab, komunikasi Inter-professional, team dan teamwork. Berikut gambar tentang Interprofesional Collaborative Practice Domains (Fleming, R., Willgerodt, 2017), sebagai berikut:

Gambar: 2 Domain Praktik Kolaboratif Interprofesional

Sumber: (Fleming, R., Willgerodt, 2017)

        Pembaruan paling signifikan dalam laporan 2016 adalah penciptaan domain tunggal Interprofessional Collaboration (IPC), dan revisi dari empat kompetensi inti (dan sub-kompetensi mereka) untuk lebih menekankan tujuan kesehatan populasi dan untuk memasukkan para profesional non-kesehatan sebagai anggota tim perawatan kesehatan dalam upaya pencegahan dan pemeliharaan kesehatan (IPEC, 2016). Kompetensi inti dan deskripsi singkatnya tercantum di bawah ini:

Domain Kompetensi 1 : Nilai/etik untuk praktik  interprofesional

        Nilai dan etik yang berhubungan dengan sistem interprofesional merupakan hal yang penting, bagian baru dalam membentuk sebuah identitas profesional. Nilai dan Etik itu berfokus pada pasien dan berorientasi pada komunitas, tertanam dalam tujuan bersama untuk mendukung kemajuan dalam pelayanan kesehatan, dan mencerminkan komitmen bersama untuk membuat pelayanan yang lebih aman, efektif dan efisien. Teamwork memasukkan nilai dengan membawa serta pasien atau keluarga dan komunitas untuk mendapatkan kesehatan, mencegah penyakit, dan menyediakan pelayanan yang komprehensif bagi yang sakit. Hormat-menghormati dan kepercayaan adalah fondasi untuk efektif kerjasama interprofesional untuk perawatan kolaborasi diantara profesi kesehatan. Pada saat yang bersamaan, perawatan kolaborasi menghormati perbedaan yang tercermin dalam keahlian tiap profesi dalam memberikan pelayanan. Beberapa nilai dan etika yang menjadi tumpuan dalam kolaborasi interprofesional seperti menempatkan kepentingan pasien dan keluarga ditengah-tengah praktek, menghormati martabat dan privasi klien sewaktu memperikan pelayanan, bekerja dalam kerjasama dengan mereka yang menerima perawatan, mereka yang memberikan perawatan dan mereka yang terlibat didalamnya dan lainnya.

Domain Kompetensi 2 : Peran dan Tanggungjawab

        Belajar menjadi inter-professional membutuhkan pemahaman bagaimana peran dan tanggung-jawab masing-masing dalam pelayanan yang berfokus pada pasien dan berorientasi pada komunitas. Domain ini secara tidak langsung merupakan fitur penting dalam kerangka kerja kompetensi interprofesi. Kebutuhan untuk menangani promosi kesehatan dan permasalahan penyakit dalam konteks ‘complex care’ dan faktor komunitas membuat adanya batasan dari keahlian profesi dan membuat perlunya kerjasama, koordinasi dan kolaborasi diantara profesi. Bagaimanapun, koordinasi dan kolaborasi yang efektif terjadi disaat setiap profesi mengetahui dan menggunakan masing-masing keahlian dan profesi dalam pelayanan yang terfokus kepada pasien. Contoh kompetensi peran dan tanggung jawab ini tercermin dalam poin-poin : 1) Memaparkan peran dan tanggung-jawab masing-masing secara jelas kepada pasien, tim dan petugas lain, 2) memahami masing-masing batasan dalam pengetahaun, skill dan kemampuan, 3) Berkomunikasi dengan anggota tim untuk mengkarifikasi masing-masing peran dan tanggung-jawab dalam melaksanakan bagian pelayanan dan lain sebagainya.

Domain Kompetensi 3 : Komunikasi Inter-professional

        Garis terdepan profesi kesehatan mengidentifikasi bahwa komunikasi merupakan inti kedua dari domain kompetensi model interproffesional ini dan sebagai  aspek inti dari praktek kolaborasi inter-profesi. Mengembangkan kemampuan dasar komunikasi adalah hal biasa untuk profesi tenaga kesehatan, namun siswa kesehatan seringkali hanya memiliki sedikit pengetahuan atau pengalaman komunikasi inter-profesi. Lebih dari satu dekade sebelumnya, AAMC mengatakan bahwa komunikasi dalam  kedokteran mengakui pentingnya dapat melakukan komunikasi yang efektif dengan anggota laiinya dalam tim kesehatan. Kompetensi komunikasi membantu profesi menyiapkan praktik kolaborasi. Komunikasi sebagai persiapan sebelum bekerja bersama memulai kolaborasi inter-profesi yang efektif. Baggs & Schmitt (1997) mengatakan bahwa menjadi tersedia dalam temapt, waktu dan pengetahuan sebagaimana pula mau menerima melalui kepentingan yang diutarakan, mampu mendengarkan secara aktif, membuka diri dan mempunyai keinginan untuk berdiskusi adalah elemen yang menunjukkan kesiapan. Beberapa contoh kompetensi dalam domain ini yaitu : 1) Memilih cara dan teknik berkomunikasi yang efektif meliputi sistem informasi dan teknologi komunikasi untuk memfasilitasi diskusi dan interaksi untuk meningkatkan kemampuan tim, 2) mengatur dan mengkomunikasikan informasi dengan pasien, keluarga dan tim kesehatan lainnya untuk membentuk pengertian bersama.

Domain Kompetensi 4 : Team dan Teamwork

        Belajar untuk menjadi interprofesi berarti belajar untuk menjadi anggota tim yang baik. Kelakuan kerjasama tim dipraktekkan dalam berbagai keadaan dimana profesi profesi kesehatan berinteraksi dalam keinginan untuk berbagi tujuan bersama dalam menangani pasien.Kerjasma tim ini termasuk bekerjasama dalam sistem yang terfokus kepada pasien, mengkoordinasikan pelayanan seseorang dengan profesi lain sehingga ketidakinginan, jarak dan kesalahan itu dapat dihindari. Kompetensi yang terdapat dalam domain ini beberapa diantaranya adalah menjelaskan perkembangan tim, peran dan praktik tim yang efektif, mengaplikasikan praktik kepemimpinan yang mendukung praktik kolaborasi dan keefektifan tim.

1.   Sosialisasi: menciptakan pembelajaran sosial untuk menumbuhkan Akhlak

        Proses sosialisasi dapat diartikan sebagai proses belajar seorang anggota masyarakat untuk mengenal, menghayati norma-norma serta nilai-nilai masyarakat sehingga terjadi pembentukan sikap, seperti yang dikatakan Nasution (dalam Sitorus, 2008), sosialisasi adalah proses membimbing individu ke dalam dunia sosial. Proses sosialisasi adalah suatu proses yang dilakukan secara aktif oleh dua pihak. Pihak pertama adalah pihak yang mensosialisasikan atau disebut juga dengan aktifitas melaksanakan sosialisasi dan pihak kedua adalah pihak yang disosialisasikan atau yang menerima sosialisasi. Menurut David A. Goslin (Sari, 2013:30), “Sosialisasi adalah proses belajar yang dialami seseorang untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai dan normanorma agar ia dapat berpartisipasi sebagai anggota dalam kelompok masyarakatnya.”(Nurmauliddiana, 2018).Dari makana itu, dengan proses yang dialami seseorang mulai dari menerima informasi, memahami dan mempraktekkan segala hal itu gunanya adalah untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan agar dapat berinteraksi dan beradaptasi dengan baik dengan kelompok masyarakat tersebut.Penerapan Teori Belajar Sosial Dalam menumbuhkan Akhlak Anak. Adapun implementasi teori belajar sosial dalam pembentukan akhlak anak usia dini dapat dilihat dari proses belajar, dimana proses belajar menurut teori belajar sosial ini menekankan pada konsep modelling. Menurut Bandura, (dalam Murni Yanto, 2017) ada empat fase belajar dari model, yaitu:

  1. Fase Perhatian; Fase pertama dalam belajar observasional adalah memberikan perhatian pada suatu model. pada umumnya, para siswa memberikan perhatian pada model model yang menarik, berhasil, menimbulkan minat, dan popular. Dalam kelas guru akan memperoleh perhatian dari para siswa jika guru menyajikan isyarat isyarat yang jelas. Perhatian siswa juga akan diperoleh dengan memotivasi siswa agar menaruh perhatian.
  2. Fase Retensi; Pada fase retensi siswa dilatih agar dapat tetap mengingat berbagai hal yang telah dipelajari melalui proses pengamatan dilapangan. Hanya dengan mengingat berbagai hal yang telah diamati oleh panca indera siswa, maka siswa tersebut akan dapat belajar dengan baik, sehingga dapat memperoleh hasil belajar yang baik.. Belajar observasional terjadi berdasarkan contiguitas. dua kejadian contiguitas yang diperlukan ialah perhatian pada penampilan model dan penyajian simbolik dari penampilan itu dalam memori jangka panjang. materi akan lama diingat bila terjadi pengulangan.
  3. Fase Reproduksi; Umpan balik yang bersifat memperbaiki memiliki peran penting untuk membentuk perilaku yang diinginkan. umpan balik ini bukan hanya ditujukan pada aspek aspek yang benar pada penampilan, tapi yang lebih penting ialah ditujukan pada aspek aspek yang salah pada penampilan. Menurut Rtna Wilis Dahar (2006). Secara cepat memberi tahu siswa tentang respon yang tidak tepat sebelum berkembang menjadi kebiasaan yang tidak diinginkan merupakan pengajaran yang baik.

        Hubungan Teori Pembelajaran Sosial Dalam menumbuhkan Akhlak, terletak pada Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian penguatan dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan. Manusia berusaha untuk membina dan membentuk akhlaknya melalui sarana yang disebut pendidikan. Pendidikan sebagai salah satu alat kemajuan dan ketinggian bagi seseorang dan masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan Ahlak pada lembaga pendidikan formal dimulai ketika anak-anak mengikuti pendidikan.(Murni Yanto, 2017)

2.  Pertukaran informasi: menciptakan komunikasi, partisipasi

        Informasi telah menjadi suatu kebutuhan masyarakat pada umumnya pada zaman globalisasi ini. Kebutuhan akan informasi setiap orang dipengaruhi oleh tingkat rasa ingin tahu seseorang yang semakin tinggi dalam rangka meningkatkan taraf hidup yang lebih baik. Kebutuhan akan informasi inilah yang membuat berbagai lembaga informasi untuk menjadi penyedia informasi yang aktif dalam mengelola informasi yang beragam. Ditambah lagi dengan perkembangan teknologi komunikasi saat ini dan semakin majunya pola perilaku masyarakat dengan menggunakan teknologi dalam mencarian, menggunakan, dan mempertukarkan informasi.Everett M. Rogers dan Lawrence Kincaid (dalam Wiryanto, 2004), menyatakan bahwa komunikasi adalah suatu proses di mana  dua orang atau lebih  membentuk atau melakukan pertukaran informasi antara satu sama lain, yang pada gilirannya terjadi saling pengertian yang mendalam. Informasi saat ini dapat diperoleh melalui media manapun dengan menggunakan internet sekalipun. Tidak hanya media cetak, televisi dan radio atau media mainstream (arus utama), saat ini media elektronik. Dalam pemenuhan kebutuhan akan informasi, media sosial merupakan salah satu media yang menjadi pilihan tersendiri bagi masyarakat. Adanya interaksi dalam media sosial membuat pertukaran informasi lebih bersifat dua arah. Saat ini, media konvensional tidak lagi menjadi pilihan utama.Media sosial adalah sebuah media online berbasis internet yang dibangun atas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0 yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran berdasarkan User-Generated Content (Kaplan dan Haenlien, 2010). Atas dasar inilah para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi dan menciptakan isi meliputi blog, social network atau jejaring sosial, forum dan dunia virtual Menurut Antony Mayfield media sosial adalah mengenai menjadi manusia yang bisa saling membagi ide, berkerja sama dan berkolaborasi untuk menciptakan kreasi, berpikir, berdebat, menemukan teman baik, dan membangun sebuah komunitas (Elvinaro, 2011).Media Webinar ini mengacu pada proses pertukaran pesan dimana pesan disampaikan melalui perantaraan media. Dalam perkembangannya komunikasi melalui media komputer terjadi peleburan antara komunikasi mediation (perantara) dan immediate (langsung). CMC mempelajari bagaimana perilaku manusia dibentuk melalui pertukaran informasi menggunakan media komputer khususnya komputer internet (Ummufaridah, 2010).

        Layanan informasi yang mudah dan cepat dalam media website diformat dengan penempatan fitur-fitur informasi dan komunikasi yang sangat beragam sesuai kebutuhannya, baik yang bersifat statis maupun dinamis. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan fitur sebagai karakteristik khusus yang terdapat pada suatu alat (televisi, ponsel, dan sebagainya). Dalam kaitannya dengan teknologi komputer, fitur didefinisikan sebagai fungsi, kemampuan, atau desain khusus dari perangkat keras atau perangkat lunak. Disini baik dosen dan mahasiwa dituntut apik membuat desain.Menurut R Cahyo Prabowo (dalam Putri, 2014), mengenai media baru adalah suatu alat sebagai sarana komunikasi yang dimana saling berinteraksi, berpendapat, tukar informasi, mengetahui berita yang melalui saluran jaringan internet serta informasinya selalu terbaru secara kilat dan juga lebih efisien ringkas memberikan informasi kepada pembaca atau khalayaknya.Aktivitas komunikasi dalam sebuah institusi senantiasa dengan tujuan pencapaian baik dalam kelompok maupun dalam masyarakat. Budaya komunikasi dalam konteks komunikasi organisasi harus dilihat dari berbagai sisi, misal komunikasi dari atasan kepada bawahan kepada atasan/dosen dengan mahasiswanya dengan polanya masing-masing. Komunikasi dalam konteks ini adalah proses pengiriman atau penyampaian berita atau informasi dari satu pihak kepihak lain dalam usaha untuk mendapatkan saling pengertian. (Ngalimun, 2017).Untuk melaku kan komunikasi dengan baik kita mengetahui situasi dan kondisi serta karakteristik lawan bicara kita, sebagaimana yang kita ketahui, bahwa setiap manusia itu seperti sebuah radar yang dilingkupi lingukungan. Manusia bisa sangat sensitif pada bahasa tubuh, ekspresi wajah, postur, gerakan intonasi suara lainnya. Disinilah etika diperlukan.

3. Kontrusi Pengetahuan: menciptakan pembelajaran bermakna

       Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini setelah orang melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagaian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan adalah informasi atau maklumat yang diketahui atau disadari oleh seseorang. Definisi pengetahuan diatas, menunjukkan bahwa pengetahuan tersebut didapatkan oleh orang setelah orang tersebut melihat, merasakan, mendengar sesuatu dan memang itu semua dilakukan secara sadar dan diketahui. (Notoatmodjo, 2007).Pengetahuan di dalam mental siswa berbentuk skema-skema yang bermakna, maka mengenai ini Piaget menyebut dirinya sebagai Epistemologi Genetik (Piaget dalam Suparno, 1997). Sagala (2006), dan Mayer (Anderson dan Kratwohl, 2010) menjelaskan bahwa siswa mengkonstruksi pengetahuan dari lingkungan, berinteraksi dengan pengalaman dan objek yang dihadapi, dengan mengadakan abstraksi, baik denngan cara yang sederhana maupun refleksi dengan membentuk pengetahuan fisik dan matematis.Konstruktivisme adalah suatu faham filsafat. Faham ini mengedepankan peserta didik secara kontekstual melalui pengalamannya sendiri membentuk bangunan pengetahuannya sedikit demi sedikit. Melalui skema, yang secara asimilasi, akomodasi dan diadaptasikan melalui disequiliberum dan equilibrasi, menuju pengetahuan yang bermakna dalam hidupnya sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi. Selanjutnya untuk memperjelas bagaimana alur proses konstruksi pengetahuan siswa maka disusunlah diagram alur tersebut, yang dimodifikasi dari teori Konstruktivisme, teori Mayer, dan Taksonomi Bloom. (dalam Mulyani, dkk. (2012). Adapun bagan alur proses konstruksi dijelaskan pada Gambar 1. berikut:

Gambar 3. Alur Proses Konstruksi Pengetahuan yang Dimodifikasi dari Teori Konstruktivisme, Teori Mayer, dan Taksonomi Bloom

Sumber: Mulyani, dkk. (2012).

        Alur proses tersebut berawal dari lingkungan bisa terjadi rangsangan pembelajaran baik berasal dari pembacaan, maupun dari pancaindera. Dari lingkungan tersebut, seseorang aktif memperhatikan secara mandiri/individual sehingga individu secara mandiri/dengan bantuan tutorial sebaya atau dewasa, aktif menata pengalaman apapun bentuk pengalaman itu.

        Keaktifan ini bisa mengakibatkan kondisi mentalnya mengalami disequiliberum yang dapat menuju kepada pembentukan pengetahuan-pengetahuan berupa: (a) pengetahuan faktual, (b) pengetahuan konseptual, (c) pengetahuan prosedural, dan d) pengetahuan metakognitif. Siswa, baik secara akomodasi maupun asimilasi, aktif memahami dan memadukan berbagai pengetahuan tersebut. Apabila berbagai pengetahuan tersebut kemudian berguna bagi seseorang, misalnya untuk menyelesaikan permasalahan hidupnya, maka itu berarti terjadi keseimbangan di dalam mentalnya.  Oleh karena itu bisa dikatakan telah terjadi proses konstruksi pengetahuan yang bermakna; itulah belajar yang bermakna. Siswa bertipe belajar visual aktif mengkonstruksi pengetahuannya dengan cara membaca, melihat tulisan, gambar-gambar, grafik, video, warna-warna dan pengalaman langsung. Siswa kemudian menyesuaikan antara skema lama dengan rangsangan baru. Proses penyesuaian (adaptasi) rangsangan baru dari lingkungan akan membentuk asimilasi atau akomodasi. Akomodasi terjadi apabila ada perubahan skema lama menjadi skema yang baru. Proses pengubahan skema lama menjadi skema baru disebut equilibrasi, yang berproses di dalam diri siswa secara internal, yang melibatkan aktifitas mental siswa itu sendiri.

4. Pengembangan: menciptakan komunitas praktik

        Perkembangan diartikan sebagai suatu perubahan aspek psikis dari kurang terdiferensiasi menuju deferensiasi, terarah, terorganisasi dan ter integrasi meningkat secara bertahap menuju kesempurnaan, dari samar-samar menuju ke yang lebih terang. (Marsudi et all, 2013). Menurut Baharudin (2012) menjelaskan “Dalam kegiatan pengembangan diri, siswa difasilitasi dan dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. ”Kegiatan pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karir peserta didik. Menurut Kartadinata (2011),  pendidikan berfungsi untuk pengembangan, peragaman dan integrasi. Ketiga fungsi tersebut memiliki arti bahwa pendidikan berfungsi untuk membantu manusia dalam pengembangan diri sesuai dengan keunikannya dimana keragaman perkembangan diri tersebut disesuaikan dengan potensi yang dimiliki indivi dua agar menjadi manusia yang utuh.

Kompetensi Pengembangan Potensi Peserta Didik, dibangun atas dua komponen, yaitu:

a. Pengembangan Pengetahuan pada Usia Belajar

         Pengembangan pengetahuan terhadap anak dimulai sejak usia belajar, menurut Neisser (1976), ada tiga alasan mengapa harus dimulai pada masa dini. Pertama; pengetahuan awal, memungkinkan pendidikan, orang tua dan guru memberikan pengetahuan padanya sesuai tingkat kemampuan kondisi anak, namun demikian perkembangan psikologis anak diperhatikan, Menurut J.Byl, Aristoteles, dan Kretshmer (dalam Sujanto, 1980) bahwa anak siap untuk belajar dan mendapat pengetahuan dimulai pada usia 7 tahun (disebut masa intelek). Pada usia ini sang-anak sudah siap diisi dan dibekali dengan pengetahuan. Kedua; anak memiliki keyakinan, kepercayaan, yang semu, dalam arti kata ia butuh bimbingan rohani dan mental pada usia belajar orang tua dan guru mendapat kesempatan yang banyak memantapkan keyakinan dan kepercayaan anak untuk mengisi dan membekali dengan pengetahuan, manakala ia sudah dewasa, ia telah mendapat keyakinan, kepercayaan yang sangat sukar untuk diubah oleh seorang pendidik, baik orang tua maupun guru di sekolah. Ketiga; anak memiliki banyak pengharapan terhadap sesuatu, pengharapan-pengharapan pada diri anak memungkingkan untuk dilakukan, diciptakan melalui pengetahuan yang diberikan kepadanya. Kita dapat memberi contoh, tauladan yang banyak kepada anak, yang pada akhirnya dia dapat menemui pengharapannya, namun pengharapan itu dibekali dengan motivasi ekstinsik disamping motivasi intrinsic yang telah ada pada diri sang anak.

b. Menyeimbangkan antara Intellegensi dan Emosi

        Bukanlah menjadi jaminan bagi seseorang yang memikili intellegensi yang tinggi akan dapat berkembang tanpa memiliki kecakapan emosional yang tinggi. Akan tetapi bagi seseorang yang memiliki intellegensi yang tinggi belum tentu memiliki kecakapan emosional yang tinggi pula.Anak yang berbakat adalah anak yang memiliki intellegensi yang tinggi dan kecakapan emosional yang tinggi, mereka kelak menjadi orang yang mampu berbuat, berkarya, aktif, kreatif, dan mandiri.

        Kemampuan otak seseorang membutuhkan latihan terus menerus, ia ibarat sebilah pisau dari besi yang bagus, bila tidak diasah di atas gerinda ia tidak akan tajam. Pengasahannya tidak dilakukan sekali saja akan tetapi berkali-kali dilakukan. Otak perlu selalu diasah dengan berfikir, seperti menganalisa, memecahkan masalah, berhitung, berdiskusi, bermain catur, mengisi teka teki silang, dan lain sebagainnya.

        Berdasarkan uraian tersebut, perkembangan dapat disimpulkan sebagai serangkaian perubahan-perubahan yang berlangsung secara terus-menerus dan bersifat tetap, dari fungsi-fungs jasmaniah dan rohaniah yang dimiliki individu menuju ke tahap kematangan melalui pertumbuhan, pemasakan, dan belajar. Perkembangan yang akan dilihat pada konteks ini adalah perkembangan karakter siswa dalam belajar yang meliputi aspek kejujuran, tanggung jawab, disiplin, mandiri, rasa ingin tahu, kreatif, kerja keras, dan toleransi.

        Ada lima tahap perkembangan kelompok menurut Robbins dan Judge (2011), atau lebih dikenal dengan model lima tahap: 1)Tahap pembentukan (forming): tahap pertama dalam perkembangan kelompok yang dicirikan oleh banyaknya ketidakpastian. Mengenai struktur, maksud dan tujuan, dan kepemimpinan kelompok. Pada tahap ini dicirikan oleh banyak ketidakpastian mengenai maksud, struktur, dan kepemimpinan kelompok. Para anggota melakukan uji coba untuk menemukan tipe-tipe perilaku apakah yang dapat diterima baik. Tahap ini selesai ketika para anggota telah mulai berfikir tentang diri mereka sendiri sebagai bagian dari kelompok. (2)Tahap keributan (storming): tahap kedua dalam perkembangan kelompok yang dicirikan oleh konflik didalam kelompok, artinya para anggota menerima baik eksistensi kelompok, tetapi melawan adanya kendala-kendala yang dikenakan oleh kelompok terhadap individualitas. Tahap keribuatan adalah tahap komplik di dalam kelompok (intragrup). (3)Tahap penormaan (norming): tahap ketiga dalam perkembangan kelompok, dicirikan oleh hubungan akrab dan kekohesifan (ke saling tertarikan) Tahap penormaan adalah tahap di mana berkembang hubungan yang akrab dan kelompok menunjukan sifat kohesif (saling tarik). Sudah ada rasa memiliki identitas kelompok dan persahabatan yang kuat. Tahap ini selesai jika telah terbentuk struktur kelompok yang kokoh dan menyesuaikan harapan bersama atas apa yang disebut sebagai perilaku anggota yang benar. (4)Tahap pengerjaan (performing): tahap keempat dalam perkembangan kelompok, dimana kelompok tersebut sepenuhnya berfungsi dan diterima dengan baik. (5)Tahap penundaan (adjourning): tahap terakhir dalam perkembangan kelompok dengan ciri kepedulian untuk menyelesaikan kegiatan kegiatan,bukan melaksanakan tugas.

        Komunitas ialah kumpulan dari berbagai populasi yang hidup pada waktu dan daerah tertentu yang saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain. Komunitas memeiliki derajat keterpaduan yang lebih kompleks bila dibandingkan dengan individu dan populasi. Dalam ilmu sosiologi komunitas dapat diartikan sebagai kelompok orang yang saling berinteraksi yang ada di lokasi tertentu. Namun definisi ini terus berkembang dan diperluas menjadi individu-individu yang memiliki kesamaan konsep diriistik tanpa melihat lokasi atau tipe interaksinya. Sebuah komunitas memiliki empat ciri utama, yaitu (Jasmadi, 2008):

  1. Adanya keanggotaan di dalamnya. Sangat tidak mungkin ada komunitas tanpa anggota di dalamnya.
  2. Saling memengaruhi. Antar anggota komunitas dapat saling memengaruhi satu dengan yang lainnya.
  3. Adanya integrasi dan pemenuhan kebutuhan antar anggota.
  4. Adanya ikatan emosional antar anggota.

        Bisa dikatakan bahwa inti komunitas terletak pada kelompok orang yang memiliki identitas yang hampir sama di mana faktor lokasi tidak terlalu relevan lagi. Yang terpenting anggota komunitas harus berinteraksi secara reguler (Jasmadi, 2008 : 16).

Penutup

        Kegiatan Webinar, memiliki keuntungan bahwa kerja kelompok tidak selalu terbatas pada durasi webinar. Peserta dalam kelompok dapat kembali nanti ke dokumen bersama untuk melanjutkan pekerjaan mereka dan bahkan membagikannya kepada khalayak yang lebih luas nanti. Selain itu, kegiatan tersebut dapat meningkatkan motivasi dan memberi peserta peran yang jauh lebih aktif dalam proses daripada yang biasanya hanya menggunakan platform webinar. Namun, satu batasannya adalah bahwa kegiatan ini seringkali dapat mengecualikan mereka yang berpartisipasi pada perangkat seluler atau dengan bandwidth rendah. Mereka yang memiliki layar besar dapat dengan mudah beralih antara melihat sesi webinar dan alat kolaboratif tetapi pada layar yang lebih kecil pada beberapa tablet dan ponsel, mungkin sulit untuk dengan lancar mengalihkan pandangan bolak-balik.

        Mengaktifkan peserta didik tidak dapat dilihat sebagai pilihan tetapi merupakan bagian integral dari desain semua acara pembelajaran, jika mereka memiliki tujuan lain selain hiburan murni. Pengembangan kompetensi diperlukan untuk membuat pengurus dan guru webinar sadar akan peluang kolaboratif yang tersedia dan kurangnya kesadaran dapat menyebabkan banyak orang mundur pada metode penyampaian yang lebih tradisional dan mendarah daging. Namun, tulisan telah menunjukkan bahwa ada banyak cara untuk mengaktifkan peserta selama webinar, yang, jika digunakan secara bijak, dapat menyebabkan formulir ini menjadi ruang belajar yang benar-benar kolaboratif. Adalah tanggung jawab perancang dan fasilitator acara semacam itu untuk membangun elemen interaksi dan kolaborasi yang bermakna dan dengan demikian meningkatkan standar untuk webinar dari konsumsi pasif menjadi keterlibatan aktif dan pembelajaran yang lebih dalam.

        Kami berharap tulisan ini dapat mendorong praktik yang lebih kreatif dalam mengaktifkan peserta didik sedemikian rupa sehingga mereka menemukan pembelajaran mereka bersama Anda bermakna. Namun layaknya laknya sebuah model ”Webinar” model pembelajaran online yang saat ini sedang berkembang dan mulai dipopulerkan dan diuji coba sejak 2014 hingga 2016, Webinar dirancang untuk memfasilitasi pembentukan komunitas praktik serta berfungsi sebagai tempat untuk operasi yang berkelanjutan. Namun pemanfaatan ”Webinar” sebagai media pembelajaran untuk membetuk karakter siswa/mahsiswa pada Masa WFH Pandemic Covid-19 ini, tetap perlu ditelusuri kebenarannya melalui kajian ilmiah, penelitian secara menladalam dan spesipik.

PUSTAKA

Alastair Creelman&Hróbjartur Árnason (2017). Webinars as Active Learning Arenas Background-Learning together online. European Journal of Open, Distance and E-Learing. 12 (20), 1-14.

Anderson, W. Lorin & Kratwohl, R. David 2010. Pembelajaran, Pengajaran, dan Assesmen. Jakarta: Pustaka Pelajar. Penerjemah: Agung Prihantoro

Andreas, Kaplan M., Haenlein Michael 2010. “Users of the world, unite! The challenges and opportunities of social media”. Business Horizons. 53 (1). 61.

Ardianto, Elvinaro. 2011. Komunikasi 2.0 Teoritis dan Implikasi. Yogyakarta: ASPIKOM Buku Litera dan Perhumas

Aty Mulyani, dkk. (2012). Proses Konstruksi Pengetahuan Siswa Bertipe Belajar Visual pada Pelajaran Biologi. Jurnal Edu-Sains. 1 : 2, (2012)

Baharudin, 2012. Kepemimpinan Pendidikan Islam .Yogyakarta: Ar-Ruz Media.

Bambang S Arifin dan A. Rusdiana, Manajemen Pendidikan Karakter. (Bandung: Pustaka Setia, 2019), 131.

Barr H (2002) A Critical Review of Evaluations of Interprofessional Education  Learning and Teaching Support Network for Health Sciences and Practice London.

Baumann, M. (2010). Pew report: Digital natives get personal. Information Today, November.

Behesti, J. (2012). Teens, virtual environments and information literacy. Bulletin of the American Society For Information Science and Technology, 38(3).

Chun-Yao Huang, Yung-Cheng Shen, I-Ping Chiang, Chen-Shun Lin (2007). Characterizing web users’ online information behavior. Journal of the American Society for Information Science and Technology, 58(13), 1988-1997.

Clay, C. (2012). Great Webinars: Create Interactive Learning That Is Captivating, Informative, and Fun. John Wiley & Sons.

Fleming, R., Willgerodt, M.A., (September 30, 2017) “Interprofessional Collaborative Practice and School Nursing: A Model for Improved Health Outcomes” OJIN: The Online Journal of Issues in Nursing. 22:3,Manuscript 2. (September, 2017),1-3  Tersedia dalam: https://ojin.nursingworld.org/MainMenuCategories/ANAMarketplace/ANAPeriodicals/OJIN/TableofContents/Vol-22-2017/No3-Sep-2017/Interprofessional-Collaborative-Practice-School-Nursing.

Freeth D (2002) A Critical Review of Evaluations of Interprofessional Education Learning and Teaching Support Network for Health Sciences and Practice London.

Hidayatullah, M. Furqon. Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Bangsa. (Surakarta: UNS Press, 2010), 39.

Isfhani. (2017) “Pembentukan Karakter Bangsa Melalui Paradigma Pendidikan”. Al-Riwayah: Jurnal Kependidikan. 9: 2, (September 2017), 375-406. Tersedia dalam http://ejournal. stain.sorong. ac.id/indeks.php/al-riwayah. 

Marsudi Saring, dkk. 2012. Landasan Pendidikan . Surakarta: UMS Pers

Materka, Pat Roessle. (2001). Loka Karya & Seminar: Perencanaan, Pelaksanaan, Pemanfaatan. Yogyakarta: Kanisius

Murni Yanto, 2017. Penerapan Teori Sosial Dalam Menumbuhkan Akhlak Anak Kelas I Madrasah Ibtidaiyah Negeri 1 Rejang. TERAMPIL Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Dasar. 4: 2 (Oktober 2017), 65-85. tersedia dalam: ejournal.radenintan.ac.id › terampil › article › download

Ngalimun. 2016. Ilmu Komunikasi Sebuah Pengantar Praktis. Yogyakarta:  Pustaka Baru Press

Nisa Nurmauliddiana Abdullah, Kharisma Nasionalita; Pengaruh Sosialisasi Terhadap Pengetahuan Pelajar Mengenai Hoax (Studi Pada Program Diseminasi Informasi Melalui Media Jukrak Di SMKN 1 Pangandaran). Jurnal Channel, 6: 1, (April, 2018), 106-119. Tersedia dalam: journal.uad.ac.id › CHANNEL › article › download

Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku . Jakarta: Rineka Cipta.

O’Neil, H. F. & Drillings, M. (2012). Motivation: Theory and research. England, UK: Routledge.

Ratna Wilis Dahar. 2011. Teori Teori Belajar dan Pembelajaran. Erlangga.Jakarta.

Robbins, Stephen P. & A. Judge, Timothy (2011). Organizational behavior. Fourteenth Edition. Pearson education. New Jersey 07458. 77-89*.

Sagala, Syaiful. 2006. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung:Alfabeta.

Salmon, G. (2013). E-tivities: the key to active online learning. London: Kogan Page.

Simak lebih lanjut di Brainly.co.id-https://brainly.co.id/tugas/20104765#readmore

Sunaryo Kartadinata.2011. Menguak Tabir Bimbingan dan Konseling sebagai Upaya Pedagogis. Bandung: UPI Press.

Suparno, Paul. 1997, Konstruktivisme dalam Filsafat Pendidikan. Jogjakarta: Kanisius.

Ummufaridah, 2010. Makalah Mengenai Computer Mediated Communication, Tersedia http://ummufaridah.blogspot.co.i d/2010/06/computer-mediatedcommu-nication cmc_ 13. html,

Putri , 2014. Hubungan Efikasi Diri Dan Kecerdasan Emosional Dengan Prestasi Belajar Mata Kuliah Statistika Ekonomi Mahasiswa Angkatan 2013 Jurusan Pendidikan Ekonomi Universitas Negeri Medan T.A. 2013/2014.

Watson, J. A. & Pecchioni, L. L. (2011). Digital natives and digital media in the college classroom: Assignment design and impacts on student learning. In Educational Media International, 48(4), 307-320.

Web Conferencing. (September, 2017,). In Wikipedia. Retrieved from https://en. wikipedia. org/wiki/Web_conferencing.

Webinar. (2017). In Merriam-We bster.com. Retrieved from https://www.merriam webster.com/dictionary/webinar

Wenger, E. (2011) Communities of Practice: Learning as a Social System. The Systems Thinker. Retrieved from https://thesystemsthinker.com/communities-of-practice-learning-as-a­social-system/

Wenger, E., McDermott, R., & Snyder, W. M. (2002). Cultivating Communities of Practice: A Guide to Managing Knowledge. Harvard Business School Press.

Wiryanto. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta. Grasindo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *